BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Hukum Islam adalah hukum yang ditetapkan oleh Allah SWT melalui wahyu yang kini terdapat dalam Al Qur‟an dan dijelaskan oleh Nabi Muhammad SAWsebagai Rosul-Nya melalui sunnah beliau yang kini tersimpan baik dalam kitab-kitab hadist.Hukum Islam juga memiliki beberapa tujuan, antara lain :
a. Untuk ditaati dan dijalankan oleh umat Islam.
b. Sebagai pedoman hidup.
Sumber Hukum Umat Islam menurut Mahmud Syaltuth dibagi menjadi 3 macamyaitu :
a. Al Qur‟an ( Sumber Hukum Pertama dan Utama ).
b. Al Hadits ( Sumber Hukum ke Dua setelah Al Qur’an ).
c. Ijtihad / Ra’yu / Akal.

1.2  Rumusan Masalah
a.       Sumber Hukum Islam Berdasarkan Al Qur’an.
b.      Sumber Hukum Islam Berdasarkan Hadits.
c.       Macam-Macam Hadits.
d.      Sumber Hukum Islam Berdasarkan Ijtihad.
e.       Macam-Macam Ijtihad.

1.3  Tujuan Pembahasan
a.       Mengetahui Sumber Hukum Islam Berdasarkan Al Qur’an.
b.      Mengetahui Sumber Hukum Islam Berdasarkan Hadits.
c.       Mengetahui Macam-Macam Hadits.
d.      Mengetahui Sumber Hukum Islam Berdasarkan Ijtihad.
e.       Mengetahui Macam-Macam Ijtihad.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Al Qur’an
2.1.1        Pengertian Dan Turunnya Al-Qur’an
Dalam pengertian mengenai al-Qur’an dapat ditinjau dari dua aspek, sebagai berikut:
a.       Aspek Etimologis
Makna kata Qur’an adalah sinonim dengan qira’ah dan keduanya berasal dari kata qara’a. dari segi makna, lafal Qur’an bermakna bacaan. Kajian yang dilakukan oleh Dr. Subhi Saleh menghasilkan suatu kesimpulan bahwa al-Qur’an dilihat dari sisi bahasa berarti bacaan, adalah merupakan suatu pendapat yang paling mendekati kebenaran. Arti inilah disebut dalam firman Allah berikut ini:
Artinya: Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (Al-Qur’an) di dadamu dan membuatmu pandai membacanya. Apabila kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu.” (Al-Qiyamah: 17-18).
b.      Aspek Terminologi
Ditinjau dari aspek terminologi kata al-Qur’an sesungguhnya telah banyak dikemukakan oleh para ‘Ulama. Diantaranya mereka ada yang memberikan pengertian sama dengan al-kitab, karena selain nama al-Qur’an, wahyu tersebut dikenal dengan sebutan al-kitab.
Kaitannya dengan hal ini Al-Khudari memberikan definisi bahwa al-kitab adalah al-Qur’an yaitu lafal bahasa Arab yang diturunkan pada Nabi Muhammad SAW untuk dipelajari dan diingat, yang dinukil secara mutawatir, termaktub diantara dua sisi awal dan akhir, diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surah an-Nas.
Dalam definisi diatas tegas bahwa al-kitab adalah al-Qur’an itu sendiri. Menurut Al-Amidi penegasan ini dipandang perlu untuk membedakan antara al-Qur’an dengan kitab-kitab lainnya seperti Taurat, Injil dan Zabur. Sebab ketiga kitab ini juga diturunkan oleh Allah yang wajib di imani oleh setiap muslim.
As-Shabuni mengemukakan dalam At-Tibyan Fi Ulum Al-Qur’an, al-Qur’an adalah firman Allah yang mengandung mukjizat, diturunkan pada Nabi terakhir ditulis dalam beberapa mushaf, bersifat mutawatir dan bernilai ibadah jika dibaca.
Dr. Subhi Saleh menegaskan bahwa al-Qur’an dengan sebutan apapun adalah firman Allah yang mengandung mu’jizat diturunkan pada Muhammad saw ditulis dalam beberapa mushaf serta bersifat mutawatir dan bernilai ibadah jika dibaca.
Dari beberapa definisi dan uraian diatas dapat diambil pengertian dan kesimpulan bahwa Al-Qur’an secara terminologi meliputi unsur-unsur sebagai berikut:
a.       Kalamullah.
b.      Dengan perantara malaikat Jibril.
c.       Diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
d.      Sebagai mu’jizat.
e.       Ditulis dalam mushaf.
f.        Dinukil secara mutawatir.
g.      Dianggap ibadah orang yang membacanya.
h.      Dimulai dengan surah Al-Fatihah dan ditutup dengan surah An-Nas.
i.        Sebagai ilmu laduni global
j.        Mencakup segala hakikat kebenaran.
Allah menurunkan al-Qur’an kepada Rasulullah saw untuk memberi petunjuk kepada manusia. Turunnya al-Qur’an merupakan peristiwa besar. Turunnya al-Qur’an yang pertama kali pada malam lailatul qodar merupakan pemberitahuan kepada alam tingkat tinggi yang terdiri dari malaikat-malaikat akan kemuliaan umat Muhammad. Umat ini telah dimuliakan oleh Allah dengan risalah baru agar menjadi umat paling baik.
Turunnya al-Qur’an yang kedua kali secara bertahap, berbeda dengan kitab-kitab yang sebelumnya, al-Qur’an turun secara berangsur-angsur untuk menguatkan hati Rasul dan menghibur nya serta mengikuti peristiwa dan kejadian-kejadian sampai Allah menyempurnakan agama ini dan mencukupkan nikmatnya.
Allah SWT berfirman:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ ۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۖ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Artinya: (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). (QS. Al-Baqarah: 185)
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
Artinya: Sesungguhnya Kami telah menurunkan nya (Al Quran) pada malam kemuliaan (malam lailatul qodr). (QS. al-Qodr: 1)
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ ۚ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ
Artinya: Sesungguhnya Kami menurunkan nya pada suatu malam yang diberkahi dan Sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. (QS. ad-Dukhan: 3).
Ketiga ayat diatas itu tidak bertentangan, karena malam yang diberkahi adalah malam lailatul qodr dalam bulan ramadhan. Tetapi lahir (zahir) ayat-ayat itu bertentangan dengan kejadian nyata dalam kehidupan Rasul, dimana turun kepadanya selama kurang lebih 23 tahun.
Al-Qur’an diturunkan oleh Allah kepada umat manusia melalui Nabi Muhammad saw sebagai petunjuk dan rahmat untuk dijadikan sebagai pedoman hidup, petunjuk dan rahmat.


2.1.2 Penjelasan Al-Qur’an Terhadap Hukum Dan Alqur’an Sebagai Sumber Hukum
Contoh ayat yang menjelaskan hukum :
Uraian al-Qur’an tentang puasa ramadhan, ditemukan dalam surat al-Baqarah: 183, 184, 185 dan 187. Ini berarti bahwa puasa ramadhan baru diwajibkan setelah Nabi saw tiba di Madinah, karena ulama al-Qur’an sepakat bahwa Surat al-Baqarah turun di Madinah. Para sejarawan menyatakan bahwa kewajiban melaksanakan puasa ramadhan ditetapkan Allah SWT pada 10 sya’ban tahun kedua hijriyah.
Allah swt berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (QS. Al-Baqarah: 183).
Al-qur’an adalah sumber hukum yang utama dalam Islam, sebagaimana dalam firman Allah:
إِنَّا أَنْزَلْنَا التَّوْرَاةَ فِيهَا هُدًى وَنُورٌ ۚ يَحْكُمُ بِهَا النَّبِيُّونَ الَّذِينَ أَسْلَمُوا لِلَّذِينَ هَادُوا وَالرَّبَّانِيُّونَ وَالْأَحْبَارُ بِمَا اسْتُحْفِظُوا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ وَكَانُوا عَلَيْهِ شُهَدَاءَ ۚ فَلَا تَخْشَوُا النَّاسَ وَاخْشَوْنِ وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا ۚ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Artinya: Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS. al-Maidah: 44).
Dalam ayat lain Allah berfirman:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
Artinya: Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, Akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (al- Ahjab: 36).
Kedua ayat ini menegaskan kepada kita untuk selalu berpegang teguh pada al-qur’an dan hadis sebagai dasar dan sumber hukum-hukum islam dan melarang kita untuk menetapkan suatu perkara yang tidak sesuai dengan al-qur’an dan hadis serta dilarang untuk mendurhakai allah dan rasul-Nya.
Dan masih banyak ayat-ayat lain yang menjelaskan tentang bahwa al-Qur’an adalah sebagai sumber hukum, seperti surat an-Nahl: 89, Ibrahim:1 dan Shad: 1.

2.1.3 Sistematika Hukum Dalam Al-Qur’an
Sebagai sumber hukum yang utama, maka al-Qur’an memuat sisi-sisi hukum yang mencakup berbagai bidang. Secara garis besar al-qur’an memuat tiga sisi pokok hukum yaitu:
Pertama, hukum-hukum I’tiqadiyah. Yakni hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban orang mukallaf, meliputi keimanan kepada Allah, Malaikat-malaikat, Kitab-kitab, Rasul-rasul, hari Qiyamat dan ketetapan Allah (qadha dan qadar).
Kedua, hukum-hukum Moral/ akhlaq. Yaitu hukum-hukum yang berhubungan dengan prilaku orang mukallaf guna menghiasi dirinya dengan sifat-sifat keutamaan/ fadail al a’mal dan menjauhkan diri dari segala sifat tercela yang menyebabkan kehinaan.
Ketiga, hukum-hukum Amaliyah, yakni segala aturan hukum yang berkaitan dengan segala perbuatan, perjanjian dan muamalah sesama manusia. Segi hukum inilah yang lazimnya disebut dengan fiqh al-Qur’an dan itulah yang dicapai dan dikembangkan oleh ilmu ushul al-Fiqh.
Hukum-hukum yang dicakup oleh Nash al-Qur’an, garis besarnya terbagi kepada tiga bagian, yakni:
a. Hukum-hukum I’tiqodi, yaitu: hukum-hukum yang berhubungan dengan akidah dan kepercayaan
b. Hukum-hukum Akhlak, yaitu: hukum-hukum yang berhubungan dengan tingkah laku, budi pekerti.
c. Hukum-hukum Amaliyah, yaitu: hukum-hukum yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan para mukalaf, baik mengenai ibadat atau adat, mu’amalah madaniyah dan maliyahnya, ahwalusy syakhshiyah, jinayat dan uqubat, dusturiyah dan dauliyah, jihad dan lain sebagainya.
Yang pertama menjadi dasar agama, yang kedua menjadi penyempurna bagian yang pertama, amaliyah yang kadang-kadang disebut juga syari’at adalah bagian hukum-hukum yang diperbincangkan dan menjadi objek fiqih. Dan inilah yang kemudian disebut hukum Islam.

2.2 Hadits
2.2.1 Pengertian Hadits
Hadits memiliki arti:
a. al jadid minal asyya  (sesuatu yang baru), lawan dari  qodim . Hal ini mencakup sesuatu (perkataan), baik banyak atau sedikit.
b. Qorib  (yang dekat)
c. Khabar  (berita), yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain dan ada yang benar atau salahnya.
Hadits-hadits yang ditemukan memiliki hadits yang hampir sama ( murodif) dengan sunah, yang mana yang memiliki arti dari sesuatu yang berasal dari Rasul, baik setelah dingkat atau sebelumnya. Akan tetapi, kita melihat lafadz hadits umum adalah segala sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad saw. Setelah diangkat menjadi nabi, yang terdiri dari ucapan, perbuatan, dan taqrir beliau. Oleh sebab itu, sunah lebih umum dari pada hadits.
Menurut ahli ushul hadits adalah segala pekataan Rosul, perbuatan dan taqrir beliau, yang dapat digunakan dalil bagi hukum syar'i.
Hadis atau al-hadis menurut bahasa al-jadid yang artinya sesuatu yang baru -lawan dari al-Qadim- artinya yang berarti menunjukkan kepada waktu yang  dekat atau waktu yang singkat. Hadis juga sering disebut sebagai al-khabar, yang berarti berita, yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seorang  kepada orang lain. Sedangkan menurut istilah (terminologi), para ahli memberikan definisi  (ta’rif) yang berbeda-beda sesuai latar belakang disiplin ilmunya. Seperti pengertian hadis menurut ahli ushul akan berbeda dengan pengertian yang  diberikan oleh ahli hadis.
Menurut ahli hadis pengertian hadis ialah segala perkataan Nabi SAW, perbuatan, dan hal ihwannya. Yang dimaksud dengan hal ihwal ialah segala yang diriwayatkan dari Nabi SAW yang berkaitan dengan himmah, karakteristik, sejarah kelahiran dan kebiasaan-kebiasaanya. Ada juga yang memberikan pengertian lain, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifat beliau. Tetapi sebagian muhaditssin berpendapat bahwa hadis mempunyai cakupan pengertian yang lebih luas, tidak terbatas pada apa yang di sampaikan kepada Nabi SAW saja, melainkan termasuk juga yang disandarkan kepada para sahabat dan tabiin. Sebagaimana di sebutkan oleh al-tirmisi; ''Bahwasanya hadis itu bukan hanya untuk sesuatu yang marfu', yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, melainkan bisa juga untuk sesuatu yang mauquf yaitu yang disandarkan kepada sahabat dan yang maqtu' yaitu yang di sandarkan kepada tabiin.''
Sementara itu, para ulama ushul memberikan pengertian hadis adalah segala perkataan Nabi SAW, perbuatan, dan taqrirnya yang berkaitan dengan hukum syara' dan ketetapannya. Pengertian hadis menurut ahli ushul lebih sempit dibanding dengan pengertian hadis menurut ahli hadis. Menurut ahli ushul hadis adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW baik ucapan, perbuatan, maupun ketetapan yang berhubungan dengan hukum atau ketentuan-ketantuan Allah yang disyariatkan kepada manusia. Selain itu tidak bisa di katakan hadis.
Hadis nabi Muhammad saw dapat dibedakan menjadi 3 bentuk yaitu sebagai berikut:
1. Hadis qauliyah yaitu hadis atas dasar segenap perkataan (ucapan) nabi Muhammad saw.
2. Hadis fi’liyah yaitu hadis atas dasar perilaku (perbuatan) yang dilakukannabi Muhammad saw.
3. Hadis Taqririyah adalah hadis atas dasar persetujuan nabi Muhammad saw terhadap apa yang dilakukan oleh para sahabatnya artinya nabi Muhammad saw memberikan penafsiran atau perbuatan yang dilakukan sahabatnya dalam suatu hukum Allah swt atau nabi diam sebagai tanda persetujuan (boleh) atas perbuatan-perbuatan sahabat nabi Muhammad saw.
Orang Islam, baik yang ahli maupun yang juga telah menemukan bahwa hadits merupakan dasar hukum islam, yang merupakan salah satu dari hukum Islam. Ia menempatkan kedudukannya yang sangat penting setelah al-Qur'an. Umat ​​islam diwajibkan memiliki hadis alternatif yang diwajibkan pada al-Qur'an. Dengan demikian, antara hadits dan al-Qur'an memiliki konteks yang sangat erat, yang satu sama lain tidak bisa diabaikan atau berjalan sendiri-sendiri.
Abdul Wahab Khalaf berkata: tak seorang pun yang mengingkari yang paling tidak, ada tiga fungsi sunnah terhadap Al-Qur'an jika di lihat hubungan antara keduanya, yaitu:
a. Berfungsi untuk menguatkan dan membenarkan hukum-hukum yang diturunkan oleh Al-Qur'an.
b. Untuk menjelaskan dan Pemikiran yang dipegang oleh Al-Qur'an yang hanya disebut secara global.
c. Sunnah kadang-kadang bekerja untuk mengeluarkan sesuatu ketentuan hukum yang tidak dibatalkan oleh Al-Qur'an.
Menurut Muhammad Ajjal Al-Khatib, bahwa Al-Quran dan hadits menjadi dua orang hukum syariah islam yang tetap, yang orang muslim tidak mampu memahami syariat islam dengan tanpa kembali kepada dua orang tersebut. Mujtahid dan orang dalam pun tidak bisa digunakan hanyakan salah satu dari kalian.
Banyak ayat al-Qur'an dan hadits yang memberi makna bahwa hadits itu merupakan salah satu hukum islam selain al-Qur'an yang wajib diikuti dari al-Qur'an.
Firman Allah dalam surat Al-Hashr ayat 7:
... وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
".... Apa yang memberikan Rasul kepadamu terimalah dan apa-apa yang dilarangnya, maka menyerahkanlah dan bertaqwalah kepada Allah,
 sesungguhnya Allah sangat keras hukum-Nya ”.
Dan firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 92:
وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَاحْذَرُوا ۚ فَإِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَاعْلَمُوا أَنَّمَا عَلَىٰ رَسُولِنَا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ
 “Dan taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul- (Nya) dan berhati-hatilah. Jika kamu berpaling, Maka ketahuilah bahwa Sesungguhnya Pasien Rasul Kami, hanya menyampaikan (amanat Allah) dengan terang. ”
Disamping itu, banyak juga ayat yang mewajibkan ketaatan kepada rasul secara khusus dan terpisah, antara lain QSAn-Nissa ayat 65 dan 80, QSAli Imran ayat 31, QSAn-Nur ayat 56, 62, dan 63, QSAl-Araf ayat 158.
Ayat-ayat di atas dapat ditarik agar setiap ada perintah taat kepada Allah harus diiringi taat kepada rasul-Nya. Dari sinilah sebetulnya dapat dinyatakan bahwea ungkapan wajib taat kepada rasul dan larangan mendurhakainya.
Dalam salah satu pesan Rasulallah, berkenaan dengan tradisi menjadikan hadits sebagai hukum atau kebiasaan hidup disamping al-Qur'an sebagai pedoman utama. Seperti sabda Nabi Muhammad Saw, sebagai berikut :
“Aku berhasil dua pusaka pada kalian. Jika kalian berpegang pada keduannya, niscaya tidak akan tersesat, yaitu kitab Allah (Al-quran) dan sunah Rasul-Nya ” (HR.Al-Hakim dari Abu Hurairah).
Hadits yang menunjukkan bahwa nabi SAW memberi al-Qur'an dan sunnah, dan mewajibkan kita berpegang teguh pada keduanya, dan mengambil yang ada pada sunnah seperti mengambil pada al-quran. Masih banyak hadits yangmenegaskan tentang cadangan perintah dan koreksi Rasulullah Saw.
Islam menghasilkan pernyataan untuk membuat dan mengamalkan hadits sebagai salah satu dasar hukum beramal, karena sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah Swt. Disamping itu, penerimaan mereka terhadap hadits sama seperti penerimaan mereka terhadap al-Qur'an, mengumpulkan keduanya sebagai sumber hukum islam.
Banyak yang menunjukkan adanya kesepakatan dengan hadits sebagai sumber hukum islam, antara lain: kompilasi Abu Bakar yang dibaiiat menjadi khalifah, ia pernah berkata: "Saya  tidak membebaskan sesuatu yang diamalkan oleh rasulallah, sesungguhnya saya takut tersesat ketika lenyap perintahnya ".
Pembahasan tentang hadits sebagai dasar hukum syariat islam dilakukan secara luas dalam semua kitab ushuf fiqh dan dari semua mazhab, alhasil sampai al-Auzyi (157 H) menyatakan bahwa “ Al-Quran lebih membutuhkan As-Sunnah ketimbang dengan As-Sunnah terhadap Al -Qur'an ”.
Menurut As-Saukani: singkatnya fokus sebagai hujjah (hukum islam) dan wewenang dalam menentukan hukum telah menjadi masalah dalam agama, tak seorangpun yang berbeda paham tentangnya kecuali mereka yang tidak memiliki cukup ilmu dalam Islam.

2.2.2 Macam-Macam Hadits
Macam-macam hadits dapat dibagi sebagai berikut:
a. Berdasarkan ujung sanad
Berdasarkan kadar ini hadits dibagi menjadi:
1). Hadits Marfu 'hadits yang sanadnya berujung langsung pada Nabi Muhammad Saw.
2). Hadits Mauquf adalah hadits yang sanadnya terhenti pada para sahabat nabi tanpa ada tanda-tanda baik secara perkumpulan dan perbuatan yang menunjukkan derajat marfu '.
3). Hadits Maqtu 'adalah hadits yang sanadnya berujung pada para Tabi'in (penerus).
b. Berdasarkan keutuhan rantai / lapisan sanad
Berdasarkan hal ini hadits terbagi menjadi beberapa golongan yaitu:
1). Hadits Musnad, sebuah hadits tergolong musnad intelektual urutan sanad yang dimiliki hadits tersebut tidak terpotong pada bagian tertentu. Yakni urutan penutur memungkinkanpres transfer hadits berdasarkan waktu dan kondisi.
2). Hadits Mursal yaitu saat penutur 1 tidak dijumpai atau dengan kata lain tabi'in menisbatkan langsung kepada Rasulullah Saw.
3). Hadits Munqati 'yaitu bila sanad putus pada salah satu penutur yaitu penutur 4 atau 3.
4). Hadits Mu'dal saat sanad terputus pada dua generasi penuturirmasi-turut.
5). Hadits Mu'allaq bila sanad terputus pada penutur 4 hingga penutur 1.
c. Berdasarkan jumlah penutur.
Jumlah penutur yang dimaksud adalah jumlah penutur dalam setiap tingkat dari sanad, atau beberapa yang berbeda yang menjadi sanad hadits tersebut. Berdasarkan kadar ini hadits dibagi atas:
1). Hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dari beberapa sanad dan tidak ada yang memungkinkan mereka untuk melakukan hal itu.
2). Hadits ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang namun tidak mencapai tingkat mutawatir
d. Berdasarkan tingkat keaslian hadits.
Kategorisasi tingkat keaslian hadits adalah klasifikasi yang paling penting dan merupakan kesimpulan terhadap tingkat atau penolakan terhadap hadits tersebut. Tingkatan hadits pada variasi ini terbagi menjadi:
1). Hadits shahih yaitu tingkat tertinggi penerimaan atasy hadits.
2).Hadits hasan adalah ketika hadits yang bersabuk sanadnya, diriwayatkan oleh rawi yang adil namun tidak sempurna ingatannya, dan juga matannya tidak syadz serta cacat.
3). Hadits Dhaif (lemah), yaitu hadits yang sanadnya tidak bersambung (dapat berupa mursal, mu'allaq, mudallas, munqati 'atau mu'dal) dan diriwayatkan oleh orang yang tidak adil atau tidak kuat ingatannya, mengandung kejanggalan atau cacat.
4). Hadits Maudu, ketika hadits dicurigai palsu atau karena dalam rantai sanadnya dijumpai penutur yang memiliki kenyamanan berdusta.

2.2.3 Struktur Hadits Yang Meliputi Sanad Dan Matan
Sanad ialah rantai penutur/rawi (periwayat) hadits. Rawi adalah masing-masing orang yang menyampaikan hadits tersebut (dalam contoh di atas: Bukhari, Musaddad, Yahya, Syu'bah, Qatadah dan Anas). Awal sanad ialah orang yang mencatat hadits tersebut dalam bukunya (kitab hadits); orang ini disebut mudawwin atau mukharrij. Sanad merupakan rangkaian seluruh penutur itu mulai dari mudawwin hingga mencapai Rasulullah. Sanad memberikan gambaran keaslian suatu riwayat.
Sebuah hadits dapat memiliki beberapa sanad dengan jumlah penutur/rawi yang bervariasi dalam lapisan sanadnya; lapisan dalam sanad disebut dengan thabaqah. Signifikansi jumlah sanad dan penutur dalam tiap thabaqah sanad akan menentukan derajat hadits tersebut, hal ini dijelaskan lebih jauh pada klasifikasi hadits. Jadi yang perlu dicermati dalam memahami hadits terkait dengan sanadnya ialah :
a. Keutuhan sanadnya
b. Jumlahnya
c. Perawi akhirnya
Sebenarnya penggunaan sanad sudah dikenal sejak sebelum datangnya Islam. Hal ini diterapkan di dalam mengutip berbagai buku dan ilmu pengetahuan lainnya. Akan tetapi mayoritas penerapan sanad digunakan dalam mengutip hadits-hadits nabawi.
Matan ialah redaksi dari hadits, dari contoh sebelumnya maka matan hadits bersangkutan ialah: "Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia cinta untuk saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri" Terkait dengan matan atau redaksi, maka yang perlu dicermati dalam mamahami hadits ialah Ujung sanad sebagai sumber redaksi, apakah berujung pada Nabi Muhammad atau bukan, Matan hadits itu sendiri dalam hubungannya dengan hadits lain yang lebih kuat sanadnya (apakah ada yang melemahkan atau menguatkan) dan selanjutnya dengan ayat dalam Al Quran (apakah ada yang bertolak belakang).

2.2.4 Kedudukan Hadits
Adapun kedudukan atau fungsi hadis nabi Muhammad saw dalam hukum Islam adalah sebagi berikut:
a. Hadits sebagai sumber hukum Islam yang kedua
Ada beberapa hukum yang tidak disebutkan di dalam Al-Qur’an. Rasulullah saw, kemudian menjelaskan hukumnya baik dengan perkataan, perbuatan maupun dengan penetapan. Dalil hukumnya menjadi sunnah karena apa yang dilakukan Rasulullah itu tidak lain penjabaran dari prinsip-prinsip yang sudah ada dalam Al-Qur’an. Firman Allah swt sebagai berikut: “….Apa yang diberikan rasul kepadamu maka terimalah dia dan apa yang di larangnya bagimu maka tinggalkanlah…” (QS. Al Hasyr: 7). “ Sesungguhnya telah ada pula diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik” (QS. Al Ahzab: 21). “Katakanlah: taatilah Allah dan RasulNya, jika kamu berpaling maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir” (QS Ali Imran :32). “ Barangsiapa yang mentaati rasul itu sesungguhnya ia telah mentaati Allah dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemeliharaan bagi mereka” (QS An Nisa:80)
b. Hadis sebagai penguat dan pengukuh hukum
Sebagai penguat dan pengukuh hukum yang tealh disebutkan Allah didalam kitabnya, sehingga keduanya yaitu Al-Qur’an dan hadis menjadi sumber hukum yang saling melengkapi dan menyempurnakan.
c. Hadis sebagai penjelas
Hadis merupakan penjelas atau perincian terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang masih bersifat umum. Umpamanya, perintah shalat didapati dalam Al-Qur’an, tetapi tidak di jelaskan tentang cara melaksanakannya, banyak rakaatnya, serta rukun dan syarat-syaratnya, Rasulullah saw melalui hadis menjelaskan semua itu sehingga umatnya tidak menajalani kesulitan untuk melaksanakan perintah tersebut. Demikian pula halnya dengan perintah puasa dan haji yang telah terdapat  di dalam Al-Qur’an tetapi tidak dijelaskan tentang pelaksanaannya secara terperinci, Rasulullah kemudian menjelaskan dengan perbuatannya melalui praktek (tata krama) atau secara normatif dalam menjalanakan perintah Allah swt tersebut, Firman Allah swt: “.. Dan kami turunkan Al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkankepada merekan…” (QS An-Nahl: 44).
d. Hadis Menetapkan hukum-hukum tidak terdapat dalam Al-Qur’an
Hadis juga dapat berfungsi untuk menetapkan hukum apa bila di dalam Al-Qur’an tidak dijumpai seperti halnya keharaman seorang laki-laki untuk menikah dengan bibi istrinya dalam waktu yang bersamaan. Perhatikan terjemahan hadis berikut ini.
“ Dilarang seseorang mengumpulkan (mengawini secara bersama) seorang perempuan saudaranya perempuan dari ayahnya serta seorang perempuan dengan saudara perempuan dari ibunya” (HR. Bukhori-Muslim).
Hadis merupakan sumber hukum ke dua setelah Al-Qur’an hal ini bukan berarti bahwa nabi Muhammad saw, sebagai penetap hukum atau memiliki kapasitas sebagai pembuat hukum melainkan Allah swt. sendiri yang memberikan keputusan melalui perantara yakni rasulNya. Perhatikan firman Allah swt “Dan tidaklah apa yang diucapkan (rasul) menurut kemauan hawa nafsunya ucapan itu tidak lain adalah wahyu yang di wahyukan” (QS. An-Najm: 3-4).

2.3 Ijtihad
2.3.1 Pengertian Ijtihad
Secara etimologi, ijtihad diambil dari kata al-jahd atau al-juhd, yang berarti al-masyaqat (kesulitan dan kesusahan) dan ath-thaqat (kesanggupan dan kemampuan). Dengan kata lain, Ijtihad secara etimologi adalah pencurahan segenap kesanggupan untuk mendapatkan sesuatu urusan atau sesuatu perbuatan. Dalam Al-Qur’an disebutkan:
 وَالَّذِينَ لَا يَجِدُونَ إِلَّا جُهْدَهُمْ …
Artinya:
“…Dan (mencela) orang yang tidak memperoleh (sesuatu untuk disedekahkan) selain kesanggupan.” Q.S. At-Taubah:79)
Kata al-jahd bbeserta seluruh derivasinya menunjukkan pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasa dan sulit untuk dilaksanakan atau disenangi.
Dalam pengertian inilah, Nabi mengungkapkan kata-kata:

صَلُّوْا عَلَيَّ وَجْتَهِدُا وْ فِى الدُّعَاءِ   
Artinya:
Bacalah salawat padaku dan bersungguh-sungguhlah dalam berdoa.”

وَأَمَّاالسُّجُوْدُ فَاجْتَهِدُوْا فِى الدُّعَاءِ
Artinya:
Pada waktu sujud, bersungguh-sungguhlah dalam berdoa.”
Demikian pula pada jihad (perang) yang derivasinya sama dengan ijtihad mengandung arti sungguh-sungguh dan tidak disenangi.
Ijtihad adalah masdar dari fiil madzi ijtahada.Penambahan hamzah dan ta’ pada kata ja-ha-da menjadi ijtahada  pada wajan if-ta-a’-la berarti, “usaha itu lebih sungguh-sungguh”. Seperti halnya ka-sa-ba menjadi iktasaba, yang berarti “usaha lebih kuat dan sungguh-sungguh”. Oleh sebab itu, ijtihad berarti usaha keras atau pengerahan daya upaya (istifragh al-wus’ atau badzl al-wus’). Dengan demikian, ijtihad berarti usaha maksimal untuk mendapatkan atau memperoleh sesuatu. Sebaliknya, suatu usaha yang dilakukan tidak maksimal dan tidak menggunakan daya upaya yang keras tidak disebut ijtihad, melainkan daya nalar biasa, ar-ra’y atau at-tafkir.
Adapun definisi ijtihad secara terminologi cukup beragam dikemukakan oleh ulama ushul fiqih, namun intinya adalah sama. Sebagai berikut:
1.  Ibnu Abd al-Syakur, dari kalangan Hanafiyah mendefinisikannya sebagai: “Pengerahan kemampuan untuk menemukan kesimpulan hukum-hukum syara’ sampai ke tingkat zhanni (dugaan keras) sehingga mujtahid itu merasakan tidak bisa lagi berupaya lebih dari itu.”
2.  Al-Baidawi (w. 685 H), ahli Ushul Fiqh dari kalangan Syafi’iyah mendefinisikannya sebagai: “Pengerahan seluruh kemampuan dalam upaya menemukan hukum-hukum syara’.”
3.  Abu Zahra, ahli Ushul Fiqh yang hidup pada awal abad kedua puluh ini mendefinisikan ijtihad sebagai: “Pengerahan seorang ahli fikih akan kemampuannya dalam upaya menemukan hukum yang berhubungan dengan amal perbuatan dari satu per satu dalilnya.”
4. Abdul Wahhab Khallaf menerangkan ijtihad dalam arti luas yang meliputi beberapa hal berikut:
a.  Pencurahan segenap kemampuan untuk mendapatkan hukum syara’ yang dikehendaki oleh nas yang zanni dalalahnya.
b.  Pencurahan segenap kemampuan untuk mendapatkan hukum syara’ yang amali dengan menetapkan kaidah syar’iyah kulliyah.
c.  Pencurahan segenap kesanggupan untuk mendapatkan hukum syara’ yang amali mengenai masalah yang tidak ditunjuki hukumnya oleh nas dengan sarana-sarana yang diperbolehkan oleh syarak guna ditetapkan hukumnya.
Dari beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa Ijtihad adalah suatu pekerjaan yang mempergunakan segala kesanggupan daya rohaniah untuk mendapatkan hukum syara’ atau menyusun suatu pendapat dari suatu masalah hukum yang bersumber dari Al Qur’an dan hadis.

2.3.2 Dasar Hukum Ijtihad
Ijtihad bisa dipandang sebagai salah satu metode untuk menggali sumber hukum Islam. Yang menjadi landasan dibolehkannya ijtihad banyak sekali, baik melalui pernyataan yang jelas maupun berdasarkan isyarat, diantaranya:
Firman Allah SWT Q.S. An-Nisa ayat 105:

 إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ
Artinya:
sesungguhnya kami turunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu”.
Firman Allah SWT Q.S. An-Nisa ayat 59:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلً
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
Adanya keterangan dari sunah, yang membolehkan berijtihad, diantaranya:
Sabda Nabi SAW:
إذَا حكم الحاكم فاجْتهد فاصاب فله اجران وإذا حكم فاجْتهد ثـمّ أخْطأ فلهُ أجْرٌ
Artinya:
“Apabila hakim memutuskan hukum dengan berijtihad dan ia menemukan kebenaran dalam berijtihadnya, maka ia mendapat dua pahala. Jika ia tidak memperoleh kebenaran dalam ijtihadnya, maka ia memperoleh satu pahala” (H.R.Bukhari dan Muslim) Falsafat Tasyri’.
Hadits yang menerangkan dialog Rasulullah SAW dengan Mu’adz bin Jabal, ketika Muadz diutus menjadi hakim di Yaman  berikut ini:

عَنْ أُناَسٍ مِّنْ اَهْلِ حَمَص مِنْ أَصْحَابِ مُعَاذ بْنِ جَبَلِ إِنَّ رَسُوْلُ اللهِ لَمَّا أَرَادَ أَنْ يَبْعَثَ مُعَاذًا الِيَ الْيَمَنِ قَالَ: كَيْفَ تَقْضِ إِذَاعَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ؟ قَالَ: أَقْضِى بِكِتَابِ اللهِ. قَالَ: فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي كِتَابِ الله؟ قَالَ: فَبِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ. قَالَ: فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ وَلَا فِي كِتَابِ اللهِ؟ قَالَ: اَجْتَهِدُ رَايْئِ وَلَاآلُوْ. فَضَرَبَ رَسُوْلُ اللهِ صَدْرَهُ وَقَالَ: اَلْحَمْدُلِلَّهِ الَّذِيْ وَفَّقَ رَسُوْلَ رَسُوْلِ اللهِ لَمَّا يَرْضَي رَسُوْلُ اللهِ  (رواه ابوداود).
Artinya :
“Diriwayatkan dari penduduk homs, sahabat Muadz ibn Jabal, bahwa Rasulullah saw. Ketika bermaksud untuk mengutus Muadz ke Yaman, beliau bertanya: apabila dihadapkan kepadamu satu kasus hukum, bagaimana kamu memutuskannya?, Muadz menjawab:, Saya akan memutuskan berdasarkan Al-Qur’an. Nabi bertanya lagi:, Jika kasus itu tidak kamu temukan dalam Al-Qur’an?, Muadz menjawab:,Saya akan memutuskannya berdasarkan Sunnah Rasulullah. Lebih lanjut Nabi bertanya:, Jika kasusnya tidak terdapat dalam Sunnah Rasul dan Al-Qur’an?,Muadz menjawab:, Saya akan berijtihad dengan seksama. Kemudian Rasulullah menepuk-nepuk dada Muadz dengan tangan beliau, seraya berkata:, Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk kepada utusan Rasulullah terhadap jalan yang diridloi-Nya.”(HR.Abu Dawud)
            Dan hal itu telah diikuti oleh para sahabat setelah Nabi wafat. Mereka selalu berijtihad jika menemukan suatu masalah baru yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.

2.3.3 Macam-macam Ijtihad
Dikalangan ulama, terjadi perbedaan pendapat mengenai masalah ijtihad. Iman Syafi’I menyamakan ijtihad dengan qiyas, yakni dua macam, tetapi maksudnya satu. Dia tidak mengakui ra’yu yang didasarkan pada istihsan atau maslahah mursalah. Sementara itu, para ulama lainnya memiliki pandangan lebih luas tentang ijtihad. Menurut mereka, ijtihad itu mencakup ra’yu, qiyas, dan akal.
Pemahaman mereka tentang ra’yu sebagaimana yang diungkapkan oleh para sahabat, yaitu mengamalkan apa-apa yang dipandang maslahat oleh seorang mujtahid, atau setidak-tidaknya mendekati syari’at, tanpa melihat apakah hal itu ada dasarnya atau tidak. Berdasarkan pendapat tersebut, Dr. Dawalibi membagi ijtihad menjadi kitabAl-Muwafakat, yaitu:
a.  Ijtihad Al-Batani, yaitu ijtihad untuk menjelaskan hokum hokum syara’ dari nash.
b.  Ijtihad Aal-qiyasi, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunah dengan menggunakan metode qiyas.
c.  Ijtihad al-istislah, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunah dengan menggunakan ra’yu berdasarkan kaidah istishlah.
            Pembagian di atas masih belum sempurna, seperti yang diungkapkan oleh Muhammad Taqiyu al-Hakim dengan mengemukakan beberapa alasan, diantaranya jami’ wal mani. Menurutnya, ijtihad itu dapat dibagi menjadi dua bagian saja, yaitu:
1.  Ijtihad al-aqli, yaitu ijtihad yang hujjahnya didasarkan pada akal, tidak menggunakan dalil syara’. Mujtahid dibebaskan untuk berpikir, dengan mengikuti kaidah-kaidah yang pasti. Misalnya, menjaga kemadaratan, hukuman itu jelek bila tidak disertai penjelasan, dan lain-lain.
2.  Ijtihad syari’, yaitu ijtihad yang didasarkan pada syara’, termasuk dalam pembagian ini adalah ijma’, qiyas, istihsan, istishhab, maslahah mursalah, ‘urf.
a.         Ijma
Ijma adalah salah satu jenis ijtihad yang dilakukan para ulama dengan cara berunding, berdiskusi, lalu akhirnya muncul suatu kesepakatan untuk menyelesaikan suatu permasalahan. Keputusan bersama ini tentu saja tidak begitu saja dilakukan, semua harus bersumber pada Al-Quran dan juga hadits. Hasil dari ijtihad ini sering kita sebut sebagai fatwa, dan fatwa inilah yang sebaiknya diikuti oleh umat Islam. Kesepakatan dari para ulama ini tentu saja merupakan hasil akhir dari berbagai diskusi yang telah dilakukan, sehingga semestinya tidak mengandung pertentangan lagi.
Q.S. An-Nisa ayat 59:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلً
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
Ayat di atas memerintahkan agar mengembalikan segala yang diperselisihkan kepada Alquran dan Assunnah. Jika tidak ada perselisihan maka tentu tak ada kelaziman untuk harus mencari-cari dalil teksnya.
Contoh Ijma : Haramnya pernikahan antara wanita muslimah dengan laki-laki non muslim, batu mulia tidak wajib di zakati, keharaman atas gashab yang disepakati oleh para mujtahid dan lain-lain.
b.         Qiyas
Salah satu macam ijtihad adalah Qiyas, yaitu upaya mencari solusi permasalahan dengan cara mencari persamaan antara masalah yang sedang dihadapi dengan yang ada di dalam sumber agama (Al-Quran dan hadits).
Bila masalah yang sedang dihadapi dianggap mirip dengan yang ada di dalam kitab suci maupun hadits, maka para ulama akan menggunakan hukum yang ada di dalam sumber agama tersebut untuk menyelesaikan masalah. Namun tidak mudah pula mencari kemiripan satu masalah yang terjadi jaman sekarang dengan yang terjadi pada masa lalu. Di sinilah sebenarnya kenapa seorang mujtahid atau yang melakukan ijtihad diperlukan memiliki keluasan pengetahuan tentang agama dan masalah-masalah lain yang terkait dengannya. QS. al Hashr (59:2) :
هُوَ الَّذِي أَخْرَجَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ مِنْ دِيَارِهِمْ لأوَّلِ الْحَشْرِ مَا ظَنَنْتُمْ أَنْ يَخْرُجُوا وَظَنُّوا أَنَّهُمْ مَانِعَتُهُمْ حُصُونُهُمْ مِنَ اللَّهِ فَأَتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ حَيْثُ لَمْ يَحْتَسِبُوا وَقَذَفَ فِي قُلُوبِهِمُ الرُّعْبَ يُخْرِبُونَ بُيُوتَهُمْ بِأَيْدِيهِمْ وَأَيْدِي الْمُؤْمِنِينَ فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الأبْصَارِ
Artinya: “Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli Kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran kali yang pertama. Kamu tiada menyangka, bahwa mereka akan keluar dan mereka pun yakin, bahwa benteng-benteng mereka akan dapat mempertahankan mereka dari (siksaan) Allah; maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. Dan Allah mencampakkan ketakutan ke dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang yang beriman. Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan”.
Contoh : menganalogikan narkotika, yang pada zaman Nabi Muhammad tidak ada, dengan khamr (minuman memabukkan). Karena sifat yang menimbulkan membahayakan kesehatan, kecanduan dan ketergantungan sama seperti khamr, maka narkotika dianggap sama hukumnya dan dianggap haram.
c.         Istihsan
Istihsan adalah salah satu macam ijtihad yang dilakukan oleh pemuka agama untuk mencegah terjadinya kemudharatan. Ijitihad ini dilakukan dengan mengeluarkan suatu argumen beserta fakta yang mendukung tentang suatu permasalahan dan kemudian ia menetapkan hukum dari permasalahan tersebut. Dalam penetapan hukum ini bisa jadi pada akhirnya akan memunculkan pertentangan dari yang tidak sepaham.
واتبعوا احسن ما انزل اليكم من ربكم
Artinya: Dan turutlah (pimpinan) yang sebaik-baiknya yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu”….(QS. Az-Zumar :55).
Dalam ayat ini Allah memerintahkan kita untuk mengikuti yang terbaik, dan perintah menunjukkan bahwa ia adalah wajib. Dan di sini tidak ada hal lain yang memalingkan perintah ini dari hukum wajib.
Contoh : Misalnya kebolehan dokter melihat aurat wanita dalam proses pengobatan. Menurut kaidah umum seseorang dilarang melihat aurat orang lain. Tapi, dalam keadaan tertentu seseorang harus membuka bajunya untuk di diagnosa penyakitnya. Maka, untuk kemaslahatan orang itu, maka menurut kaidah istihsan seorang dokter dibolehkan melihat aurat wanita yang berobat kepadanya.
d.         Istishab
Upaya untuk menyelesaikan suatu masalah yang dilakukan para pemuka agama dengan cara menetapkan hukum dari masalah tersebut. Namun, bila suatu hari nanti ada alasan yang sangat kuat untuk mengubah ketetapan tersebut, maka hukum yang semula ditetapkan bisa diganti, asalkan semuanya masih dalam koridor agama Islam yang benar.
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ اسْتَوَىٰ إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ ۚ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Artinya: “Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (al-Baqarah; 29).
Dasar di atas menunjukan bahwa segala sesuatu yang ada di bumi itu untuk manusia dan tidaklah semua yang ada di bumi ini diciptakan utuk manusia kecuali diperbolehkan bagi mereka, karena seandainya dilarang niscaya tidak diciptakan untuk manusia. Ulama Ushul berkata, “sesungguhnya Istishab adalah akhir tempat beredarnya fatwa.”. Yaitu mengetahui suatu menurut hukum yang telah ditetapkan baginya selama tidak terdapat dalil yang mengubahnya. Ini adalah teori dalam pengambilan dalil yang telah menjadi kebiasaan dan tradisi manusia dalam mengelola berbagai ketetapan untuk mereka.
Contoh : Seorang pembeli pulsa elektrik mengkomplain kepada pihak counter, bahwa pulsa yang ia beli belum masuk, dan pihak counter menyatakan bahwa pulsa telah terkirim. Maka hukum yang diambil adalah pulsa belum masuk/terkirim. Kecuali pihak counter bisa menunjukkan bukti pengiriman elektrik bahwa pulsa telah terkirim kepada nomor Hp si pembeli dengan benar, baik nominal, hari/tanggal dan waktunya.
e.         Maslahah mursalah
Salah satu dari macam ijtihad yang juga dilakukan untuk kepentingan umat adalah maslahah murshalah. Jenis ijtihad ini dilakukan dengan cara memutuskan permasalahan melalui berbagai pertimbangan yang menyangkut kepentingan umat. Hal yang paling penting adalah menghindari hal negatif dan berbuat baik penuh manfaat.
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Artinya: ”Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.” (Q.S. Al Anbiya : 107).
Contoh : Membuang barang milik orang lain yang ada di atas kapal laut tanpa izinnya, disebabkan ada gelombang besar yang mengakibatkan kapal oleng. hal tersebut dilakukan demi kemaslahatan seluruh penumpang dan menolak bahaya.
f.          Urf
Ijtihad ini dilakukan untuk mencari solusi atas permasalahan yang berhubungan dengan adat istiadat. Dalam kehidupan masyarakat, adat istiadat memang tak bisa dilepaskan dan sudah melekat dengan masyarakat kita. Ijtihad inilah yang menetapkan apakah adat tersebut boleh dilakukan atau tidak. Apabila masih dalam koridor agama Islam, maka boleh dilaksanakan. Namun bila tidak sesuai dengan ajaran Islam, maka harus ditinggalkan.
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
Artinya: “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (al-‘urfi), serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-A’raf 199).
Kata al-‘Urf dalam ayat tersebut, dimana umat manusia disuruh mengerjakannya, oleh Ulama Ushul fiqih dipahami sebagai sesuatu yang baik dan telah menjadi kebiasaan masyarakat. Berdasarkan itu maka ayat tersebut dipahami sebagai perintah untuk mengerjakan sesuatu yang telah dianggap baik sehingga telah menjadi tradisi dalam suatu masyarakat.
Contoh : urf dalam mahar di indonesia yaitu seperangkat alat sholat, urf mencium tangan orang tua sebelum berangkat ke sekolah.

2.3.4 Objek Ijtihad               
            Menurut Al-Ghazali, objek ijtihad adalah setiap hukum syara’ yang tidak memiliki dalil yang qathi’. Dari pendapatnya itu, diketahui ada permasalahan yang tidak bisa dijadikan objek ijtihad.
            Dengan demikian, syari’at Islam dalam kaitannya dengan ijtihad terbagi dalam dua bagian:
a.    Syari’at yang tidak boleh dijadikan lapangan ijtihad, yaitu hukum-hukum yang telah dimaklumi sebagai landasan pokok Islam, yang berdasarkan pada dalil-dalil yang qathi’, seperti kewajiban melaksanakan shalat, zakat, puasa, ibadah haji, atau haramnya melakukan zina, mencuri, dan lain-lain. Semua itu telah ditetapkan hukumnya di dalam Al-Qur’an dan As-Sunah. Kewajiban shalat dan zakat berdasarkan firman Allah SWT.
….وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ
Artinya: “Dan dirikanlah shalat tunaikanlah zakat….” (Q.S. An-Nur ayat 56).
Ayat tersebut tidak boleh dijadikan lapangan ijtihad untuk mengetahui maksud shalat.
b.    Syari’at yang bisa dijadikan lapangan ijtihad, yaitu hukum yang didasarkan pada dalil-dalil yang bersifat zhanni, baik maksudnya, petunjuknya, ataupun eksistensinya (tsubut), serta hukum-hukum yang belum ada nash-nya dan ijma’ para ulama.
Apabila ada nash yang keberadaanya masih zhanni, hadis ahad misalnya, maka yang menjadi lapangan ijtihad di antaranya adalah meneliti bagaimana sanadnya, derajat para perawinya, dan lain-lain.
Dan nash yang petunjuknya masih zhanni, maka yang menjadi lapangan ijtihad, antara lain bagaimana maksud dari nash tersebut, misalnya dengan memakai kaidah ‘am, khas, mutlaq muqayyad, dan lain-lain.
Sedangkan terhadap permasalahan yang tidak ada nashnya, maka yang menjadi lapangan ijtihad adalah dengan cara menggunakan kaidah-kaidah yang bersumber dari akal, seperti qiyas, istihsan, maslahah mursalah, dan lain-lain. Namun, permasalahan ini banyak diperdebatkan di kalangan para ulama.

2.3.5 Hukum Melakukan Ijtihad
Menurut para ulama, bagi seseorang yang sudah memenuhi persyaratan ijtihad di atas, ada lima hukum yang bisa dikenakan pada orang tersebut berkenaan dengan ijtihad, yaitu:
a.  Dihukumi fardu ain untuk berijtihad apabila ada permasalahan yang menimpa dirinya, dan harus mengamalkan hasil dari ijtihad-nua dan tidak boleh taqliq kepada orang lain. Karena hukum ijtihad itu sama dengan hukum Allah terhadap permasalahan yang ia yakini bahwa itu termasuk hukum Allah.
b.  Dihukumi fardu ‘ain ditanyakan tentang suatu permasalahan yang belum ada hukumnya. Karena jika tidak segera dijawab, dikhawatirkan akan terjadi kesalahan dalam melaksanakan hukum tersebut atau habis waktunya dalam mengetahui kejadian tersebut.
c.  Dihukumi fardu kifayah, jika permasalahan yang diajukan kepadanya tidak dikhawatirkan akan habis waktunya, atau ada orang lainselain dirinya yang sama-sama memenuhi syarat sebagai seorang mujtahid.
d.  Dihukumi sunah apabila ber-ijtihad terhadap permasalahan yang baru, baik ditanya ataupun tidak.
e.  Dihukumi haram apabila ber-ijtihad terhadap permasalahan yang sudah ditetapkan secara qathi’, sehingga hasil ijtihadnya itu bertentangan dengan dalil syara’.

2.3.6 Fungsi Ijtihad
Adapun ijtihad memiliki beberapa fungsi, di antaranya sebagai berikut:
a. Ijtihad merupakan sumber hukum Islam yang ketiga setelah Al-Qur’an dan hadis.
b.  Ijtihad merupakan sarana untuk menyelesaikan persoalan-persoalan baru yang muncul dengan tetap berpegang pada Al-Qur’an dan sunah.
c.  Ijtihad berfungsi pula sebagai suatu cara yang di isyariatkan untuk menyesuaiakan perubahan-perubahan sosial dengan ajaran-ajaran Islam.
d.  Ijtihad berfungsi sebagai wadah pencurahan pemikiran kaum muslim dalam mencari jawaban dari masalah-masalah seperti berikut ini:
- Masalah asasi, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan ajaran Islam seperti masalah-masalah bidang akidah dan muamalat.
- Masalah esensial misalnya mengenai program pembangunan Negara dan bangsa.
- Masalah incidental misalnya tentang isu-isu yang berkembang dalam masyarakat.

2.3.7 Pengertian Mujtahid
Secara bahasa kata mujtahid merupakan isim fa’il dari kata اجتهد يجتهد اجتهدا فهو مجتهد artinya bersungguh-sunguh melakukan sesuatu. Sedangkan secara istilah ulama ushul berbeda pendapat dalam merumuskan pengertian mujtahid di antaranya :
a.    Menurut Imam Ghazali: Mencurahkan maksimal kemampuannya, dalam mencari ilmu tentang hukum syariat.
b.    Menurut Ibnu Hajib dan Ibnu Subki: Adanya ahli fiqh mencurahkan kemampuannya untuk memperoleh suatu pengertian  dhannipada hukum syari.
c.    Menurut Abu Zahrah : Pengerahan kemampuan untuk mengistinbathkan hukum yang bersifat praktis dari dalil-dalil yang terperinci (tafshili).
d.    Menurut Ibnu Humam : Mencurahkan kemampuan dari ahli fiqh untuk memperoleh hukum syari, baik aqli, maupun naqli, qotI atau dzanni.

2.3.8 Peranan Mujtahid
Menurut Abu Ishak al-Syathibi, bahwasanya posisi seorang mujtahid di tengah-tengah umat, serupa dengan posisi Nabi Muhammad SAW dengan sejumlah urusan yang istimewa, diantaranya adalah:
a.    Mewarisi ilmu syariah secara umum, sebagaimana sabda Rasulullah:
إن العلماء ورثة الأنبياء و إن الأنبياء لم يورثوا دينارا ولا درهما و إنما ورثو العلم
“ Sesungguhnya ulama adalah ahli waris para Nabi dan bahwasanya para Nabi tidak mewariskan uang dinar dan dirham. Hanya saja mereka mewariskan ilmu.” (H. R. Abu Dawud dan Tirmidzi).
b.    Ia sebagai pengganti Nabi dalam menyampaikan hukum-hukum Islam, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
ألا فليبلغ منكم الشاهد الغائب
“ Ketahuilah yang hadir diantara kalian hendaklah menyampaikan kepada yang tidak hadir.” (H. R. al-Bukhari).
Dalam sabda beliau yang lainnya:
بلغوا عني ولو ءاية
” Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat (sepatah kata).” (H.R. al-Bukhari).
c.       Bahwasanya mujtahid itu merupakan muballig dari hukum syari atau penafsir dari padannya. Jika ia menerangkan dan menjelaskan hukum syari menurut pandangan dan ijtihadnya. Maka dalam hal ini wajib diikuti dan mengamalkan pendapatnya. Inilah makna khilafah yang sebenarnya dari Rasulullah SAW.

2.3.9 Syarat-Syarat Mujtahid
Syarat-syarat yang harus bagi seorang mujtahid ada dua macam yaitu: syarat-syarat umum dan syarat-syarat kelayakan (ahliyah):
1. Syarat-syarat umum (yang berhubungan dengan kepribadian) ada tiga, yaitu:
a. Islam
b. Baligh
c. Berakal
2. Syarat-syarat ahliyah (yang berhubungan dengan kemampuan):
a. Mengetahui nash al-Quran dan sunnah, paling kurang yang berkaitan dengan masalah yang dibahasnya.
Selain daripada itu, seorang mujtahid harus mendalami ulumul Quran misalnya:
- Asbab an-Nuzul
- Nasikh dan Mansukh
- Makkiyah dan Madaniyah
- Al-Am dan al-Khash
- Muthlaq dan Muqayyad
- Muhkam dan Mutasyabih
b. Mengetahui ijmayang sudah ada, agar dia tidak berfatwa menentangnya, karena ijmadianggap bernilai yakin.
Mengetahui tentang letak ijmadan mengetahui hukum-hukum yang tetap pada prinsip ini adalah dharuri bagi mujtahid. Dengan mengetahui ini ia tidak akan berijtihad pada masalah yang telah disepakati dan memang tiada ijmapada masalah yang telah disepakati hukumnya. Para ulama telah sepakat pada masalah ini akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang ukuran yang wajib diketahui. Diantara mereka ada yang mensyaratkan agar mengetahui seluruh masalah yang telah disepakati para sahabat sampai masa mujahid itu.
d.    Menguasai bahasa arab, sehingga dapat menafsirkan ayat dan hadis.
Para ulama ushul sepakat bahwa pengetahuan tentang bahasa Arab adalah dharuri (wajib muthlaq), bagi setiap orang mujtahid, karena al-Quran yang merupakan sumber utama syariat Islam adalah bahasa arab.
e.    Mengerti ilmu ushul fikih.
Wajib bagi mujtahid mengetahui ilmu ushul fikih yakni kaedah umum pada ushul fikih, untuk mengenal hakikat hukum, dalil-dalil, dan syarat-syaratnya, aspek dilalah dan aspek tarjihnya diantara dalil, ketika terjadi kontradiksi dan mengetahui nasikh mansukh, syarat-syarat nasakh dan cara mengeluarkan hukum daripadanya.
Ia juga wajib mengetahui qiyas dan syarat-syaratnya, rukun-rukunnya, dan lain-lain sebagainya dari berbagai prinsip yang dibutuhkan oleh seorang mujtahid, untuk istinbath (menarik kesimpulan hukum). Oleh sebab itu Imam Syafii berkata bahwa ijtihad itu adalah mengetahui berbagai aspek qiyas dan metode-metodenya; bahkan ia menetapkan bahwa ijtihad itu ialah qiyas. Oleh sebab itu sorang mujtahid harus mengetahui jalannya qiyas yang benar.
f.     Mengetahui nasikh dan mansukh.
Imam ghazali dan Fakhru al-Razi menambahkan, agar mengetahui pula ilmu menggunakan dalil aqli (logika/manthiq). Tapi Jumhur tidak mensyaratkannya.
g.    Mengetahui maksud hukum.
Tujuan hukum dalam syariat Islam adalah rahmat kepada hambanya dan itulah puncak risalah Nabi Muhammad SAW sebagai firman Allah dalam S. al-Anbiya; 107:
و ما أرسلنك إلا رحمة للعلمين
Artinya :" dan kami tidak mengutusmu (muhammad) melainkan rahmat bagi alam semesta.
Sesungguhnya rahmat itu menghendaki adannya syariat itu ditegakkan atas tiga tingkat masalah, yaitu: 1) dharuriya, 2) hajiyat, 3) tahsiniyat. Disamping itu ia juga menghendaki pengangkatan keberatan, pencegahan kesempitan, dan memilih yang mudah dari pada yang sukar.
Menurut Imam Syathibi, ijtihad itu dibina atas dua dasar, yaitu:
-          Memahami maksud (tujuan Syariah) secara sempurna. Bahwasanya maksud syariah itu dibina dengan ketentuan, bahwa masalah Islam itu adalah tujuan hakiki. Tidak dipandang sebagai keinginan nafsu atau sesuai dengan mukallaf.
-          Kemampuan mengistinbath, melalui pengetahuan basa Arab, dan mengetahui hukum-hukum al-Quran, sunnah, dan ijma, serta perbedaan p-endapat fuqoha, dan berbagai aspek qiyas, karena semuanya ini merupakan alat untuk mengistinbath hukum.
h.    Niat yang baik dan aqidah yang benar.
Allah SWT hanya meletakkan hikmah didalam hati orang yang ikhlash, sehingga ia mudah mendapat petunjuk kepada kebaikan dan menghindari maksiat dan mungkar. Syariat Islam adalah suatu cahaya yang tidak dapat dimiliki, kecuali orang-orang yang menghadapinya dengan hati ikhlash. Adapun orang-orang yang rusak akidahnya, maka ia melakukan sesuatu atas bujukan hawa nafsunya, sehingga ia tidak mampu menghasilkan buah pikiran yang kuat; karena niat yang salah, mengarahkan pikiran yang salah.

2.3.10    Tingkatan Mujtahid
a.    Mujtahid Muthlaq atau Mustaqil (mujtahid fi asy-syari)
Ia mengeluarkan hukum-hukum langsung dari al-Quran dan sunnah kemudian ia melakukan qiyas dan sebagainya. Ia tidak mengikut kepada orang lain, baik dalam ushul maupun dalam furu. Oleh sebab itulah ia disebut dengan mujtahid muthlaq atau mujtahid mustaqil atau mujtahid kamil (mujtahid yang sempurna). Yang termasuk dalam tingkatan ini adalah:
- Fuqahaas-Shahaba.
- Fuqahaat-Tabiin diantaranya seperti : Said bin Musayyab dan Ibrahim an-Nakhai.
- Fuqahatabiat-Tabiin (fuqahaal-Mujtahidun), seperti: Jafar Shadiq dan ayahnya (Muhammad al-Baqir).
- Abu Hanifah, Malik, Syafii, dan Ahmad bin Hanbal.
- Al-Auzai, Laits bin Saad, Sufyan Ats-Tsauri, dan Abu Tsaur Ibarahim al-Bagdadi.
b. Mujtahid Muntasib
Mujtahid yang mengikuti salah satu  mazhab atau mengikuti cara berpikirnya. Ia memiliki kemampuan seperti mujtahid mutlak, tetapi ia tidak menyusun kaidah dan system untuk dirinya sendiri, melainkan ia memakai system dan metode yang telah ditempuh oleh mujtahid muthlaq (gurunya), meskipun ia tidak mengikuti dalil dan hukumnya, tetapi mengutip banyak kata-katanya.
Diantara mujtahid yang termasuk dalam tingkatan ini adalah:
- Mazhab Hanafi: Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan, dan Zufar.
- Mazhab Maliki: Ibnu al-Qasim, Asyhab, dan Asad Ibnu al-Firat.
- Mazhab Syafii: Al-Buwaith, al-Muzani, dan ar-Rabii.
- Mazhab Hanbali: Al-Atsaram dan al-Maruzi.
c. Mujtahid Mazhab
Ia berijtihad dalam masalah-masalah yang tiada nashnya dari Imam Mazhab, atau dapat disebutkan dengan: mujtahid takhri aw mukharrij. Diantara mereka yang termasuk dalam tingkatan ini adalah:
-  Mazhab Hanafi: al-Karakhi, at-Thahawi, al-Hulwani, al-Bazdawi, dan lain-lainnya.
-  Mazhab Maliki: al-Abhari, dan Ibnu Abi Zaid al Kairuwani.
- Mazhab Syafii: Abu Ishaq al-Syairazi, Ibnu Jarir at-Thabari, dan Ibnu Khuzaimah.
-  Mazhab Hanbali:  al-Qadhi Abu Yala, al-Qadhi Abu ali Bin Abi Musa.
d. Mujtahid Murajjih
 Orang yang mampu mentarjih suatu pendapat bagi Imam Mazhab atas pendapat lain, atau menguatkan antara pendapat Imam Mazhab dengan pendapat muridnya, atau imam lain. Mujtahid ini juga dinamakan dengan Mujtahid al-Fatawa. Diantara orang yang tergolong dalam tingkatan ini adalah:
- Mazhab Hanafi: al-Kaduri dan al-Marginani.
- Mazhab Maliki: al-Allamah Khalil.
- Mazhab Syafii: ar-Rafidan an-Nawawi.
- Mazhab Hanbali: al-Qadhi Alauddin al-Muradi dan Mahfudz Bin Ahmad al-Kaluzani.
e. Mujtahid Muqarin aw Mujtahid Muwazzin aw Mujtahid Mustadillin.
Orang yang membanding-bandingkan antara pendapat dengan riwayat.  Artinya ulama yang punya kemampuan untuk mentarjih pendapat imamnya tetapi hanya sekedar membanding-bandingkan dengan pendapat mazhabnya kemudian berdalil dengan apa yang dianggapnya lebih kuat untuk diamalkan.
f. Tingkatan pemeliharaan mazhab (Huffaz)
Ulama yang dalam tingkatan ini, melaksanakan pemeliharaan mazhab, menjelaskan yang samar, dan memisahkan antara pendapat yang lebih kuat dari pada yang kuat saja dan yang lemah; demikian pula yang rajih dan yang marjuh. Akan tetapi lemah dalam dalam menetapkan dalillnya, dan memperluas kiasannya.
Diantara ulama yang termasuk dalam tingkatan ini ialah: ulama-ulama yang menyusun matan fikih yang mutabarah dari ulama mutaakhirin, seperti pengarang al-Khanz, pengarang ad-Durrul Mukhtar. Mereka tidak menukilkan dalam kitab mereka pendapat yang tertolak atau riwayat yang lemah.
g. Tingkatan orang-orang yang bertaqlid (Muqallid):
Tingkatan inilah yang paling rendah dari semua tingkatan sebelummnya. Mereka hanya mampu membaca dan memahami kitab-kitab fikih, tetapi tidak mampu mentarjih diantara berbagai pendapat dan riwayat, serta tidak mengetahui ilmu tentang tarjih dan membedakan tingkatan tarjih itu.
Menurut Ibnu Abidin, mereka tidak memisahkan antara yang kurus dan yang gemuk, tidak membedakan antara yang kiri dan yang kanan, mereka hanya mengumpulkan pendapat itu seperti orang yang mengumpulkan kayu api pada malam hari, bahaya besar bagi orang yang mengikuti mereka.









KESIMPULAN

Dalam mengambil setiap hukum pastilah ada rujukan atau tempat diambilnya suatu keputusan, yaitu sumber hukum islam yang tentunya sumber yang pokok dan utama adalah al-qur’an dan diperjelas oleh hadis. Disamping itu ada pula bermacam macam metode yang merupakan produk dari penemuan para ulama yang selanjutnya terus mengalami perkembangan dengan pesat berdasarkan permasalahan yang semakin kompleks. Diantara metode tersebut adalah : ijma, qiyas, istihab, istihsan, urf, maslahah mursalah.

















Daftar Pustaka

https://lzaieda.wordpress.com/2014/09/28/makalah-ijtihad-sebagai-sumber-ajaran-islam/
http://hafizahrayani.blogspot.com/2016/05/makalah-ijtihad.html
http://www.akidahislam.com/2016/11/pengertian-fungsi-dan-macam-macam_20.html
http://ushululfiqhcoy.blogspot.com/2013/12/mujtahid.html
http://sanrawijayabsa.blogspot.com/2013/11/sumber-hukum-islam-yang-ke-2-al-hadits.html?m=1
https://www.kumpulanmakalah.com/2016/10/hadis-sebagai-sumber-hukum-islam.html?m=1