BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hukum Islam adalah hukum yang
ditetapkan oleh Allah SWT melalui wahyu yang kini terdapat dalam Al Qur‟an dan
dijelaskan oleh Nabi Muhammad SAWsebagai Rosul-Nya melalui sunnah beliau yang
kini tersimpan baik dalam kitab-kitab hadist.Hukum Islam juga memiliki beberapa
tujuan, antara lain :
a. Untuk ditaati dan dijalankan oleh
umat Islam.
b. Sebagai pedoman hidup.
Sumber Hukum Umat Islam menurut
Mahmud Syaltuth dibagi menjadi 3 macamyaitu :
a. Al Qur‟an ( Sumber Hukum Pertama dan
Utama ).
b. Al Hadits ( Sumber Hukum ke Dua
setelah Al Qur’an ).
c. Ijtihad / Ra’yu / Akal.
1.2 Rumusan Masalah
a. Sumber Hukum Islam
Berdasarkan Al Qur’an.
b. Sumber Hukum Islam
Berdasarkan Hadits.
c. Macam-Macam Hadits.
d. Sumber Hukum Islam
Berdasarkan Ijtihad.
e. Macam-Macam Ijtihad.
1.3 Tujuan Pembahasan
a. Mengetahui Sumber Hukum
Islam Berdasarkan Al Qur’an.
b. Mengetahui Sumber Hukum
Islam Berdasarkan Hadits.
c. Mengetahui Macam-Macam
Hadits.
d. Mengetahui Sumber Hukum
Islam Berdasarkan Ijtihad.
e. Mengetahui Macam-Macam
Ijtihad.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Al
Qur’an
2.1.1
Pengertian
Dan Turunnya Al-Qur’an
Dalam pengertian mengenai al-Qur’an dapat ditinjau
dari dua aspek, sebagai berikut:
a. Aspek
Etimologis
Makna kata Qur’an adalah sinonim dengan qira’ah dan
keduanya berasal dari kata qara’a. dari segi makna, lafal Qur’an bermakna
bacaan. Kajian yang dilakukan oleh Dr. Subhi Saleh menghasilkan suatu
kesimpulan bahwa al-Qur’an dilihat dari sisi bahasa berarti bacaan, adalah
merupakan suatu pendapat yang paling mendekati kebenaran. Arti inilah disebut dalam
firman Allah berikut ini:
Artinya:
Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (Al-Qur’an) di dadamu dan
membuatmu pandai membacanya. Apabila kami telah selesai membacakannya maka
ikutilah bacaannya itu.” (Al-Qiyamah: 17-18).
b. Aspek
Terminologi
Ditinjau dari aspek terminologi kata al-Qur’an
sesungguhnya telah banyak dikemukakan oleh para ‘Ulama. Diantaranya mereka ada
yang memberikan pengertian sama dengan al-kitab, karena selain nama al-Qur’an,
wahyu tersebut dikenal dengan sebutan al-kitab.
Kaitannya dengan hal ini Al-Khudari memberikan
definisi bahwa al-kitab adalah al-Qur’an yaitu lafal bahasa Arab yang
diturunkan pada Nabi Muhammad SAW untuk dipelajari dan diingat, yang dinukil
secara mutawatir, termaktub diantara dua sisi awal dan akhir, diawali dengan
surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surah an-Nas.
Dalam definisi diatas tegas bahwa al-kitab adalah
al-Qur’an itu sendiri. Menurut Al-Amidi penegasan ini dipandang perlu untuk
membedakan antara al-Qur’an dengan kitab-kitab lainnya seperti Taurat, Injil
dan Zabur. Sebab ketiga kitab ini juga diturunkan oleh Allah yang wajib di
imani oleh setiap muslim.
As-Shabuni mengemukakan dalam At-Tibyan Fi Ulum
Al-Qur’an, al-Qur’an adalah firman Allah yang mengandung mukjizat, diturunkan
pada Nabi terakhir ditulis dalam beberapa mushaf, bersifat mutawatir dan
bernilai ibadah jika dibaca.
Dr. Subhi Saleh menegaskan bahwa al-Qur’an dengan
sebutan apapun adalah firman Allah yang mengandung mu’jizat diturunkan pada
Muhammad saw ditulis dalam beberapa mushaf serta bersifat mutawatir dan
bernilai ibadah jika dibaca.
Dari beberapa definisi dan uraian diatas dapat diambil
pengertian dan kesimpulan bahwa Al-Qur’an secara terminologi meliputi
unsur-unsur sebagai berikut:
a. Kalamullah.
b. Dengan
perantara malaikat Jibril.
c. Diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW.
d. Sebagai
mu’jizat.
e. Ditulis
dalam mushaf.
f.
Dinukil secara mutawatir.
g. Dianggap
ibadah orang yang membacanya.
h. Dimulai
dengan surah Al-Fatihah dan ditutup dengan surah An-Nas.
i.
Sebagai ilmu laduni
global
j.
Mencakup segala hakikat
kebenaran.
Allah menurunkan al-Qur’an kepada Rasulullah saw untuk
memberi petunjuk kepada manusia. Turunnya al-Qur’an merupakan peristiwa besar.
Turunnya al-Qur’an yang pertama kali pada malam lailatul qodar merupakan
pemberitahuan kepada alam tingkat tinggi yang terdiri dari malaikat-malaikat
akan kemuliaan umat Muhammad. Umat ini telah dimuliakan oleh Allah dengan
risalah baru agar menjadi umat paling baik.
Turunnya al-Qur’an yang kedua kali secara bertahap,
berbeda dengan kitab-kitab yang sebelumnya, al-Qur’an turun secara
berangsur-angsur untuk menguatkan hati Rasul dan menghibur nya serta mengikuti
peristiwa dan kejadian-kejadian sampai Allah menyempurnakan agama ini dan
mencukupkan nikmatnya.
Allah
SWT berfirman:
شَهْرُ
رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ
الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ ۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۖ
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا
الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ
تَشْكُرُونَ
Artinya:
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di
dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan
yang bathil). (QS. Al-Baqarah: 185)
إِنَّا
أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
Artinya:
Sesungguhnya Kami telah menurunkan nya (Al Quran) pada malam kemuliaan (malam
lailatul qodr). (QS. al-Qodr: 1)
إِنَّا
أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ ۚ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ
Artinya:
Sesungguhnya Kami menurunkan nya pada suatu malam yang diberkahi dan
Sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. (QS. ad-Dukhan: 3).
Ketiga ayat diatas itu tidak bertentangan, karena
malam yang diberkahi adalah malam lailatul qodr dalam bulan ramadhan. Tetapi
lahir (zahir) ayat-ayat itu bertentangan dengan kejadian nyata dalam kehidupan
Rasul, dimana turun kepadanya selama kurang lebih 23 tahun.
Al-Qur’an diturunkan oleh Allah kepada umat manusia
melalui Nabi Muhammad saw sebagai petunjuk dan rahmat untuk dijadikan sebagai
pedoman hidup, petunjuk dan rahmat.
2.1.2 Penjelasan
Al-Qur’an Terhadap Hukum Dan Alqur’an Sebagai Sumber Hukum
Contoh
ayat yang menjelaskan hukum :
Uraian al-Qur’an tentang puasa ramadhan, ditemukan
dalam surat al-Baqarah: 183, 184, 185 dan 187. Ini berarti bahwa puasa ramadhan
baru diwajibkan setelah Nabi saw tiba di Madinah, karena ulama al-Qur’an
sepakat bahwa Surat al-Baqarah turun di Madinah. Para sejarawan menyatakan
bahwa kewajiban melaksanakan puasa ramadhan ditetapkan Allah SWT pada 10
sya’ban tahun kedua hijriyah.
Allah
swt berfirman:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى
الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (QS. Al-Baqarah:
183).
Al-qur’an adalah sumber hukum yang utama dalam Islam,
sebagaimana dalam firman Allah:
إِنَّا
أَنْزَلْنَا التَّوْرَاةَ فِيهَا هُدًى وَنُورٌ ۚ يَحْكُمُ بِهَا النَّبِيُّونَ
الَّذِينَ أَسْلَمُوا لِلَّذِينَ هَادُوا وَالرَّبَّانِيُّونَ وَالْأَحْبَارُ
بِمَا اسْتُحْفِظُوا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ وَكَانُوا عَلَيْهِ شُهَدَاءَ ۚ فَلَا
تَخْشَوُا النَّاسَ وَاخْشَوْنِ وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا ۚ
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Artinya:
Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka
mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS. al-Maidah: 44).
Dalam
ayat lain Allah berfirman:
وَمَا
كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ
يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
Artinya:
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan
yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, Akan
ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan Barangsiapa
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang
nyata. (al- Ahjab: 36).
Kedua ayat ini menegaskan kepada kita untuk selalu berpegang
teguh pada al-qur’an dan hadis sebagai dasar dan sumber hukum-hukum islam dan
melarang kita untuk menetapkan suatu perkara yang tidak sesuai dengan al-qur’an
dan hadis serta dilarang untuk mendurhakai allah dan rasul-Nya.
Dan masih banyak ayat-ayat lain yang menjelaskan
tentang bahwa al-Qur’an adalah sebagai sumber hukum, seperti surat an-Nahl: 89,
Ibrahim:1 dan Shad: 1.
2.1.3 Sistematika Hukum
Dalam Al-Qur’an
Sebagai sumber hukum yang utama, maka al-Qur’an memuat
sisi-sisi hukum yang mencakup berbagai bidang. Secara garis besar al-qur’an
memuat tiga sisi pokok hukum yaitu:
Pertama, hukum-hukum I’tiqadiyah. Yakni hukum-hukum
yang berkaitan dengan kewajiban orang mukallaf, meliputi keimanan kepada Allah,
Malaikat-malaikat, Kitab-kitab, Rasul-rasul, hari Qiyamat dan ketetapan Allah
(qadha dan qadar).
Kedua, hukum-hukum Moral/ akhlaq. Yaitu hukum-hukum
yang berhubungan dengan prilaku orang mukallaf guna menghiasi dirinya dengan
sifat-sifat keutamaan/ fadail al a’mal dan menjauhkan diri dari segala sifat
tercela yang menyebabkan kehinaan.
Ketiga, hukum-hukum Amaliyah, yakni segala aturan
hukum yang berkaitan dengan segala perbuatan, perjanjian dan muamalah sesama
manusia. Segi hukum inilah yang lazimnya disebut dengan fiqh al-Qur’an dan
itulah yang dicapai dan dikembangkan oleh ilmu ushul al-Fiqh.
Hukum-hukum yang dicakup oleh Nash al-Qur’an, garis
besarnya terbagi kepada tiga bagian, yakni:
a.
Hukum-hukum I’tiqodi, yaitu: hukum-hukum yang berhubungan dengan akidah dan
kepercayaan
b.
Hukum-hukum Akhlak, yaitu: hukum-hukum yang berhubungan dengan tingkah laku,
budi pekerti.
c.
Hukum-hukum Amaliyah, yaitu: hukum-hukum yang berhubungan dengan
perbuatan-perbuatan para mukalaf, baik mengenai ibadat atau adat, mu’amalah
madaniyah dan maliyahnya, ahwalusy syakhshiyah, jinayat dan uqubat, dusturiyah
dan dauliyah, jihad dan lain sebagainya.
Yang pertama menjadi dasar agama, yang kedua menjadi
penyempurna bagian yang pertama, amaliyah yang kadang-kadang disebut juga
syari’at adalah bagian hukum-hukum yang diperbincangkan dan menjadi objek
fiqih. Dan inilah yang kemudian disebut hukum Islam.
2.2 Hadits
2.2.1 Pengertian Hadits
Hadits memiliki arti:
a. al jadid minal asyya (sesuatu yang baru), lawan dari qodim . Hal ini mencakup sesuatu (perkataan),
baik banyak atau sedikit.
b. Qorib (yang dekat)
c. Khabar (berita), yaitu sesuatu yang dipercakapkan
dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain dan ada yang benar atau
salahnya.
Hadits-hadits yang ditemukan memiliki hadits yang
hampir sama ( murodif) dengan sunah, yang mana yang memiliki arti dari sesuatu
yang berasal dari Rasul, baik setelah dingkat atau sebelumnya. Akan tetapi,
kita melihat lafadz hadits umum adalah segala sesuatu yang diriwayatkan dari
Nabi Muhammad saw. Setelah diangkat menjadi nabi, yang terdiri dari ucapan,
perbuatan, dan taqrir beliau. Oleh sebab itu, sunah lebih umum dari pada
hadits.
Menurut ahli ushul hadits adalah segala pekataan
Rosul, perbuatan dan taqrir beliau, yang dapat digunakan dalil bagi hukum
syar'i.
Hadis atau al-hadis menurut bahasa al-jadid yang
artinya sesuatu yang baru -lawan dari al-Qadim- artinya yang berarti
menunjukkan kepada waktu yang dekat atau
waktu yang singkat. Hadis juga sering disebut sebagai al-khabar, yang berarti
berita, yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seorang kepada orang lain. Sedangkan menurut istilah
(terminologi), para ahli memberikan definisi
(ta’rif) yang berbeda-beda sesuai latar belakang disiplin ilmunya.
Seperti pengertian hadis menurut ahli ushul akan berbeda dengan pengertian
yang diberikan oleh ahli hadis.
Menurut ahli hadis pengertian hadis ialah segala
perkataan Nabi SAW, perbuatan, dan hal ihwannya. Yang dimaksud dengan hal ihwal
ialah segala yang diriwayatkan dari Nabi SAW yang berkaitan dengan himmah,
karakteristik, sejarah kelahiran dan kebiasaan-kebiasaanya. Ada juga yang
memberikan pengertian lain, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW baik
berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifat beliau. Tetapi sebagian
muhaditssin berpendapat bahwa hadis mempunyai cakupan pengertian yang lebih
luas, tidak terbatas pada apa yang di sampaikan kepada Nabi SAW saja, melainkan
termasuk juga yang disandarkan kepada para sahabat dan tabiin. Sebagaimana di
sebutkan oleh al-tirmisi; ''Bahwasanya hadis itu bukan hanya untuk sesuatu yang
marfu', yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, melainkan bisa juga
untuk sesuatu yang mauquf yaitu yang disandarkan kepada sahabat dan yang maqtu'
yaitu yang di sandarkan kepada tabiin.''
Sementara itu, para ulama ushul memberikan pengertian
hadis adalah segala perkataan Nabi SAW, perbuatan, dan taqrirnya yang berkaitan
dengan hukum syara' dan ketetapannya. Pengertian hadis menurut ahli ushul lebih
sempit dibanding dengan pengertian hadis menurut ahli hadis. Menurut ahli ushul
hadis adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW baik ucapan,
perbuatan, maupun ketetapan yang berhubungan dengan hukum atau
ketentuan-ketantuan Allah yang disyariatkan kepada manusia. Selain itu tidak
bisa di katakan hadis.
Hadis nabi Muhammad saw dapat dibedakan menjadi 3
bentuk yaitu sebagai berikut:
1.
Hadis qauliyah yaitu hadis atas dasar segenap perkataan (ucapan) nabi Muhammad
saw.
2.
Hadis fi’liyah yaitu hadis atas dasar perilaku (perbuatan) yang dilakukannabi
Muhammad saw.
3.
Hadis Taqririyah adalah hadis atas dasar persetujuan nabi Muhammad saw terhadap
apa yang dilakukan oleh para sahabatnya artinya nabi Muhammad saw memberikan
penafsiran atau perbuatan yang dilakukan sahabatnya dalam suatu hukum Allah swt
atau nabi diam sebagai tanda persetujuan (boleh) atas perbuatan-perbuatan
sahabat nabi Muhammad saw.
Orang Islam, baik yang ahli maupun yang juga telah
menemukan bahwa hadits merupakan dasar hukum islam, yang merupakan salah satu
dari hukum Islam. Ia menempatkan kedudukannya yang sangat penting setelah
al-Qur'an. Umat islam diwajibkan memiliki hadis alternatif yang diwajibkan
pada al-Qur'an. Dengan demikian, antara hadits dan al-Qur'an memiliki konteks
yang sangat erat, yang satu sama lain tidak bisa diabaikan atau berjalan
sendiri-sendiri.
Abdul Wahab Khalaf berkata: tak seorang pun yang
mengingkari yang paling tidak, ada tiga fungsi sunnah terhadap Al-Qur'an jika
di lihat hubungan antara keduanya, yaitu:
a. Berfungsi untuk menguatkan dan
membenarkan hukum-hukum yang diturunkan oleh Al-Qur'an.
b. Untuk menjelaskan dan Pemikiran
yang dipegang oleh Al-Qur'an yang hanya disebut secara global.
c. Sunnah kadang-kadang bekerja untuk
mengeluarkan sesuatu ketentuan hukum yang tidak dibatalkan oleh Al-Qur'an.
Menurut Muhammad Ajjal Al-Khatib, bahwa Al-Quran dan
hadits menjadi dua orang hukum syariah islam yang tetap, yang orang muslim
tidak mampu memahami syariat islam dengan tanpa kembali kepada dua orang
tersebut. Mujtahid dan orang dalam pun tidak bisa digunakan hanyakan salah satu
dari kalian.
Banyak ayat al-Qur'an dan hadits yang memberi makna
bahwa hadits itu merupakan salah satu hukum islam selain al-Qur'an yang wajib
diikuti dari al-Qur'an.
Firman
Allah dalam surat Al-Hashr ayat 7:
...
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ
وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
"....
Apa yang memberikan Rasul kepadamu terimalah dan apa-apa yang dilarangnya, maka
menyerahkanlah dan bertaqwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah sangat keras hukum-Nya ”.
Dan
firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 92:
وَأَطِيعُوا
اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَاحْذَرُوا ۚ فَإِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَاعْلَمُوا
أَنَّمَا عَلَىٰ رَسُولِنَا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ
“Dan taatlah kamu kepada Allah dan taatlah
kamu kepada Rasul- (Nya) dan berhati-hatilah. Jika kamu berpaling, Maka
ketahuilah bahwa Sesungguhnya Pasien Rasul Kami, hanya menyampaikan (amanat
Allah) dengan terang. ”
Disamping itu, banyak juga ayat yang mewajibkan
ketaatan kepada rasul secara khusus dan terpisah, antara lain QSAn-Nissa ayat
65 dan 80, QSAli Imran ayat 31, QSAn-Nur ayat 56, 62, dan 63, QSAl-Araf ayat
158.
Ayat-ayat di atas dapat ditarik agar setiap ada
perintah taat kepada Allah harus diiringi taat kepada rasul-Nya. Dari sinilah
sebetulnya dapat dinyatakan bahwea ungkapan wajib taat kepada rasul dan
larangan mendurhakainya.
Dalam salah satu pesan Rasulallah, berkenaan dengan
tradisi menjadikan hadits sebagai hukum atau kebiasaan hidup disamping
al-Qur'an sebagai pedoman utama. Seperti sabda Nabi Muhammad Saw, sebagai
berikut :
“Aku
berhasil dua pusaka pada kalian. Jika kalian berpegang pada keduannya, niscaya
tidak akan tersesat, yaitu kitab Allah (Al-quran) dan sunah Rasul-Nya ”
(HR.Al-Hakim dari Abu Hurairah).
Hadits yang menunjukkan bahwa nabi SAW memberi
al-Qur'an dan sunnah, dan mewajibkan kita berpegang teguh pada keduanya, dan
mengambil yang ada pada sunnah seperti mengambil pada al-quran. Masih banyak
hadits yangmenegaskan tentang cadangan perintah dan koreksi Rasulullah Saw.
Islam menghasilkan pernyataan untuk membuat dan
mengamalkan hadits sebagai salah satu dasar hukum beramal, karena sesuai dengan
yang dikehendaki oleh Allah Swt. Disamping itu, penerimaan mereka terhadap
hadits sama seperti penerimaan mereka terhadap al-Qur'an, mengumpulkan keduanya
sebagai sumber hukum islam.
Banyak yang menunjukkan adanya kesepakatan dengan
hadits sebagai sumber hukum islam, antara lain: kompilasi Abu Bakar yang
dibaiiat menjadi khalifah, ia pernah berkata: "Saya tidak membebaskan sesuatu yang diamalkan oleh
rasulallah, sesungguhnya saya takut tersesat ketika lenyap perintahnya ".
Pembahasan tentang hadits sebagai dasar hukum syariat
islam dilakukan secara luas dalam semua kitab ushuf fiqh dan dari semua mazhab,
alhasil sampai al-Auzyi (157 H) menyatakan bahwa “ Al-Quran lebih membutuhkan
As-Sunnah ketimbang dengan As-Sunnah terhadap Al -Qur'an ”.
Menurut As-Saukani: singkatnya fokus sebagai hujjah
(hukum islam) dan wewenang dalam menentukan hukum telah menjadi masalah dalam
agama, tak seorangpun yang berbeda paham tentangnya kecuali mereka yang tidak
memiliki cukup ilmu dalam Islam.
2.2.2 Macam-Macam Hadits
Macam-macam
hadits dapat dibagi sebagai berikut:
a.
Berdasarkan ujung sanad
Berdasarkan kadar ini hadits dibagi menjadi:
1). Hadits Marfu 'hadits yang sanadnya berujung
langsung pada Nabi Muhammad Saw.
2). Hadits Mauquf adalah hadits yang sanadnya terhenti
pada para sahabat nabi tanpa ada tanda-tanda baik secara perkumpulan dan
perbuatan yang menunjukkan derajat marfu '.
3). Hadits Maqtu 'adalah hadits yang sanadnya berujung
pada para Tabi'in (penerus).
b.
Berdasarkan keutuhan rantai / lapisan sanad
Berdasarkan hal ini hadits terbagi menjadi beberapa
golongan yaitu:
1). Hadits Musnad, sebuah hadits tergolong musnad intelektual
urutan sanad yang dimiliki hadits tersebut tidak terpotong pada bagian
tertentu. Yakni urutan penutur memungkinkanpres transfer hadits berdasarkan
waktu dan kondisi.
2). Hadits Mursal yaitu saat penutur 1 tidak dijumpai
atau dengan kata lain tabi'in menisbatkan langsung kepada Rasulullah Saw.
3). Hadits Munqati 'yaitu bila sanad putus pada salah
satu penutur yaitu penutur 4 atau 3.
4). Hadits Mu'dal saat sanad terputus pada dua
generasi penuturirmasi-turut.
5). Hadits Mu'allaq bila sanad terputus pada penutur 4
hingga penutur 1.
c.
Berdasarkan jumlah penutur.
Jumlah penutur yang dimaksud adalah jumlah penutur
dalam setiap tingkat dari sanad, atau beberapa yang berbeda yang menjadi sanad
hadits tersebut. Berdasarkan kadar ini hadits dibagi atas:
1). Hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan
oleh sekelompok orang dari beberapa sanad dan tidak ada yang memungkinkan
mereka untuk melakukan hal itu.
2). Hadits ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh
sekelompok orang namun tidak mencapai tingkat mutawatir
d.
Berdasarkan tingkat keaslian hadits.
Kategorisasi tingkat keaslian hadits adalah
klasifikasi yang paling penting dan merupakan kesimpulan terhadap tingkat atau
penolakan terhadap hadits tersebut. Tingkatan hadits pada variasi ini terbagi
menjadi:
1). Hadits shahih yaitu tingkat tertinggi penerimaan
atasy hadits.
2).Hadits hasan adalah ketika hadits yang bersabuk
sanadnya, diriwayatkan oleh rawi yang adil namun tidak sempurna ingatannya, dan
juga matannya tidak syadz serta cacat.
3). Hadits Dhaif (lemah), yaitu hadits yang sanadnya
tidak bersambung (dapat berupa mursal, mu'allaq, mudallas, munqati 'atau
mu'dal) dan diriwayatkan oleh orang yang tidak adil atau tidak kuat ingatannya,
mengandung kejanggalan atau cacat.
4). Hadits Maudu, ketika hadits dicurigai palsu atau
karena dalam rantai sanadnya dijumpai penutur yang memiliki kenyamanan
berdusta.
2.2.3 Struktur Hadits
Yang Meliputi Sanad Dan Matan
Sanad ialah rantai penutur/rawi (periwayat) hadits.
Rawi adalah masing-masing orang yang menyampaikan hadits tersebut (dalam contoh
di atas: Bukhari, Musaddad, Yahya, Syu'bah, Qatadah dan Anas). Awal sanad ialah
orang yang mencatat hadits tersebut dalam bukunya (kitab hadits); orang ini
disebut mudawwin atau mukharrij. Sanad merupakan rangkaian seluruh penutur itu
mulai dari mudawwin hingga mencapai Rasulullah. Sanad memberikan gambaran
keaslian suatu riwayat.
Sebuah hadits dapat memiliki beberapa sanad dengan
jumlah penutur/rawi yang bervariasi dalam lapisan sanadnya; lapisan dalam sanad
disebut dengan thabaqah. Signifikansi jumlah sanad dan penutur dalam tiap
thabaqah sanad akan menentukan derajat hadits tersebut, hal ini dijelaskan
lebih jauh pada klasifikasi hadits. Jadi yang perlu dicermati dalam memahami
hadits terkait dengan sanadnya ialah :
a.
Keutuhan sanadnya
b.
Jumlahnya
c.
Perawi akhirnya
Sebenarnya penggunaan sanad sudah dikenal sejak
sebelum datangnya Islam. Hal ini diterapkan di dalam mengutip berbagai buku dan
ilmu pengetahuan lainnya. Akan tetapi mayoritas penerapan sanad digunakan dalam
mengutip hadits-hadits nabawi.
Matan ialah redaksi dari hadits, dari contoh
sebelumnya maka matan hadits bersangkutan ialah: "Tidak sempurna iman
seseorang di antara kalian sehingga ia cinta untuk saudaranya apa yang ia cinta
untuk dirinya sendiri" Terkait dengan matan atau redaksi, maka yang perlu
dicermati dalam mamahami hadits ialah Ujung sanad sebagai sumber redaksi,
apakah berujung pada Nabi Muhammad atau bukan, Matan hadits itu sendiri dalam
hubungannya dengan hadits lain yang lebih kuat sanadnya (apakah ada yang
melemahkan atau menguatkan) dan selanjutnya dengan ayat dalam Al Quran (apakah
ada yang bertolak belakang).
2.2.4 Kedudukan Hadits
Adapun kedudukan atau fungsi hadis nabi Muhammad saw
dalam hukum Islam adalah sebagi berikut:
a.
Hadits sebagai sumber hukum Islam yang kedua
Ada beberapa hukum yang tidak disebutkan di dalam
Al-Qur’an. Rasulullah saw, kemudian menjelaskan hukumnya baik dengan perkataan,
perbuatan maupun dengan penetapan. Dalil hukumnya menjadi sunnah karena apa
yang dilakukan Rasulullah itu tidak lain penjabaran dari prinsip-prinsip yang
sudah ada dalam Al-Qur’an. Firman Allah swt sebagai berikut: “….Apa yang
diberikan rasul kepadamu maka terimalah dia dan apa yang di larangnya bagimu
maka tinggalkanlah…” (QS. Al Hasyr: 7). “ Sesungguhnya telah ada pula diri
Rasulullah itu suri tauladan yang baik” (QS. Al Ahzab: 21). “Katakanlah:
taatilah Allah dan RasulNya, jika kamu berpaling maka sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang kafir” (QS Ali Imran :32). “ Barangsiapa yang mentaati
rasul itu sesungguhnya ia telah mentaati Allah dan barangsiapa yang berpaling
(dari ketaatan itu), maka kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemeliharaan bagi
mereka” (QS An Nisa:80)
b.
Hadis sebagai penguat dan pengukuh hukum
Sebagai penguat dan pengukuh hukum yang tealh
disebutkan Allah didalam kitabnya, sehingga keduanya yaitu Al-Qur’an dan hadis
menjadi sumber hukum yang saling melengkapi dan menyempurnakan.
c.
Hadis sebagai penjelas
Hadis merupakan penjelas atau perincian terhadap
ayat-ayat Al-Qur’an yang masih bersifat umum. Umpamanya, perintah shalat
didapati dalam Al-Qur’an, tetapi tidak di jelaskan tentang cara
melaksanakannya, banyak rakaatnya, serta rukun dan syarat-syaratnya, Rasulullah
saw melalui hadis menjelaskan semua itu sehingga umatnya tidak menajalani
kesulitan untuk melaksanakan perintah tersebut. Demikian pula halnya dengan
perintah puasa dan haji yang telah terdapat
di dalam Al-Qur’an tetapi tidak dijelaskan tentang pelaksanaannya secara
terperinci, Rasulullah kemudian menjelaskan dengan perbuatannya melalui praktek
(tata krama) atau secara normatif dalam menjalanakan perintah Allah swt
tersebut, Firman Allah swt: “.. Dan kami turunkan Al-Qur’an agar kamu
menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkankepada merekan…” (QS An-Nahl:
44).
d.
Hadis Menetapkan hukum-hukum tidak terdapat dalam Al-Qur’an
Hadis juga dapat berfungsi untuk menetapkan hukum apa
bila di dalam Al-Qur’an tidak dijumpai seperti halnya keharaman seorang
laki-laki untuk menikah dengan bibi istrinya dalam waktu yang bersamaan.
Perhatikan terjemahan hadis berikut ini.
“
Dilarang seseorang mengumpulkan (mengawini secara bersama) seorang perempuan
saudaranya perempuan dari ayahnya serta seorang perempuan dengan saudara
perempuan dari ibunya” (HR. Bukhori-Muslim).
Hadis merupakan sumber hukum ke dua setelah Al-Qur’an
hal ini bukan berarti bahwa nabi Muhammad saw, sebagai penetap hukum atau
memiliki kapasitas sebagai pembuat hukum melainkan Allah swt. sendiri yang
memberikan keputusan melalui perantara yakni rasulNya. Perhatikan firman Allah
swt “Dan tidaklah apa yang diucapkan (rasul) menurut kemauan hawa nafsunya
ucapan itu tidak lain adalah wahyu yang di wahyukan” (QS. An-Najm: 3-4).
2.3 Ijtihad
2.3.1 Pengertian Ijtihad
Secara etimologi, ijtihad diambil dari kata al-jahd
atau al-juhd, yang berarti al-masyaqat (kesulitan dan kesusahan)
dan ath-thaqat (kesanggupan dan kemampuan). Dengan kata lain,
Ijtihad secara etimologi adalah pencurahan segenap kesanggupan untuk
mendapatkan sesuatu urusan atau sesuatu perbuatan. Dalam Al-Qur’an disebutkan:
… وَالَّذِينَ لَا
يَجِدُونَ إِلَّا جُهْدَهُمْ …
Artinya:
“…Dan (mencela) orang yang tidak memperoleh
(sesuatu untuk disedekahkan) selain kesanggupan.” Q.S. At-Taubah:79)
Kata al-jahd bbeserta
seluruh derivasinya menunjukkan pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasa dan
sulit untuk dilaksanakan atau disenangi.
Dalam pengertian inilah,
Nabi mengungkapkan kata-kata:
صَلُّوْا عَلَيَّ وَجْتَهِدُا وْ فِى الدُّعَاءِ
Artinya:
“Bacalah salawat padaku dan
bersungguh-sungguhlah dalam berdoa.”
وَأَمَّاالسُّجُوْدُ فَاجْتَهِدُوْا فِى الدُّعَاءِ
Artinya:
“Pada waktu sujud, bersungguh-sungguhlah
dalam berdoa.”
Demikian pula pada jihad
(perang) yang derivasinya sama dengan ijtihad mengandung arti sungguh-sungguh
dan tidak disenangi.
Ijtihad adalah masdar dari fiil
madzi ijtahada.Penambahan hamzah dan ta’ pada
kata ja-ha-da menjadi ijtahada pada
wajan if-ta-a’-la berarti, “usaha itu lebih sungguh-sungguh”.
Seperti halnya ka-sa-ba menjadi iktasaba, yang berarti
“usaha lebih kuat dan sungguh-sungguh”. Oleh sebab itu, ijtihad berarti
usaha keras atau pengerahan daya upaya (istifragh al-wus’ atau badzl
al-wus’). Dengan demikian, ijtihad berarti usaha maksimal untuk
mendapatkan atau memperoleh sesuatu. Sebaliknya, suatu usaha yang dilakukan
tidak maksimal dan tidak menggunakan daya upaya yang keras tidak disebut ijtihad,
melainkan daya nalar biasa, ar-ra’y atau at-tafkir.
Adapun definisi ijtihad secara
terminologi cukup beragam dikemukakan oleh ulama ushul fiqih, namun
intinya adalah sama. Sebagai berikut:
1. Ibnu Abd al-Syakur, dari kalangan
Hanafiyah mendefinisikannya sebagai: “Pengerahan kemampuan untuk menemukan
kesimpulan hukum-hukum syara’ sampai ke tingkat zhanni (dugaan keras) sehingga
mujtahid itu merasakan tidak bisa lagi berupaya lebih dari itu.”
2. Al-Baidawi (w. 685 H), ahli Ushul
Fiqh dari kalangan Syafi’iyah mendefinisikannya sebagai: “Pengerahan seluruh
kemampuan dalam upaya menemukan hukum-hukum syara’.”
3. Abu Zahra, ahli Ushul Fiqh yang
hidup pada awal abad kedua puluh ini mendefinisikan ijtihad sebagai:
“Pengerahan seorang ahli fikih akan kemampuannya dalam upaya menemukan hukum
yang berhubungan dengan amal perbuatan dari satu per satu dalilnya.”
4. Abdul Wahhab Khallaf menerangkan ijtihad
dalam arti luas yang meliputi beberapa hal berikut:
a. Pencurahan segenap kemampuan untuk
mendapatkan hukum syara’ yang dikehendaki oleh nas yang zanni dalalahnya.
b. Pencurahan segenap kemampuan untuk
mendapatkan hukum syara’ yang amali dengan menetapkan kaidah syar’iyah
kulliyah.
c. Pencurahan segenap kesanggupan
untuk mendapatkan hukum syara’ yang amali mengenai masalah yang tidak ditunjuki
hukumnya oleh nas dengan sarana-sarana yang diperbolehkan oleh syarak guna
ditetapkan hukumnya.
Dari beberapa definisi
tersebut, dapat disimpulkan bahwa Ijtihad adalah suatu pekerjaan yang
mempergunakan segala kesanggupan daya rohaniah untuk mendapatkan hukum syara’
atau menyusun suatu pendapat dari suatu masalah hukum yang bersumber dari Al
Qur’an dan hadis.
2.3.2 Dasar Hukum
Ijtihad
Ijtihad bisa dipandang
sebagai salah satu metode untuk menggali sumber hukum Islam. Yang menjadi
landasan dibolehkannya ijtihad banyak sekali, baik melalui pernyataan yang
jelas maupun berdasarkan isyarat, diantaranya:
Firman Allah SWT Q.S. An-Nisa ayat 105:
إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ
لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ
Artinya:
“sesungguhnya kami turunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran,
supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu”.
Firman Allah SWT Q.S. An-Nisa ayat 59:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ
مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ
وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ
خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلً
Artinya:
“Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya”.
Adanya keterangan dari
sunah, yang membolehkan berijtihad, diantaranya:
Sabda Nabi SAW:
إذَا حكم الحاكم فاجْتهد فاصاب فله اجران وإذا حكم فاجْتهد ثـمّ
أخْطأ فلهُ أجْرٌ
Artinya:
“Apabila hakim
memutuskan hukum dengan berijtihad dan ia menemukan kebenaran dalam
berijtihadnya, maka ia mendapat dua pahala. Jika ia tidak memperoleh kebenaran
dalam ijtihadnya, maka ia memperoleh satu pahala” (H.R.Bukhari dan Muslim)
Falsafat Tasyri’.
Hadits yang menerangkan dialog Rasulullah SAW
dengan Mu’adz bin Jabal, ketika Muadz diutus menjadi hakim di Yaman
berikut ini:
عَنْ
أُناَسٍ مِّنْ اَهْلِ حَمَص مِنْ أَصْحَابِ مُعَاذ بْنِ جَبَلِ إِنَّ رَسُوْلُ
اللهِ لَمَّا أَرَادَ أَنْ يَبْعَثَ مُعَاذًا الِيَ الْيَمَنِ قَالَ: كَيْفَ
تَقْضِ إِذَاعَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ؟ قَالَ: أَقْضِى بِكِتَابِ اللهِ. قَالَ: فَإِنْ
لَمْ تَجِدْ فِي كِتَابِ الله؟ قَالَ: فَبِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ. قَالَ: فَإِنْ
لَمْ تَجِدْ فِي سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ وَلَا فِي كِتَابِ اللهِ؟ قَالَ:
اَجْتَهِدُ رَايْئِ وَلَاآلُوْ. فَضَرَبَ رَسُوْلُ اللهِ صَدْرَهُ وَقَالَ:
اَلْحَمْدُلِلَّهِ الَّذِيْ وَفَّقَ رَسُوْلَ رَسُوْلِ اللهِ لَمَّا يَرْضَي
رَسُوْلُ اللهِ (رواه ابوداود).
Artinya :
“Diriwayatkan dari
penduduk homs, sahabat Muadz ibn Jabal, bahwa Rasulullah saw. Ketika bermaksud
untuk mengutus Muadz ke Yaman, beliau bertanya: apabila dihadapkan kepadamu
satu kasus hukum, bagaimana kamu memutuskannya?, Muadz menjawab:, Saya akan
memutuskan berdasarkan Al-Qur’an. Nabi bertanya lagi:, Jika kasus itu tidak
kamu temukan dalam Al-Qur’an?, Muadz menjawab:,Saya akan memutuskannya
berdasarkan Sunnah Rasulullah. Lebih lanjut Nabi bertanya:, Jika kasusnya tidak
terdapat dalam Sunnah Rasul dan Al-Qur’an?,Muadz menjawab:, Saya akan
berijtihad dengan seksama. Kemudian Rasulullah menepuk-nepuk dada Muadz dengan
tangan beliau, seraya berkata:, Segala puji bagi Allah yang telah memberi
petunjuk kepada utusan Rasulullah terhadap jalan yang diridloi-Nya.”(HR.Abu Dawud)
Dan
hal itu telah diikuti oleh para sahabat setelah Nabi wafat. Mereka selalu
berijtihad jika menemukan suatu masalah baru yang tidak terdapat dalam
Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.
2.3.3 Macam-macam
Ijtihad
Dikalangan ulama,
terjadi perbedaan pendapat mengenai masalah ijtihad. Iman Syafi’I
menyamakan ijtihad dengan qiyas, yakni dua macam,
tetapi maksudnya satu. Dia tidak mengakui ra’yu yang
didasarkan pada istihsan atau maslahah mursalah. Sementara
itu, para ulama lainnya memiliki pandangan lebih luas tentang ijtihad.
Menurut mereka, ijtihad itu mencakup ra’yu,
qiyas, dan akal.
Pemahaman mereka
tentang ra’yu sebagaimana yang diungkapkan oleh
para sahabat, yaitu mengamalkan apa-apa yang dipandang maslahat oleh seorang mujtahid,
atau setidak-tidaknya mendekati syari’at, tanpa melihat apakah hal itu ada
dasarnya atau tidak. Berdasarkan pendapat tersebut, Dr. Dawalibi membagi ijtihad menjadi
kitabAl-Muwafakat, yaitu:
a. Ijtihad Al-Batani, yaitu ijtihad untuk
menjelaskan hokum hokum syara’ dari nash.
b. Ijtihad Aal-qiyasi,
yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam
Al-Qur’an dan As-Sunah dengan menggunakan metode qiyas.
c. Ijtihad al-istislah,
yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam
Al-Qur’an dan As-Sunah dengan menggunakan ra’yu berdasarkan
kaidah istishlah.
Pembagian
di atas masih belum sempurna, seperti yang diungkapkan oleh Muhammad Taqiyu
al-Hakim dengan mengemukakan beberapa alasan, diantaranya jami’ wal
mani. Menurutnya, ijtihad itu dapat dibagi menjadi dua bagian saja, yaitu:
1. Ijtihad al-aqli,
yaitu ijtihad yang hujjahnya didasarkan pada akal, tidak
menggunakan dalil syara’. Mujtahid dibebaskan untuk berpikir,
dengan mengikuti kaidah-kaidah yang pasti. Misalnya, menjaga kemadaratan,
hukuman itu jelek bila tidak disertai penjelasan, dan lain-lain.
2. Ijtihad syari’, yaitu ijtihad yang
didasarkan pada syara’, termasuk dalam pembagian ini adalah ijma’, qiyas, istihsan, istishhab,
maslahah mursalah, ‘urf.
a.
Ijma
Ijma adalah salah satu jenis ijtihad yang dilakukan para ulama
dengan cara berunding, berdiskusi, lalu akhirnya muncul suatu kesepakatan untuk
menyelesaikan suatu permasalahan. Keputusan bersama ini tentu saja tidak begitu
saja dilakukan, semua harus bersumber pada Al-Quran dan juga hadits. Hasil dari
ijtihad ini sering kita sebut sebagai fatwa, dan fatwa inilah yang sebaiknya
diikuti oleh umat Islam. Kesepakatan dari para ulama ini tentu saja merupakan
hasil akhir dari berbagai diskusi yang telah dilakukan, sehingga semestinya
tidak mengandung pertentangan lagi.
Q.S. An-Nisa ayat 59:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا
الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ
فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلً
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya”.
Ayat di atas memerintahkan agar mengembalikan segala
yang diperselisihkan kepada Alquran dan Assunnah. Jika tidak ada perselisihan
maka tentu tak ada kelaziman untuk harus mencari-cari dalil teksnya.
Contoh Ijma :
Haramnya pernikahan antara wanita muslimah dengan laki-laki non muslim, batu
mulia tidak wajib di zakati, keharaman atas gashab yang disepakati oleh para
mujtahid dan lain-lain.
b.
Qiyas
Salah satu macam ijtihad
adalah Qiyas, yaitu upaya mencari solusi permasalahan dengan cara mencari
persamaan antara masalah yang sedang dihadapi dengan yang ada di dalam sumber
agama (Al-Quran dan hadits).
Bila masalah yang sedang
dihadapi dianggap mirip dengan yang ada di dalam kitab suci maupun hadits, maka
para ulama akan menggunakan hukum yang ada di dalam sumber agama tersebut untuk
menyelesaikan masalah. Namun tidak mudah pula mencari kemiripan satu masalah
yang terjadi jaman sekarang dengan yang terjadi pada masa lalu. Di sinilah
sebenarnya kenapa seorang mujtahid atau yang melakukan ijtihad diperlukan
memiliki keluasan pengetahuan tentang agama dan masalah-masalah lain yang
terkait dengannya. QS. al Hashr (59:2) :
هُوَ الَّذِي أَخْرَجَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ
مِنْ دِيَارِهِمْ لأوَّلِ الْحَشْرِ مَا ظَنَنْتُمْ أَنْ يَخْرُجُوا وَظَنُّوا
أَنَّهُمْ مَانِعَتُهُمْ حُصُونُهُمْ مِنَ اللَّهِ فَأَتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ
حَيْثُ لَمْ يَحْتَسِبُوا وَقَذَفَ فِي قُلُوبِهِمُ الرُّعْبَ يُخْرِبُونَ
بُيُوتَهُمْ بِأَيْدِيهِمْ وَأَيْدِي الْمُؤْمِنِينَ فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي
الأبْصَارِ
Artinya:
“Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli Kitab dari
kampung-kampung mereka pada saat pengusiran kali yang pertama. Kamu tiada
menyangka, bahwa mereka akan keluar dan mereka pun yakin, bahwa benteng-benteng
mereka akan dapat mempertahankan mereka dari (siksaan) Allah; maka Allah
mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka.
Dan Allah mencampakkan ketakutan ke dalam hati mereka; mereka memusnahkan
rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang yang
beriman. Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang
yang mempunyai pandangan”.
Contoh : menganalogikan narkotika, yang pada zaman Nabi Muhammad tidak ada, dengan khamr (minuman memabukkan). Karena sifat yang menimbulkan membahayakan kesehatan, kecanduan dan ketergantungan sama seperti khamr, maka narkotika dianggap sama hukumnya dan dianggap haram.
Contoh : menganalogikan narkotika, yang pada zaman Nabi Muhammad tidak ada, dengan khamr (minuman memabukkan). Karena sifat yang menimbulkan membahayakan kesehatan, kecanduan dan ketergantungan sama seperti khamr, maka narkotika dianggap sama hukumnya dan dianggap haram.
c.
Istihsan
Istihsan adalah salah
satu macam ijtihad yang dilakukan oleh pemuka agama untuk mencegah terjadinya
kemudharatan. Ijitihad ini dilakukan dengan mengeluarkan suatu argumen beserta
fakta yang mendukung tentang suatu permasalahan dan kemudian ia menetapkan
hukum dari permasalahan tersebut. Dalam penetapan hukum ini bisa jadi pada
akhirnya akan memunculkan pertentangan dari yang tidak sepaham.
واتبعوا احسن ما انزل اليكم من ربكم
Artinya: “Dan turutlah (pimpinan) yang sebaik-baiknya yang telah diturunkan
kepadamu dari Tuhanmu”….(QS. Az-Zumar :55).
Dalam ayat ini Allah memerintahkan kita untuk mengikuti yang
terbaik, dan perintah menunjukkan bahwa ia adalah wajib. Dan di sini tidak ada
hal lain yang memalingkan perintah ini dari hukum wajib.
Contoh : Misalnya kebolehan dokter melihat aurat wanita dalam
proses pengobatan. Menurut kaidah umum seseorang dilarang melihat aurat orang
lain. Tapi, dalam keadaan tertentu seseorang harus membuka bajunya untuk di
diagnosa penyakitnya. Maka, untuk kemaslahatan orang itu, maka menurut kaidah
istihsan seorang dokter dibolehkan melihat aurat wanita yang berobat kepadanya.
d.
Istishab
Upaya untuk menyelesaikan suatu masalah yang dilakukan para pemuka
agama dengan cara menetapkan hukum dari masalah tersebut. Namun, bila suatu
hari nanti ada alasan yang sangat kuat untuk mengubah ketetapan tersebut, maka
hukum yang semula ditetapkan bisa diganti, asalkan semuanya masih dalam koridor
agama Islam yang benar.
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ
اسْتَوَىٰ إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ ۚ وَهُوَ بِكُلِّ
شَيْءٍ عَلِيمٌ
Artinya: “Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia
berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha
Mengetahui segala sesuatu.” (al-Baqarah; 29).
Dasar di atas menunjukan bahwa segala sesuatu
yang ada di bumi itu untuk manusia dan tidaklah semua yang ada di bumi ini
diciptakan utuk manusia kecuali diperbolehkan bagi mereka, karena seandainya
dilarang niscaya tidak diciptakan untuk manusia. Ulama Ushul berkata,
“sesungguhnya Istishab adalah akhir tempat beredarnya fatwa.”. Yaitu mengetahui
suatu menurut hukum yang telah ditetapkan baginya selama tidak terdapat dalil
yang mengubahnya. Ini adalah teori dalam pengambilan dalil yang telah menjadi
kebiasaan dan tradisi manusia dalam mengelola berbagai ketetapan untuk mereka.
Contoh : Seorang pembeli pulsa elektrik mengkomplain kepada pihak counter,
bahwa pulsa yang ia beli belum masuk, dan pihak counter menyatakan bahwa pulsa
telah terkirim. Maka hukum yang diambil adalah pulsa belum masuk/terkirim.
Kecuali pihak counter bisa menunjukkan bukti pengiriman elektrik bahwa pulsa
telah terkirim kepada nomor Hp si pembeli dengan benar, baik nominal,
hari/tanggal dan waktunya.
e.
Maslahah mursalah
Salah satu dari macam
ijtihad yang juga dilakukan untuk kepentingan umat adalah maslahah murshalah. Jenis ijtihad ini dilakukan dengan
cara memutuskan permasalahan melalui berbagai pertimbangan yang menyangkut
kepentingan umat. Hal yang paling penting adalah menghindari hal negatif dan
berbuat baik penuh manfaat.
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Artinya: ”Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk menjadi
rahmat bagi seluruh alam.” (Q.S. Al Anbiya : 107).
Contoh : Membuang barang milik orang lain yang ada di atas kapal
laut tanpa izinnya, disebabkan ada gelombang besar yang mengakibatkan kapal
oleng. hal tersebut dilakukan demi kemaslahatan seluruh penumpang dan menolak
bahaya.
f.
Urf
Ijtihad ini dilakukan untuk mencari solusi atas permasalahan yang
berhubungan dengan adat istiadat. Dalam kehidupan masyarakat, adat istiadat
memang tak bisa dilepaskan dan sudah melekat dengan masyarakat kita. Ijtihad
inilah yang menetapkan apakah adat tersebut boleh dilakukan atau tidak. Apabila
masih dalam koridor agama Islam, maka boleh dilaksanakan. Namun bila tidak
sesuai dengan ajaran Islam, maka harus ditinggalkan.
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
Artinya: “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah
orang mengerjakan yang ma’ruf (al-‘urfi), serta berpalinglah dari orang-orang
yang bodoh.” (QS. Al-A’raf
199).
Kata al-‘Urf dalam ayat
tersebut, dimana umat manusia disuruh mengerjakannya, oleh Ulama Ushul fiqih
dipahami sebagai sesuatu yang baik dan telah menjadi kebiasaan masyarakat.
Berdasarkan itu maka ayat tersebut dipahami sebagai perintah untuk mengerjakan
sesuatu yang telah dianggap baik sehingga telah menjadi tradisi dalam suatu
masyarakat.
Contoh : urf
dalam mahar di indonesia yaitu seperangkat alat sholat, urf mencium tangan
orang tua sebelum berangkat ke sekolah.
2.3.4 Objek Ijtihad
Menurut
Al-Ghazali, objek ijtihad adalah setiap hukum syara’ yang
tidak memiliki dalil yang qathi’. Dari pendapatnya itu, diketahui
ada permasalahan yang tidak bisa dijadikan objek ijtihad.
Dengan
demikian, syari’at Islam dalam kaitannya dengan ijtihad terbagi
dalam dua bagian:
a. Syari’at yang tidak
boleh dijadikan lapangan ijtihad, yaitu hukum-hukum yang telah
dimaklumi sebagai landasan pokok Islam, yang berdasarkan pada dalil-dalil
yang qathi’, seperti kewajiban melaksanakan shalat, zakat,
puasa, ibadah haji, atau haramnya melakukan zina, mencuri, dan lain-lain. Semua
itu telah ditetapkan hukumnya di dalam Al-Qur’an dan As-Sunah. Kewajiban shalat
dan zakat berdasarkan firman Allah SWT.
….وَأَقِيمُوا
الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ
Artinya: “Dan dirikanlah shalat tunaikanlah zakat….” (Q.S.
An-Nur ayat 56).
Ayat tersebut tidak boleh dijadikan lapangan
ijtihad untuk mengetahui maksud shalat.
b. Syari’at yang bisa
dijadikan lapangan ijtihad, yaitu hukum yang didasarkan pada dalil-dalil
yang bersifat zhanni, baik maksudnya, petunjuknya, ataupun
eksistensinya (tsubut), serta hukum-hukum yang belum ada nash-nya
dan ijma’ para ulama.
Apabila ada nash yang
keberadaanya masih zhanni, hadis ahad misalnya, maka yang menjadi lapangan ijtihad
di antaranya adalah meneliti bagaimana sanadnya, derajat para perawinya, dan
lain-lain.
Dan nash yang
petunjuknya masih zhanni, maka yang menjadi lapangan ijtihad, antara lain
bagaimana maksud dari nash tersebut, misalnya dengan memakai kaidah ‘am, khas,
mutlaq muqayyad, dan lain-lain.
Sedangkan terhadap permasalahan yang tidak ada
nashnya, maka yang menjadi lapangan ijtihad adalah dengan cara menggunakan
kaidah-kaidah yang bersumber dari akal, seperti qiyas, istihsan, maslahah
mursalah, dan lain-lain. Namun, permasalahan ini banyak diperdebatkan di
kalangan para ulama.
2.3.5 Hukum Melakukan
Ijtihad
Menurut para ulama, bagi
seseorang yang sudah memenuhi persyaratan ijtihad di atas, ada lima hukum yang
bisa dikenakan pada orang tersebut berkenaan dengan ijtihad, yaitu:
a. Dihukumi fardu ain untuk
berijtihad apabila ada permasalahan yang menimpa dirinya, dan harus mengamalkan
hasil dari ijtihad-nua dan tidak boleh taqliq kepada orang lain. Karena hukum
ijtihad itu sama dengan hukum Allah terhadap permasalahan yang ia yakini bahwa
itu termasuk hukum Allah.
b. Dihukumi fardu ‘ain ditanyakan
tentang suatu permasalahan yang belum ada hukumnya. Karena jika tidak segera
dijawab, dikhawatirkan akan terjadi kesalahan dalam melaksanakan hukum tersebut
atau habis waktunya dalam mengetahui kejadian tersebut.
c. Dihukumi fardu kifayah,
jika permasalahan yang diajukan kepadanya tidak dikhawatirkan akan habis
waktunya, atau ada orang lainselain dirinya yang sama-sama memenuhi syarat
sebagai seorang mujtahid.
d. Dihukumi sunah apabila ber-ijtihad
terhadap permasalahan yang baru, baik ditanya ataupun tidak.
e. Dihukumi haram apabila ber-ijtihad
terhadap permasalahan yang sudah ditetapkan secara qathi’, sehingga hasil
ijtihadnya itu bertentangan dengan dalil syara’.
2.3.6 Fungsi Ijtihad
Adapun ijtihad memiliki
beberapa fungsi, di antaranya sebagai berikut:
a. Ijtihad merupakan sumber hukum Islam yang
ketiga setelah Al-Qur’an dan hadis.
b. Ijtihad merupakan sarana untuk
menyelesaikan persoalan-persoalan baru yang muncul dengan tetap berpegang pada
Al-Qur’an dan sunah.
c. Ijtihad berfungsi pula sebagai
suatu cara yang di isyariatkan untuk menyesuaiakan perubahan-perubahan sosial
dengan ajaran-ajaran Islam.
d. Ijtihad berfungsi sebagai wadah
pencurahan pemikiran kaum muslim dalam mencari jawaban dari masalah-masalah
seperti berikut ini:
- Masalah asasi, yaitu hal-hal yang berkaitan
dengan ajaran Islam seperti masalah-masalah bidang akidah dan muamalat.
- Masalah esensial misalnya mengenai program
pembangunan Negara dan bangsa.
- Masalah incidental misalnya tentang isu-isu yang berkembang
dalam masyarakat.
2.3.7
Pengertian Mujtahid
Secara bahasa kata mujtahid merupakan isim fa’il dari kata اجتهد – يجتهد – اجتهدا فهو مجتهد artinya
bersungguh-sunguh melakukan sesuatu. Sedangkan secara istilah ulama ushul
berbeda pendapat dalam merumuskan pengertian mujtahid di antaranya :
a. Menurut Imam Ghazali: Mencurahkan maksimal kemampuannya, dalam
mencari ilmu tentang hukum syari’at.
b. Menurut Ibnu Hajib dan Ibnu Subki: Adanya ahli fiqh mencurahkan
kemampuannya untuk memperoleh suatu pengertian
‘dhanni’ pada hukum syar’i.
c. Menurut Abu Zahrah : Pengerahan kemampuan untuk mengistinbathkan
hukum yang bersifat praktis dari dalil-dalil yang terperinci (tafshili).
d. Menurut Ibnu Humam : Mencurahkan kemampuan dari ahli fiqh untuk
memperoleh hukum syar’i, baik aqli, maupun naqli, qot’I atau dzanni.
2.3.8 Peranan Mujtahid
Menurut Abu Ishak al-Syathibi, bahwasanya posisi seorang mujtahid
di tengah-tengah umat, serupa dengan posisi Nabi Muhammad SAW dengan sejumlah
urusan yang istimewa, diantaranya adalah:
a. Mewarisi ilmu syari’ah secara umum, sebagaimana sabda Rasulullah:
إن العلماء ورثة الأنبياء و إن الأنبياء لم يورثوا دينارا ولا درهما
و إنما ورثو العلم
“ Sesungguhnya ulama adalah ahli waris para Nabi dan bahwasanya
para Nabi tidak mewariskan uang dinar dan dirham. Hanya saja mereka mewariskan
ilmu.” (H. R. Abu Dawud dan Tirmidzi).
b. Ia sebagai pengganti Nabi dalam menyampaikan hukum-hukum Islam,
sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
ألا فليبلغ منكم الشاهد الغائب
“ Ketahuilah yang hadir diantara kalian hendaklah menyampaikan
kepada yang tidak hadir.” (H. R. al-Bukhari).
Dalam sabda beliau yang lainnya:
بلغوا عني ولو ءاية
” Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat (sepatah kata).” (H.R.
al-Bukhari).
c.
Bahwasanya
mujtahid itu merupakan muballig dari hukum syar’i atau penafsir dari
padannya. Jika ia menerangkan dan menjelaskan hukum syar’i menurut pandangan dan
ijtihadnya. Maka dalam hal ini wajib diikuti dan mengamalkan pendapatnya.
Inilah makna khilafah yang sebenarnya dari Rasulullah SAW.
2.3.9 Syarat-Syarat Mujtahid
Syarat-syarat yang harus bagi seorang mujtahid ada dua macam
yaitu: syarat-syarat umum dan syarat-syarat kelayakan (ahliyah):
1. Syarat-syarat umum (yang berhubungan dengan kepribadian) ada
tiga, yaitu:
a. Islam
b. Baligh
c. Berakal
2. Syarat-syarat ahliyah (yang berhubungan dengan kemampuan):
a. Mengetahui nash al-Qur’an dan sunnah, paling
kurang yang berkaitan dengan masalah yang dibahasnya.
Selain daripada itu, seorang mujtahid harus mendalami ‘ulumul
Qur’an misalnya:
- Asbab an-Nuzul
- Nasikh dan Mansukh
- Makkiyah dan Madaniyah
- Al-‘Am dan al-Khash
- Muthlaq dan Muqayyad
- Muhkam dan Mutasyabih
b. Mengetahui ijma’ yang sudah ada, agar dia tidak berfatwa menentangnya, karena ijma’ dianggap
bernilai yakin.
Mengetahui tentang letak ijma’ dan mengetahui
hukum-hukum yang tetap pada prinsip ini adalah dharuri bagi mujtahid. Dengan
mengetahui ini ia tidak akan berijtihad pada masalah yang telah disepakati dan
memang tiada ijma’ pada masalah yang telah disepakati hukumnya. Para ulama telah
sepakat pada masalah ini akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang ukuran
yang wajib diketahui. Diantara mereka ada yang mensyaratkan agar mengetahui
seluruh masalah yang telah disepakati para sahabat sampai masa mujahid itu.
d. Menguasai bahasa arab, sehingga dapat menafsirkan ayat dan hadis.
Para ulama ushul sepakat
bahwa pengetahuan tentang bahasa Arab adalah dharuri (wajib muthlaq), bagi
setiap orang mujtahid, karena al-Qur’an yang merupakan sumber utama syariat Islam adalah bahasa arab.
e. Mengerti ilmu ushul fikih.
Wajib bagi mujtahid
mengetahui ilmu ushul fikih yakni kaedah umum pada ushul fikih, untuk mengenal
hakikat hukum, dalil-dalil, dan syarat-syaratnya, aspek dilalah dan aspek
tarjihnya diantara dalil, ketika terjadi kontradiksi dan mengetahui nasikh
mansukh, syarat-syarat nasakh dan cara mengeluarkan hukum daripadanya.
Ia juga wajib mengetahui
qiyas dan syarat-syaratnya, rukun-rukunnya, dan lain-lain sebagainya dari
berbagai prinsip yang dibutuhkan oleh seorang mujtahid, untuk istinbath
(menarik kesimpulan hukum). Oleh sebab itu Imam Syafi’i berkata bahwa ijtihad
itu adalah mengetahui berbagai aspek qiyas dan metode-metodenya; bahkan ia
menetapkan bahwa ijtihad itu ialah qiyas. Oleh sebab itu sorang mujtahid harus
mengetahui jalannya qiyas yang benar.
f. Mengetahui nasikh dan mansukh.
Imam ghazali dan Fakhru
al-Razi menambahkan, agar mengetahui pula ilmu menggunakan dalil aqli
(logika/manthiq). Tapi Jumhur tidak mensyaratkannya.
g. Mengetahui maksud hukum.
Tujuan hukum dalam syari’at
Islam adalah rahmat kepada hambanya dan itulah puncak risalah Nabi Muhammad SAW
sebagai firman Allah dalam S. al-Anbiya’; 107:
و ما أرسلنك إلا رحمة للعلمين
Artinya :" dan kami tidak mengutusmu (muhammad) melainkan
rahmat bagi alam semesta”.
Sesungguhnya rahmat itu menghendaki adannya syari’at itu
ditegakkan atas tiga tingkat masalah, yaitu: 1) dharuriya, 2) hajiyat, 3) tahsiniyat. Disamping
itu ia juga menghendaki pengangkatan keberatan, pencegahan kesempitan, dan
memilih yang mudah dari pada yang sukar.
Menurut Imam Syathibi, ijtihad itu dibina atas dua dasar, yaitu:
-
Memahami
maksud (tujuan Syari’ah) secara sempurna. Bahwasanya maksud syariah itu dibina dengan
ketentuan, bahwa masalah Islam itu adalah tujuan hakiki. Tidak dipandang
sebagai keinginan nafsu atau sesuai dengan mukallaf.
-
Kemampuan
mengistinbath, melalui pengetahuan basa Arab, dan mengetahui hukum-hukum al-Qur’an,
sunnah, dan ijma’, serta perbedaan p-endapat fuqoha’, dan berbagai aspek
qiyas, karena semuanya ini merupakan alat untuk mengistinbath hukum.
h. Niat yang baik dan aqidah yang benar.
Allah SWT hanya meletakkan hikmah didalam hati orang yang ikhlash,
sehingga ia mudah mendapat petunjuk kepada kebaikan dan menghindari maksiat dan
mungkar. Syari’at Islam adalah suatu cahaya yang tidak dapat dimiliki, kecuali
orang-orang yang menghadapinya dengan hati ikhlash. Adapun orang-orang yang
rusak akidahnya, maka ia melakukan sesuatu atas bujukan hawa nafsunya, sehingga
ia tidak mampu menghasilkan buah pikiran yang kuat; karena niat yang salah,
mengarahkan pikiran yang salah.
2.3.10 Tingkatan
Mujtahid
a. Mujtahid Muthlaq atau Mustaqil (mujtahid fi asy-syar’i)
Ia mengeluarkan hukum-hukum langsung dari al-Qur’an dan
sunnah kemudian ia melakukan qiyas dan sebagainya. Ia tidak mengikut kepada
orang lain, baik dalam ushul maupun dalam furu’. Oleh sebab itulah ia
disebut dengan mujtahid muthlaq atau mujtahid mustaqil atau mujtahid kamil
(mujtahid yang sempurna). Yang termasuk dalam tingkatan ini adalah:
- Fuqaha’ as-Shahaba.
- Fuqaha’ at-Tabi’in diantaranya seperti : Sa’id bin Musayyab dan
Ibrahim an-Nakha’i.
- Fuqaha’ tabi’ at-Tabi’in (fuqaha’ al-Mujtahidun), seperti: Ja’far Shadiq dan ayahnya
(Muhammad al-Baqir).
- Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal.
- Al-Auzai, Laits bin Sa’ad, Sufyan Ats-Tsauri, dan Abu Tsaur Ibarahim al-Bagdadi.
b. Mujtahid Muntasib
Mujtahid yang mengikuti salah satu
mazhab atau mengikuti cara berpikirnya. Ia memiliki kemampuan seperti
mujtahid mutlak, tetapi ia tidak menyusun kaidah dan system untuk dirinya
sendiri, melainkan ia memakai system dan metode yang telah ditempuh oleh
mujtahid muthlaq (gurunya), meskipun ia tidak mengikuti dalil dan hukumnya, tetapi
mengutip banyak kata-katanya.
Diantara mujtahid yang
termasuk dalam tingkatan ini adalah:
- Mazhab Hanafi: Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan, dan Zufar.
- Mazhab Maliki: Ibnu al-Qasim, Asyhab, dan As’ad
Ibnu al-Firat.
- Mazhab Syafi’i: Al-Buwaith, al-Muzani, dan ar-Rabi’i.
- Mazhab Hanbali: Al-Atsaram dan al-Maruzi.
c. Mujtahid Mazhab
Ia berijtihad dalam masalah-masalah yang tiada nashnya dari Imam
Mazhab, atau dapat disebutkan dengan: mujtahid takhri aw mukharrij. Diantara
mereka yang termasuk dalam tingkatan ini adalah:
- Mazhab Hanafi:
al-Karakhi, at-Thahawi, al-Hulwani, al-Bazdawi, dan lain-lainnya.
- Mazhab Maliki: al-Abhari,
dan Ibnu Abi Zaid al Kairuwani.
- Mazhab Syafi’i: Abu Ishaq al-Syairazi, Ibnu Jarir at-Thabari, dan Ibnu
Khuzaimah.
- Mazhab Hanbali: al-Qadhi Abu Ya’la, al-Qadhi Abu ali Bin
Abi Musa.
d. Mujtahid Murajjih
Orang yang mampu mentarjih
suatu pendapat bagi Imam Mazhab atas pendapat lain, atau menguatkan antara
pendapat Imam Mazhab dengan pendapat muridnya, atau imam lain. Mujtahid ini
juga dinamakan dengan Mujtahid al-Fatawa. Diantara orang yang tergolong dalam
tingkatan ini adalah:
- Mazhab Hanafi: al-Kaduri dan al-Marginani.
- Mazhab Maliki: al-Allamah Khalil.
- Mazhab Syafi’i: ar-Rafi’ dan an-Nawawi.
- Mazhab Hanbali: al-Qadhi Alauddin al-Muradi dan Mahfudz Bin
Ahmad al-Kaluzani.
e. Mujtahid Muqarin aw Mujtahid Muwazzin aw Mujtahid Mustadillin.
Orang yang membanding-bandingkan antara pendapat dengan
riwayat. Artinya ulama yang punya
kemampuan untuk mentarjih pendapat imamnya tetapi hanya sekedar
membanding-bandingkan dengan pendapat mazhabnya kemudian berdalil dengan apa
yang dianggapnya lebih kuat untuk diamalkan.
f. Tingkatan pemeliharaan mazhab (Huffaz)
Ulama yang dalam tingkatan ini, melaksanakan pemeliharaan mazhab,
menjelaskan yang samar, dan memisahkan antara pendapat yang lebih kuat dari
pada yang kuat saja dan yang lemah; demikian pula yang rajih dan yang marjuh.
Akan tetapi lemah dalam dalam menetapkan dalillnya, dan memperluas kiasannya.
Diantara ulama yang termasuk dalam tingkatan ini ialah:
ulama-ulama yang menyusun matan fikih yang mu’tabarah dari ulama
mutaakhirin, seperti pengarang al-Khanz, pengarang ad-Durrul Mukhtar. Mereka
tidak menukilkan dalam kitab mereka pendapat yang tertolak atau riwayat yang
lemah.
g. Tingkatan orang-orang yang bertaqlid (Muqallid):
Tingkatan inilah yang paling rendah dari semua tingkatan
sebelummnya. Mereka hanya mampu membaca dan memahami kitab-kitab fikih, tetapi
tidak mampu mentarjih diantara berbagai pendapat dan riwayat, serta tidak
mengetahui ilmu tentang tarjih dan membedakan tingkatan tarjih itu.
Menurut Ibnu ‘Abidin, mereka tidak memisahkan antara yang kurus dan yang gemuk,
tidak membedakan antara yang kiri dan yang kanan, mereka hanya mengumpulkan
pendapat itu seperti orang yang mengumpulkan kayu api pada malam hari, bahaya
besar bagi orang yang mengikuti mereka.
KESIMPULAN
Dalam mengambil
setiap hukum pastilah ada rujukan atau tempat diambilnya suatu keputusan, yaitu
sumber hukum islam yang tentunya sumber yang pokok dan utama adalah al-qur’an
dan diperjelas oleh hadis. Disamping itu ada pula bermacam macam metode yang
merupakan produk dari penemuan para ulama yang selanjutnya terus mengalami
perkembangan dengan pesat berdasarkan permasalahan yang semakin kompleks.
Diantara metode tersebut adalah : ijma, qiyas, istihab, istihsan, urf, maslahah
mursalah.
Daftar
Pustaka
https://lzaieda.wordpress.com/2014/09/28/makalah-ijtihad-sebagai-sumber-ajaran-islam/
http://hafizahrayani.blogspot.com/2016/05/makalah-ijtihad.html
http://www.akidahislam.com/2016/11/pengertian-fungsi-dan-macam-macam_20.html
http://ushululfiqhcoy.blogspot.com/2013/12/mujtahid.html
http://sanrawijayabsa.blogspot.com/2013/11/sumber-hukum-islam-yang-ke-2-al-hadits.html?m=1
https://www.kumpulanmakalah.com/2016/10/hadis-sebagai-sumber-hukum-islam.html?m=1
0 Comments