1.        AWIG-AWIG (Lombok Barat dan Bali): Awig-Awig memuat aturan adat yang harus dipenuhi setiap warga masyarakat di Lombok Barat dan Bali, dan sebagai pedoman dalam bersikap dan bertindak terutama dalam berinteraksi dan mengelola sumberdaya alam & lingkungan.
Kearifan lokal ini mencerminkan nilai-nilai pancasila sila ke-3 Persatuan Indonesia yang dimana terdapat keterangan bahwa dalam awig-awig adanya berinteraksi dan mengelola sumberdaya alam. Jadi dengan adanya berinteraksi tersebut dapat memupuk persatuan masyarakat yang saling berinteraksi.

2.        MAPALUS (Minahasa-Sulawesi Utara): Mapalus pada masyarakat Minahasa, merupakan pranata tolong menolong yang melandasi setiap kegiatan sehari-hari orang Minahasa, baik dalam kegiatan pertanian, yang berhubungan dengan sekitar rumah tangga, maupun untuk kegiatan yang berkaitan dengan kepentingan umum.
Kearifan lokal ini mencerminkan nilai-nilai pancasila sila ke-3 Persatuan Indonesia yang dimana terdapat keterangan bahwa dalam MAPALUS adanya tolong menolong yang melandasi setiap kegiatan sehari-hari. Jadi dengan adanya tolong menolong sudah mencerminkan pada sila ke-3 yaitu persatuan.

3.        MOPOSAD DAN MODUDURAN (Bolaang Mongondow-Sulawesi Selatan): Moposad dan Moduduran merupakan pranata tolong menolong yang penting untuk menjaga keserasian lingkungan sosial.
Kearifan lokal ini mencerminkan nilai-nilai pancasila sila ke-3 Persatuan Indonesia yang dimana terdapat keterangan bahwa dalam MOPOSAD Dan MODUDURAN adanya tolong menolong. Jadi dengan adanya tolong menolong sudah mencerminkan pada sila ke-3 yaitu persatuan.

4.        KAPAMALIAN (Banjar – Kalimantan Selatan): Kapamalian merupakan aturan-aturan (pantangan) dalam pengelolaan lingkungan, misalnya larangan membuka hutan keramat.
Kearifan lokal ini mencerminkan nilai-nilai pancasila sila ke-1 Ketuhanan Yang Maha Esa yang dimana terdapat keterangan bahwa dalam Kapamalian terdapat kepercayaan. Jadi yang dimaksud kapamalian disini adalah kepercayaan terhadap larangan.

5.        TRI HITA KARANA (Bali): Tri Hita Karana, suatu konsep yang ada dalam kebudayaan Hindu-Bali yang berintikan keharmonisan hubungan antara Manusia denganTuhan, manusia-manusia, dan manusia-alam merupakan tiga penyebab kesejahteraan jasmani dan rohani. Ini berarti bahwa nilai keharmonisan hubungan antara manusia dengan lingkungan merupakan suatu kearifan ekologi pada masyarakat dan kebudayaan Bali.
Kearifan lokal ini mencerminkan nilai-nilai pancasila sila ke-1 Ketuhanan Yang Maha Esa yang dimana terdapat keterangan bahwa dalam TRI HITA KARANA adanya keharmonisan hubungan antara Manusia dengan Tuhan. Jadi maksud dari hal tersebut bahwa manusia harus meyakini, mentaati perintah dari tuhan bahwasannya manusia harus menjaga keharmonisan antara manusia atau ia sendiri dengan tuhan, kemudian antara manusia dengan manusia, dan antara manusia dengan alam.

6.        BERSIH DESO (Desa Gasang-Jawa Timur): Bersih Deso (bersih desa) adalah suatu acara adat dan sekaligus tradisi pelestarian lingkungan yang masih dilaksanakan masyarakat Desa Gasang sampai sekarang. Dilakukan setiap tahun pada bulan Jawa Selo (Longkang) dipilih dari hari Jumat Pahing. Masyarakat secara berkelompok membersihkan lingkungan masing-masing seperti jalan, selokan umum dan sungai. Setelah selesai melaksanakan bersih deso secara berkelompok mereka menyelenggarakan upacara semacam “sedekah bumi” dengan sajian satu buah buceng besar, satu buceng kecil, sayur tanpa bumbu lombok tanpa daging, berbagai macam hasil bumi yang biasa disebut “pala kependhem” dan “pala gumantung”.
Kearifan lokal ini mencerminkan nilai-nilai pancasila sila ke-3 Persatuan Indonesia yang dimana terdapat keterangan dalam BERSIH DESO yakni suatu acara adat dan sekaligus tradisi pelestarian lingkungan yang masih dilaksanakan masyarakat. Jadi maksud dari hal tersebut bahwa dalam keterangan tersebut sudah mencerminkan persatuan dengan adanya tradisi pelestarian lingkungan yang dilaksanakan masyarakat.
           
7.   WEWALER (Desa Bendosewu-Jawa Timur): Tradisi bersih desa di Desa Bendosewu dikenal dengan wewaler yang merupakan pesan dari leluhur yang babad desa. Isi pesan adalah “jika desa sudah rejo (damai, sejahtera) maka hendaknya setiap tahun diadakan upacara bersih desa.” Tradisi bersih desa disertai kegiatan kebersihan lingkungan secara serentak, yaitu membersihkan jalan-jalan, rumah-rumah, pekarangan, tempat-tempat ibadah, makam dan sebagainya. Kegiatan ini disebut pula dengan “tata gelar” atau hal yang sifatnya lahiriah. Hal yang berkaitan dengan “tata gelar” dalam bersih desa bagi masyarakat Bendosewu sudah menjadi bagian hidupnya, sehingga tidak perlu diperintah lagi.
            Kearifan lokal ini mencerminkan nilai-nilai pancasila sila ke-3 Persatuan Indonesia yang dimana terdapat keterangan dalam WEWALER yakni suatu upacara bersih desa. Jadi maksud dari upacara bersih desa adalah suatu kegiatan kebersihan lingkungan secara serentak yang dilakukan oleh masyarakat desa tersebut.

8.   SEREN TAUN (Kasepuhan Sirnaresmi-Jawa Barat): Seren Taun memiliki banyak arti bagi masyarakat kasepuhan diantaranya adalah puncak prosesi ritual pertanian yang bermakna hubungan manusia, alam, dan pencipta-Nya. Seren Taun adalah perayaan adat pertanian kasepuhan sebagai ungkapan rasa syukur setelah mengolah lahan pertanian sengan segala hambatan dan perjuangannya untuk mendapatkan hasil yang optimal. Seren Taun adalah pesta masyarakat adat Kasepuhan sebagai ungkapan rasa gembira ketika panen datang. Seren Taun juga merupakan pertunjukan kesenian-kesenian tradisional yang ada di masyarakat Kasepuhan. Adat istiadat yang berlaku di dalam Kasepuhan ini mengatur pola kehidupan masyarakat dalam berhubungan dengan sang pencipta (Hablum minallah), hubungan antar manusia (Hablum minan naas) dan hubungan manusia dengan alam lingkungannya (Hablum minal alam).
            Kearifan lokal ini mencerminkan nilai-nilai pancasila sila ke- 1 yaitu upacara atau proses ritual terhadap yang maha kuasa sebagai ungkapan rasa syukur atas panen yang diterima. Hal ini sesuai dengan sila pancasila yang pertama yaitu terdapat kepercayaan atau keyakinan terhadap tuhan sebagai penciptanya dan yang mengatr segala ciptaannya.

9.    TALUN (Kampung Dukuh-Jawa Barat): Bentuk kearifan dalam pengelolaan SDA dan lingkungan hidup yang dikembangkan masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan diwujudkan dalam penataan ruang hutan, pelestarian dan pengelolaan air, pengelolaan lahan dengan pengembangan talun. Contohnya yaitu Leuweung Titipan atau hutan keramat. Hutan ini tidak boleh dimasuki apalagi dieksploitasi oleh siapa pun, kecuali ada izin dari Abah Anom. Hutan ini akan dimasuki apabila Abah Anom menerima wangsit atau ilapat dari nenek moyang yang memerlukan sesuatu dari kawasan gunung tersebut. Kawasan hutan keramat adalah kawasan Gunung Ciwitali dan Gunung Girang Cibareno.
            Kearifan lokal ini mencerminkan nilai-nilai pancasila sila ke-1 yaitu terdapat leuweung titipan atau hutan keramat yang tidak sembarang orang boleh masuk karena harus ada izin terlebih dahulu dari Abah Anom yang menerima wangsit atau ilapat dari nenek moyang yang memerlukan sesuatu. Dilihat dari penjelasan berikut dapat disimpulkan bahwa terdapat nilai sila pancasila pertama yaitu nilai ketuhanan dimana terdapat suatu kepercayaan bahwa tidak boleh masuk hutan tanpa izin abah Anom.

10.  TEBAT (Pasemah-Sumatera Selatan): Salah satu bentuk kearifan lingkungan masyarakat Pagar Alam adalah Tebat milik komunal. Tebat dapat dimiliki secara individual maupun kolektif. Tebat memiliki fungsi sosial, untuk memperkuat rasa solidaritas dan integrasi masyarakat. Setiap kali ikan dipanen, dilakukan bobos tebas, yaitu menguras isi kolam oleh semua warga desa secara bersama-sama.
            Kearifan lokal ini mencerminkan sila ke-3 yaitu gotong raoyong dalam membersihkan kolam ikan dan juga saat memanennya yang dapat memperkuat ikatan sosial masyarakat, memperkuat rasa solidaritas sehingga dapat mempersatukan warga dan juga ikatan ini akan terus tambah kuat setiap kali masyarakat melakukan kegiatan ini.

11.   MAROMU (Ngata Toro-Sulawesi Tengah): merupakan sistem kerja sama yang berlaku dalam pengelolaan tanah/hutan bagi masyarakat adat Ngata Toro. Sistem ini mengandung nilai saling membantu meringankan beban pekerjaan satu sama lain. Dari awal pengelolaan hingga panen, sistem Maromu dilakukan secara bergiliran dari satu keluarga/pribadi kepada yang lain. Pengelolaan tanah/hutan melalui beberapa tahapan dan struktur yang diatur menurut ketegorisasi hutan.
            Kearifan lokal ini mencerminkan nilai-nilai pancasila sila ke-3 yaitu saling membantu dalam meringankan beban pekerjaan dari tahap awal sampai tahap akhir dengan cara bekerja sama dan bergiliran antar anggota yang dapat mempererat rasa persatuan dan kesatuan karena salah satu faktor terjadinya persatuan adalah dengan bekerja sama.

12.  WANA (Ngata Toro – Sulawesi Tengah): Wana merupakan salah satu kategori dari pandangan tentang hutan menurut orang Toro. Wana adalah kawasan hutan belantara/hutan rimba dimana belum pernah ada kegiatan manusia mengolahnya menjadi kebun. Wana adalah tempat berkembang biaknya binatang Anoa (lupu), babi rusa (dolodo) dan lain-lain. Wana merupakan hutan primer sebagai penyangga kandungan air yang banyak (sumber air). Sehubungan dengan itu, Wana tidak pernah diolah jadi kebun. Bilamana diolah/dibuka akan membawa bencana kekeringan. Begitulah pemahaman yang berkembang pada masyarakat adat Toro secara turun-temurun. Wana dimanfaatkan khusus untuk mengambil damar, rotan, wewangian, obat-obatan dan sewaktu-waktu tempat untuk berburu binatang dan mencari ikan di sungai-sungainya, bilamana ada pesta di Ngata. Di beberapa alur sungai pada waktu itu dilakukan kegiatan mendulang emas secara tradisional. Dari hasil pemetaan partisipatif membuktikan wana merupakan hutan yang terluas di wilayah adat Toro dengan luas sekitar 11.290 Ha.
            Kearifan lokal ini mencerminkan nilai-nilai pancasila sila ke-1 dimana masyarakat adat Toro memliki keyakinan atau kepercayaan bahwa bilamana Wana diolah menjadi kebun maka mereka akan dilanda bencana kekeringan, keyakinan ini sudah melekat pada mereka secara turun-temurun. Jadi keyakinan ini sesuai dengan nilai sila pertama tentang kepercayaan kepada yang gaib.

13.  NAKI KA BUKIT (Kampung Raba – Kalimantan Barat): Naki Ka Bukit merupakan Upacara adat yang dilakukan apabila dalam musim panen tahun sebelumnya mengalami gangguan entah berupa hama penyakit atau gangguan hewan. Upacara ini dilakukan setiap lima tahun sekali dan sudah menjadi agenda yang tetap.
       Kearifan lokal ini mencerminkan nilai-nilai pancasila sila ke-1 yaitu kepercayaan tentang gagal panen yang disebabkan oleh hama atau yang lainnya yang bisa ditangani dengan melakukan upacara adat yang dilakukan setiap 5 tahun sekali, jadi terbukti bahwa masyarakat disana percaya tentang upacara adat yang akan mendatangkan kebaikan terhadap panen mereka.

14.  MIJAR BUNGA BUAH (Kampung Raba – Kalimantan Barat): Upacara adat Mijar Bunga Buah dilakukan berdasarkan ada tidaknya tanaman-tanaman buah berbunga. Tujuan dari upacara ini adalah untuk menjaga agar buah-buahan yang akan dimakan tidak menimbulkan hal-hal yang negatif. Kegiatan ini dipusatkan di tempat khusus yang sekarang ini dilakukan di Malantokng. Sampai saat ini tempat tersebut dikeramatkan menjadi Keramat Buah.
       Kearifan lokal ini mencerminkan nilai-nilai pancasila sila ke-1 yaitu tentang kepercayaan terhadap tempat keramat yang dinamakan keramat buah yang digunakan sebagai tempat melakukan upacara adat dengan tujuan agar buah-buahan yang mereka makan tidak menimbulkan hal-hal negatif atau hal-hal yang tidak diinginkan.

15.  MALINAU KAPAL (Sungai Pisang – Sumatera Barat): Malinau kapal memiliki dua versi, yaitu malinau kapal baru yang pertama kali mau turun kelaut, dan jika kapal-kapal nelayan selalu sial dalam setiap operasi (selalu ada halangan atau kesulitan memperoleh hasil tangkapan). Malimau kapal baru; Malimau kapal baru perisipnya merupakan suatu upacara untuk minta izin kepada Allah swt. untuk mengelola isi lautan. Malimau kapal untuk membuang sial; Upacara malimau kapal yang berkaitan dengan membuang sial ini relatif lama dan rangkaian upacara tergantung dari pantanagan yang dilanggarnya, tetapi jika nahkoda (=tungganai untuk kapal tonda atau bagan, = pawang untuk perahu payang) bersama ABKnya tidak tahu sebab kesialan yang menimpa, biasanya mereka langsung datang ke dukun kapal untuk kapalnya dilimaui.
            Kearifan lokal ini mencerminkan nilai-nilai sila pancasila sila ke-1 yaitu melakukan upacara malinau kapal dimana upacaranya ada yang ditunjukkan untuk meminta izin kepada Allah SWT. Untuk mengelola laut dan ada pula untuk membuang sial saat melaut. Jadi dengan melakukan upacara tersebut mereka dapat melaut dengan tenang dan mereka percaya terhadap keyakinan mereka untuk melakukan upacara tersebut.

16. BONDANG (Desa Silo-Asahan-Sumatera Utara): Masyarakat Desa Silo menerapkan tradisi berupa upacara buka Bondang dan tutup Bondang dalam aktivitas pertanian. Buka Bondang dilakukan pada saat akan memulai penanaman, sedangkan Tutup Bondang diselenggarakan saat panen. Apa yang menarik dari kegiatan ini adalah bahwa selain bersandarkan pada kearifan tradisional, konsep pertanian bondang ini ternyata cukup sinergiss dengan upaya menciptakan keseimbangan lingkungan. Dalam aktivitas pertanian, petani sama sekali tidak menggunakan zat-zat kimia maupun obat-obatan yang dapat mengakibatkan berbagai dampak pada kesehatan dan kerusakan lingkungan. Kegiatan pengolahan lahan pertanian dari mulai tanam hingga panen sepenuhnya dilakukan secara tradisional, tanpa menggunakan bahan-bahan kimia.
            Kearifan lokal ini mencerminkan nilai-nilai pancasila sila ke-1 yaitu kepercayaan terhadap upacara adat buka bondang dan tutup bondang yang dilakukan sebelum bertani dan sesudah panen agar pada saat memulai tani , diberikan kelancaran begitu pula pada saat panennya agar panen melimpah dan tidak gagal panen.

17. LUBUK LARANGAN (Mandailing-Sumatera Utara): Lubuk Larangan adalah bagian sungai yang dilindungi. Di dalamnya terdapat ikan jurung yang merupakan ikan langka dan bernilai simbolik sebagai peralatan upacara pada Masyarakat Tapanuli Selatan (Mandailing). Di Mandailing Natal terdapat 114 lubuk larangan yang dikelola oleh masyarakat. Konsep ini merupakan kearifan tradisional yang terlaksana secara berkesinambungan dari, oleh dan untuk masyarakat.
            Kearifan lokal ini mencerminkan nilai-nilai pancasila sila ke-1 tentang kepercayaan mereka terhadap ikan langka yang terdapat di lubuk larangan sebagai peralatan upacara yang memiliki nilai simbolik yang membuat mereka melindungi lubuk larangan agar ikan tersebut tidak terganggu.

18.  MACCERA TASI (Luwu-Sulawesi Selatan): Maccera Tasi terbukti efektif dalam menggugah emosi keagamaan (spiritual) warga masyarakat. Pada saat pelaksanaan upacara, mereka diingatkan atas tanggungjawabnya untuk menghormati laut, menjaga kebersihannya, tidak merusak dan tidak menguras potensi ikan laut secara berlebihan.
            Kearifan lokal ini mencerminkan nilai-nilai pancasila sila ke-1 tentang kepercayaan mereka terhadap agama atau keyakinan masyarakat disana agar bertanggung jawab terhadap laut untuk selalu menghormatinya, menjaga kebersihannya dan tidak mengambil hasil laut secara berlebihan sesuai yang diterangkan dalam upacara adat disana.

19.  BAU NYALE (Sasak, Nusa Tenggara Barat): Kearifan masyarakat setempat tercermin dalam upaya masyarakat memelihara dan melestarikan tradisi Bau Nyale yang dikaitkan dengan kesuburan. Nyale atau cacing laut jelmaan dari putri kemudian memenuhi air laut dengan warna-warni dan mudah ditangkap. Setiap tahun dilakukan upacara Bau Nyale oleh pendudukk Sasak.
            Kearifan lokal ini mencerminkan nilai-nilai pancasila sila ke-1 tentang kepercayaan mereka terhadap Nyale atau cacing laut yang merupakan jelmaan putri,dan keyakinan ini membuat mereka melakukan hal yang tidak dilakukan suku lain karena mereka menganggap bahwa dengan melakukan hal tersebut akan mendatangkan kesuburan.


20. PASANG RI KAJANG (Ammatoa, Kajang, Sulawesi Selatan): Masyarakat adat Ammatoa bermukim di Desa Tana Toa, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, yang berjarak kurang lebih 540 km ke arah tenggara dari kota Makassar, Sulawesi Selatan. Pasang Ri Kajang merupakan pandangan hidup komunitas Ammatoa, yang mengandung etika dan norma, baik yang berkaitan dengan perilaku sosial, maupun perilaku terhadap lingkungan dan alam sekitarnya, maupun hubungan manusia dengan PenciptaNya. Ammatoa bertugas untuk melestarikan Pasang Ri Kajang dan menjaganya agar komunitas Ammatoa tetap tundukk dan patuh kepada Pasang. Pasang merupakan pandangan yang bersifat mengatur, tidak dapat dirobah, ditambah maupun dikurangi.
            Kearifan lokal ini mencerminkan sila ke-3 yaitu menjaga etika dan perilaku terhadap sesama manusia yang dapat memicu persatuan yang dimulai dengan sikap toleransi, selain itu mencerminkan nilai sila ke-1 tentang menjaga hubungan dengan sang maha pencipta yang merupakan pandangan hidup dari Pasang Ri Kajang.

21.  MOHOTO O WUTA (Tolaki, Sulawesi Tenggara): Upacara Mohoto O Wuta agar kelak nanti hutan yang mereka tebangi dapat menghutan kembali agar dapat dimanfaatkan oleh generasi berikutnya. Hal ini dibuktikan dengan konsep-konsep (kenyataan empirik) seperti ana homa, o sambu, dan laliwata yang merupakan suatu bukti jika kawasan hutan bekas perladangan dapat pulih kembali.
            Kearifan lokal ini mencerminkan nilai-nilai pancasila sila ke-1 yaitu kepercayaan terhadap hutan mereka tebang akan pulih kembali jika dilakukan upacara adat Mohoto O Wuta dan dapat dimanfaatkan kembali oleh generasi selanjutnya.

22.  PANGALE KAPALI (Tau Taa atau To Wana, Sulawesi Tenggara): To Wana berarti “orang dalam hutan”. Mereka memiliki kawasan hutan suaka adat yang disebut “pangale kapali”. Upaya-upaya komunitas masyarakat adat Tau Ta’a untuk menjaga kelestarian pangale kapali tersebut, ditempuh melalui penegakan hukum adat beserta pemberian sanksi pelanggarannya yang terkait dengan pengelolaan pangale kapali. Hutan konservasi binaan masyarakat adat Tau Ta’a tersebut senantiasa berada dalam pengawasan masyarakat. Berbagai upacara ritual, tabu serta tradisi pelestarian pangale kapali tetap dipertahankan. Demikian juga hutan adat dan berbagai keputusan adat lainnya diterapkan di tengah-tengah warganya guna menjaga kelestarian atau kelangsungan hutan larangan tersebut.
            Kearifan lokal ini mencerminkan nilai-nilai pancasila sila ke-1 yaitu kepercayaan atau keyakinan terhadap hutan larangan sehingga mereka melakukan berbagai macam upacara dan ritual-ritual adat lainnya agar hutan tersebut terus dijaga. Bukan hanya dengan melakukan berbagai aktifitas adat saja tetapi juga dilestarikan, dikelola dan dilindungi olehmasyarakat adat Tau Ta’a agar hutan tersebut tetap ada, tetap terjaga, dan terlindungi.