BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Kebahagiaan dalam Islam adalah kebahagiaan autentik artinya lahir dan tumbuh dari nilai-nilai  hakiki Islam dan mewujud dalam diri seseorang hamba yang mampu menunjukkan sikap tobat (melakukan introspeksi dan koreksi  diri) untuk selalu berpegang pada nilai-nilai  kebenaran ilahiah, mensyukuri karunia Allah berupa nikmat iman, Islam, dan kehidupan,   serta menjunjung tinggi kejujuran, kebenaran, dan keadilan dalam menjalani kehidupan pribadi, sosial, dan profesional. Pada sisi lain, kebahagiaan itu menjadi tidak lengkap jika  tidak mewujud dalam kehidupan konkret dengan jalan membahagiakan orang lain.
Tak ada orang yang ingin hidupnya tidak bahagia. Semua orang ingin bahagia. Namun hanya sedikit orang yang mengerti arti kebahagiaan yang sesungguhnya. Hidup bahagia merupakan idaman setiap orang, bahkan menjadi simbol keberhasilan sebuah kehidupan. Tidak sedikit manusia yang mengorbankan segala-galanya untuk meraihnya. Menggantungkan cita-cita menjulang setinggi langit dengan puncak tujuan tersebut, yaitu bagaimana meraih kebahagiaan hidup. Dan ini menjadi cita-cita tertinggi setiap orang baik yang mukmin atau yang kafir kepada Allah.
Apabila kebahagiaan itu terletak pada harta benda yang bertumpuk-tumpuk, mereka telah mengorbankan segala-galanya untuk meraihnya. Nyatanya, itu tak pernah diraih dan  membuat pengorbanannya sia-sia. Apabila kebahagiaan itu terletak pada ketinggian pangkat dan jabatan, mereka juga telah siap mengorbankan apa saja demi memperoleh apa yang diinginkannya. Tapi tetap saja kebahagiaan itu tidak pernah didapatkannya. Apabila kebahagiaan itu terletak pada ketenaran nama, mereka telah berusaha untuk meraihnya dengan apapun juga dan mereka tidak mendapati apa yang disebut kebahagiaan.












B.    Rumusan Masalah

1. Menelusuri Konsep dan Karakteristik Agama sebagai Jalan Menuju Tuhan dan Kebahagiaan
2. Menanyakan Alasan Mengapa Manusia Harus Beragama dan Bagaimana Agama Dapat Membahagiakan Umat Manusia?
3. Menggali Sumber Historis, Filosofis, Psikologis, Sosiologis, dan Pedagogis tentang Pemikiran Agama sebagai Jalan Menuju Kebahagiaan
4. Membangun Argumen tentang Tauḫīdullāh sebagai Satu-satunya Model Beragama yang Benar
5. Pengertian tauhid
6.  Pembagian tauhid
7. Hakekat dan inti tauhid
8. Implementasi tauhid dalam kehdupan
9. Penerapan tauhid dalam kegidupan
10. Pengaruh tauhid terhadap seorang muslim.
PUH TAUHID TERHADAP KEHIDUPAN SEORA
.     .     PENERAPAN TAUHID DALAM KEGIDUPAN



BAB II
PEMBAHASAN
1.  Menelusuri Konsep dan Karakteristik Agama sebagai  Jalan Menuju Tuhan dan Kebahagiaan
          Kebahagiaan dalam Islam adalah kebahagiaan autentik artinya lahir dan tumbuh dari nilai-nilai  hakiki Islam dan mewujud dalam diri seseorang hamba yang mampu menunjukkan sikap tobat (melakukan introspeksi dan koreksi  diri) untuk selalu berpegang pada nilai-nilai  kebenaran ilahiah, mensyukuri karunia Allah berupa nikmat iman, Islam, dan kehidupan,   serta menjunjung tinggi kejujuran, kebenaran, dan keadilan dalam menjalani kehidupan pribadi, sosial, dan profesional. Pada sisi lain, kebahagiaan itu menjadi tidak lengkap jika  tidak mewujud dalam kehidupan konkret dengan jalan membahagiakan orang lain.
Berikut pendapat dari beberapa ahli mengenai makna kebahagiaan:
Al-Alusi : bahagia adalah perasaan senang dan gembira karena bisa mencapai keinginan atau cita-cita yang dituju dan diharapkan
Ibnul Qayyim al-Jauziyah : kebahagiaan adalah perasaan senang dan tentram karena hati sehat dan ber!ungsi dengan baik.
Al Ghazali: bahagia terbagi menjadi dua antara lain:
Bahagia hakiki adalah kebahagiaan ukhrawi yang dapat diperoleh dengan modal iman, ilmu dan amal.
Bahagia majusi adalah kebahagiaan duniawi yang dapat diperoleh baik itu orang yang beriman maupun yang tidak beriman
Beberapa karakteristik hati yang sehat diantaranya:
Selalu beriman kepada Allah dan menjadikan Al Qur’an sebagai obat untuk hati.
Selalu berorientasi ke masa depan dan akhirat.
Selalu mendorong pemiliknya untuk kembali kepada Allah.
Selalu mengingat Allah.
Selalu menyadarkan diri apabila melupakan Allah karena urusan dunia.
Selalu mendapatkan ketenangan, kenikmatan, dan kebahagiaan ketika menjalankan sholat.
Selalu memperhatikan waktu agar tidak terbuang sia-sia.
Selalu berorientasi kepada kualitas amal selama hidup.



2.  Menanyakan Alasan Mengapa Manusia Harus Beragama dan Bagaimana Agama Dapat Membahagiakan Umat Manusia?
Kunci beragama berada pada fitrah manusia. Fitrah itu sesuatu yang  melekat  dalamdiri  manusia  dan  telah  menjadi  karakter  (tabiat) manusia.Kata “fitrah”secara  kebahasaan  memang  asal  maknanya adalah suci. Yang dimaksud suci adalah suci  dari  dosa  dan suci secara  genetis Meminjam term Prof. Udin  Winataputra,fitrah adalah lahir  dengan membawa iman. Berbeda dengan konsep teologi  Islam, teologi tertentu berpendapat sebaliknya yaitu bahwa  setiap manusia lahir  telah membawa dosa yakni dosa warisan. Didunia, menurut teologi ini,manusia dibebanitugas yaitu harus membebaskan diri dari dosa itu. Adapun dalam teologi Islam, seperti telah dijelaskan,bahwa setiap manusia lahir  dalam kesucian yakni suci dari dosa dan telah beragama yakni agama Islam.Tugas  manusia adalah berupaya agar kesucian dan keimanan terus terjaga dalam hatinya hingga kembali kepada Allah.
3. Menggali Sumber Historis, Filosofis, Psikologis, Sosiologis, dan  Pedagogis tentang Pemikiran Agama sebagai Jalan Menuju Kebahagiaan.
Secara teologis,beragama itu adalah fitrah. Jika manusia hidup sesuai  dengan  fitrahnya, maka ia akan bahagia. Sebaliknya, jika ia hidup  tidak  sesuai  dengan  fitrahnya, maka ia tidak akan bahagia. Secara historis, pada sepanjang sejarah hidup manusia, beragama itu merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling hakiki.  Banyak buku membicarakan atau mengulas kisah manusia mencari Tuhan. Umpamanya buku yang ditulis oleh Ibnu Thufail. Buku ini menguraikan bahwa kebenaran bisa  ditemukan manakala ada keserasian antara akal  manusia dan wahyu. Dengan  akalnya, manusia mencari Tuhan dan bisa sampai kepada Tuhan. Namun, penemuannya itu  perlu konfirmasi dari Tuhan melalui wahyu, agar ia dapat menemukan yang hakiki dan akhirnya ia bisa berterima kasih kepada Tuhan atas segala nikmat  yang  diperolehnya  terutama nikmat bisa  menemukan Tuhan dengan akalnya itu.
Secara horizontal, manusia butuh berinteraksi dengan sesamanya dan lingkungannya  baik flora maupun fauna. Secara vertikal manusia lebih butuh berinteraksi dengan Zat yang menjadi sebab ada dirinya. Manusia dapat wujud/  tercipta bukan oleh dirinya sendiri, namun oleh yang lain. Yang menjadi sebab wujud manusia tentulah harus   Zat Yang Wujud  dengan  sendirinya sehingga  tidak membutuhkan yang lain. Zat yang wujud dengan sendirinya  disebut  wujud  hakiki, sedangkan suatu  perkara  yang wujudnya  tegantung  kepada yang lain sebenarnya tidak ada/ tidak  berwujud.
Kalau perkara itu mau disebut ada (berwujud), maka adalah wujud idhāfī. Wujud idhāfī sangat tergantung kepada wujud  hakiki. Itulah  sebabnya, manusia yang sebenarnya adalah wujud idhāfī yang sangat membutuhkan Zat yang berwujud secara hakiki, itulah  Allah. Jadi, manusia sangat membutuhkan Allah. Allahlah yang menghidupkan, mematikan, memuliakan, menghinakan, mengayakan,memiskinkan, dan Dialah Allah Yang Zahir Yang Batin, dan Yang Berkuasa atas segala sesuatu.





4.  Membangun Argumen tentang Tauḫīdullāh sebagai Satu-satunya Model Beragama yang Benar
Sebagaimana  telah diketahui  bahwa  misi  utama  Rasulullah saw., seperti halnya rasul-rasul yang sebelum beliau adalah mengajak manusia kepada Allah. Lāilāha illallāhitulah landasan teologis agama yang  dibawa  oleh  Rasulullah  dan  oleh  semua  para nabi  dan  rasul. Makna kalimat tersebut adalah “Tidak ada Tuhan kecuali Allah;”  “Tidak ada  yang berhak  disembah  kecuali  Allah;” “Tidak  ada  yang  dicintai kecuali Allah;” “Tidak  ada  yang berhak  dimintai tolong/bantuan kecuali Allah;” “Tidak ada yang harus dituju kecuali Allah;” “Tidak ada yang  harus  ditakuti  kecuali  Allah;” “Tidak  ada  yang  harus  diminta ridanya kecuali Allah”. Tauḫīdullāh menempatkan  manusia  pada  tempat yang  bermartabat,  tidak  menghambarkan  diri  kepada  makhluk  yang lebih  rendah  derajatnya daripada manusia.  Manusia  adalah  makhluk yang  paling  mulia dan paling  sempurna  dibanding  dengan  makhluk-makhluk  Allah  yang  lain.  Itulah  sebabnya, Allah memberikan  amanah kepada  manusia.  Manusia   adalah   roh   alam,  Allah menciptakan  alam  karena  Allah  menciptakan  manusia  sempurna (insan kamil).
Tauḫīdullāh adalah barometer kebenaran agama-agama sebelum  Islam. Jika  agama samawi yang dibawa oleh nabi-nabi sebelum  Muhammad saw.masih tauḫīdullāh, maka  agama  itu  benar, dan seandainya agama nabi-nabi sebelum Muhammad saw.itu sudah tidak tauḫīdullāh yakni  sudah  ada  syirik,  unsur  menyekutukan  Allah, maka  dengan  terang  benderang  agama itu  telah melenceng, salah, dan sesat-menyesatkan. Agama yang dibawa para nabi pun namanya Islam.
5. Pengertian Tauhid 
Islam meyakini bahwa Allah swt adalah Esa secara mutlak, tidak berbilang dan tidak bersekutu dalam hal apapun. Siapa saja yang meyakini sebaliknya,maka ia telah jatuh pada kezhaliman dan dosa yang besar (syirk). Dimensi terpenting dari persoalan tauhid adalah masalah keesaan Allah ini, karena itu ushuluddin pertama ini di sebut at‐tauhid Tauhid berasal dari akar kata ahad atau wahid yang artinya satu. Dalam Islam, ia adalah asas keyakinan (akidah) bahwa Tuhan itu hanya satu, yakni Allah swt dan tidak ada yang setara juga sekutu dengan‐Nya.
Dia yang wajib disembah dan dimintai pertolongan. Hanya Dia yang ditaati dan ditakuti. Hanya Dia yang menentukan segala sesuatu di dunia dan akhirat nanti. Tauhid dirangkum dalam kalimat tahlil, Laa ilaaha illallaah (tidak ada Tuhan selain Allah). Tapi bukan berarti semua orang yang mengucapkan kalimat “Laa ilaaha illa Allah”, serta merta menjadi orang yang sudah bertauhid (merealisasikannya). Akan tetapi, menurut para ulama, agar menjadi seorang yang bertauhid (muwahhid) mesti memenuhi tujuh syarat berikut ini :
1.      Ilmu, yaitu mengetahui makna dan maksud dari kalimat tauhid itu.
2.      Yakin, yaitu meyakini dengan seyakin-yakinnya akan komitmen (dari kalimat tauhid itu).
3.      Menerima dengan hati dan lisan (perkataan) dari segala konsekuensinya.
4.      Tunduk dan patuh akan apa yang diperintahkan-Nya dan apa yang dilarang-Nya.
5.    Benar dalam perkataan. Artinya, apa yang dikatakannya dengan lisan harus sesuai dengan hati

6.      Ikhlas dalam melakukan sesuatu.
7.      Mencintai kalimat tauhid dengan segala konsekuensinya.

Didalam surat Al‐Ikhlas sudah di jelaskan dengan tegas akan keesaan Allah SWT, dan salah seorang Ulama Besar pernah menyebutkan “satu alasan lain kenapa al‐Ikhlash di turunkan adalah untuk menjawab pertanyaan‐pertanyaan di masa depan tentang Tuhan, dari sebagian kamu yang meraguinya.
قل هو الله احد 
“Qulhuwallahu ahad” Katakanlah, Dialah Allah Yang Maha Esa.
Selain menyebitkan keesaan Allah SWT. Ayat ini juga tersirat makna bahwa Allah itu satu dan tunggal, di ayat ini Allah juga memerintahkan hamba-Nya untuk mengesakan-Nya. Allah adalah sebaik-baiknya Maha Pencipta dan yang Maha mengatur serta Maha perencana atas apa yang terjadi kepada makhluk ciptaannya. Jadi sudah semestinya kita hanya bergantung kepada Allah.
“Lam yalid walam yulad” Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakan.
Allah SWT itu tunggal dan berdiri sendiri. Karna jika tidak, maka Allah sama seperti kita makhluk hidup. Sungguh sesuatu hal yang mustahil karna bagaimana mungkin kita makhluk hidup dapat membuat keturunan yang beragam dan berbeda. Dan bagaimana mungkin makhluk hidup dapat menciptakan langit yang secara ilmiah sampai saat ini tidak diketahui ujungnya dan tidak dapat digapai oleh satupun makhluk hidup.
            “Wa lam yakun lahu kufuwan ahad” Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan dia.
Diayat ini juga, memiliki maksud bahwa pencipta tak sama dengan yang diciptakan. Sebagai contoh : sebuah meja tidak sama dengan pembuat meja tersebut dalam sifat ataupun bentuk. Dan makna lain yang terkandung dalam ayat ini adalah keagungan dan kesempurnaan yang hanya dimiliki oleh Allah SWT dengan Asmaul Husna-Nya.

6. Pembagian Tauhid
Berdasarkan apa yang didakwahkan oleh para rasul dan kitab‐kitab yang telah diturunkan,Tauhid terbagi menjadi tiga :
1.      Tauhid Rubiyah
Yaitu meyakini dan mengakui bahwa Allah SWT lah yang menciptakan, memiliki, membolak‐balikan, mengatur alam ini, dan yang Maha mengetahui segala sesuatu. Seperti yang telah disebutkan Dalam QS. Asy‐Sura ayat 11 yang artinya :
“(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri yang berpasangan, dan dari jenis binatang ternak pula yang berpasangan dan berkembang biak. Tidak ada satupun yang serupa dengan-Nya, dan dialah yang maha mendengar juga maha melihat. “(QS. Asy-Sura : 11)”.
Hal ini diakui hampir oleh seluruh umat manusia, adapun kaum yang pernah mengingkarinya adalah kaum atheis, yang pada kenyataannya mereka memperlihatkan keingkarannya hanya karna kesombongan mereka. Padahal jauh di dalam lubuk hati mereka, mereka mengakui bahwa tidaklah alam semesta ini terjadi kecuali ada yang membuat dan yang mengaturnya. Sebagaimana firman Allah SWT yang artinya :
“Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu ataukah mereka yang menciptakan? Ataukah mereka yang menciptakan bumi itu? Sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan)”. (QS. Ath-Thur : 35-36).

2.      Tauhid Uluhiyah
Yaitu meyakini dan mengakui bahwa Allah SWT memiliki hak terhadap semua makhluk-Nya. Hanya Dialah yang berhak untuk disembah, bukan yang lain. Karena itu tidak diperbolehkan untuk memberikan salah satu dari jeis ibadah seperti : berdoa, shalat, meminta tolong, tawakal dan lain-lain. Melainkan hanya untuk Allah SWT semata. Firman Allah yang artinya :
“Dan barang siapa yang menyembah tuhan lain selain Allah, padahal tidak ada satu dalilpun baginya tentang itu, maka sesungguhnya perhitungan di sisi Tuhannya. Sesungguhnya orang kafir itu tidak ada yang beruntung. (QS. Al-Mukminun : 117)”.
Kebanyakan manusia mengingkari tauhid ini, oleh sebab itulah Allah mengutus para rasul, dan menurunkan kitab-kitab kepada mereka agar mereka beribadah kepada Allah saja dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya.

3.      Tauhid Sifat atau Asma
Adalah meyakini bahwa sifat-sifat yang ada pada Allah seperti ilmu, kuasa, hidup, dan sebagainya. Dan juga merupakan hakikat Dzat-Nya, dan Allah memiliki nama dan sifat baik (asma’ul husna) yang sesuai dengan keagungan-Nya. Sifat-sifat itu tidak sama dengan sifat-sifat makhluk, yang masing-masing berdiri sendiri dan terpisah dari yang lainnya.
7. HAKEKAT DAN INTI TAUHID
Hakekat dan inti tauhid adalah agar manusia memandang bahwa semua perkara berasal dari Allah SWT, dan pandangan ini membuatnya tidak menoleh kepada selain-Nya tanpa sebab atau perantara, juga mentaati perintah‐Nya dan menjauhi larangan‐Nya. Dengan adanya tauhid seseorang dapat dengan mudah melihat yang baik dan buruk, yang berguna dan yang berbahaya dengan keyakinan semuanya berasal dari Allah SWT. Dengan tauhid pula seorang muslim hanya akan menyembah‐Nya dan mengesakan‐Nya, dan tidak menyembah kepada yang lain.




8. IMPLEMENTASI TAUHID DALAM KEHDUPAN
1.      Hal yang merusak sikap tauhid.
Sikap tauhid merupakan sikap mental hati yang kurang stabil akan menyebabkan sikap ini mudah berubah-ubah. Adapun hal-hal yang dapat mengurangi sikap tauhid, yaitu:
a.     Penyakit Riya
Kelemahan ini pun disinyalir oleh Allah sendiri didalam Al-Qur’an sebagai peringatan bagi manusia. Sebagaimana firman Allah:
“Sesungguhnya proses terjadinya manusia (membuatnya) tak stabil. Bila mendapatkan kegagalan lekas berputus asa. Bila mendapatkan kemenangan cepat menepuk dada”. (Al-Ma’aarij: 19-21)
b.      Penyakit Ananiyah (egois)
Kemungkinan mereka yang belum stabil sikap pribadinya, selain sikap riya ialah manusia menempuh jalan pintas. Rasa tidak pasti tadi diatasinya dengan mementingkan diri sendiri. Namun sifat ini tidak akan tumbuh didalam pribadi yang mau beribadah ihsan dan khusyu.
c.       Penyakit takut dan bimbang
Rasa takut ini biasanya timbul terhadap perkara yang akan datang yang belum terjadi. Adapun cara mengatasi rasa takut ini ialah dengan tawakal’alallah artinya mewakilkan perkara yang kita takuti itu kepada Allah SWT, maka Allah akan memberikan pemecahan masalah tersebut.
d.      Penyakit Dzalim
Dzalim artinya meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya atau melakukan sesuatu yang tidak semestinya.
e.       Penyakit hasad atau dengki
Hasad tumbuh dihati seseorang apabila ia tidak senang kepada keberhasilan orang lain. Sikap ini biasanya didahului oleh sikap yang menganggap diri paling hebat dan paling berhak mendapatkan segala yang terbaik, sehingga jika melihat ada orang lain yang kebetulan lebih beruntung, ia merasa tersaingi.
9. PENERAPAN TAUHID DALAM KEGIDUPAN
Contoh penerapan tauhid dalam kehidupan sehari hari adalah dengan selalu mentaati perintah Nya dan menjauhi larangan Nya, seperti beribadah, puasa, nadzar, berdoa hanya kepada Allah, ibadah apapun yg dilakukan semata mata diniatkan hanya karna Allah, tidak berlebih-lebihan dalam mencintai sesuatu. Tawakal dan bersabar dalam menghadapi musibah.




10.  PENGARUH TAUHID TERHADAP KEHIDUPAN SEORANG MUSLIM
Tauhid adalah akar dari keimanan seorang muslim. Dengan tauhid yang kuat, maka seorang muslim akan mampu menjalankan proses penghambaannya kepada Allah tanpa merasa berat dan terpaksa, karena hanya satu tujuan mereka hidup yaitu keinginan mereka untuk bertemu dengan tuhannya Allah SWT.
Implementasi penghambaan mutlak kepada Allah SWT tersebut terwujud dalam berbagai aspek kehidupan seorang muslim, mulai hubungan antara manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan manusia lainnya, serta hubungan manusia dengan alam. Ketiga hubungan tersebut akan terwujud secara selaras dan harmonis, karena memang itulah perintah Allah. Dengan mempunyai aqidah yang kuat, maka seluruh rintangan hidup dapat dilaluinya dengan baik dan ringan.
Di era modern ini, dengan berbagai tantangan dan pengaruh global, seorang muslim harus mempunyai tauhid yang kuat. Hal itu disebabkan tantangan dan pengaruh global yang dating banyak memuat unsur-unsur negative yang anti-tauhid. Manakala seorang muslim dihadapkan pada kesenangan dunia sebagai muatan dunia kapitalis, maka manusia membutuhkan benteng untuk mempertahankan diri dari arus negative globalisasi tersebut.


















BAB III
KESIMPULAN
Tujuan hidup manusia adalah sejahtera di dunia dan bahagia diakhirat.  Dengan  kata lain,dapat  disebutkan  bahagia  di  dunia  dan bahagia  diakhirat.  Kebahagiaan  yang  diimpikan  adalah  kebahagiaan duniawi dan  ukhrawi.  Untuk  menggapai   kebahagiaan   termaksud mustahil  tanpa landasan agama.  Agama  dimaksud  adalah  agama tauḫīdullāh. Kebahagiaan dalam Islam adalah kebahagiaan autentik artinya lahir dan tumbuh dari nilai-nilai  hakiki Islam dan mewujud dalam diri seseorang hamba yang mampu menunjukkan sikap tobat (melakukan introspeksi dan koreksi  diri) untuk selalu berpegang pada nilai-nilai  kebenaran ilahiah, mensyukuri karunia Allah berupa nikmat iman, Islam, dan kehidupan,   serta menjunjung tinggi kejujuran, kebenaran, dan keadilan dalam menjalani kehidupan pribadi, sosial, dan profesional.
Dari pembahasan yang telah dijelaskan diatas, maka dapat disimpulkan betapa pentingnya tauhid bagi seorang muslim, dan tidak sempurnanya iman seseorang. Bahkan termasuk orang-orang yang ingkar apabila tidak mentauhidkan Allah SWT.
Dan pembahasan diatas juga menjelaskan akan keesaan yang hanya dimiliki oleh Allah, yang wajib diyakini dan diamalkan oleh seorang muslim. Karna tanpa meyakininya berarti orang tersbut hanya mengakui islam sebagai agamanya tanpa menjadikan islam sebagai agama yang di yakininya. Sedangkan bagi mereka meyakininya tapi tidak mengamalkannya sama saja dengan menjadi muslim tanpa bersikap sebagai seorang muslim.















Daftar pustaka
http://www.erllang.ga/teknik-informatika/makalah-bagaimana-agama-menjamin-kebahagiaan.html Artikel Desember 26, 2010 oleh (http://syialahi.wordpress.com/2010/12/26/tauhidsyiah-imamiyah-tauhid-yang-murni/)
Sebuah artikel dengan judul tauhid (http://ridwan202.wordpress.com/istilah-agama/tauhid/)
Artikel dengan judul “sebuah tulisan tentang tauhid  (http://www.inilahjalanku.com/sebuahtulisan-tentang-tauhid/)
Syaikh Muhammad At-Tamimi, dasar-dasar memahami tauhid, (www.perpustakaan-islam.com