DAFTAR ISI
Daftar Isi........................................................................................................................................... ii
Kata Pengantar...................................................................................................................
iv
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................................
1
1.1 Iman ................................................................................................................. 1
1.1.1 Deinisi Iman.............................................................................................
1
1.1.2 Tingkatan Iman 2
1.2 Islam.................................................................................................................
2
1.2.1 Definisi Islam............................................................................................
2
1.2.2 Poin-poin Islam........................................................................................
3
1.3 Ihsan.................................................................................................................
5
1.3.1 Definisi Ihsan...........................................................................................
5
1.3.2 Aspek Pokok dalam Ihsan.........................................................................
5
1.3.3 Tingkatan Ihsan........................................................................................
8
1.4 Insan Kamil.......................................................................................................
9
1.4.1 Definisi Insan Kamil.................................................................................
9
1.4.2 Ciri-ciri Insan Kamil............................................................................
11
BAB II ISI......................................................................................................................................... 14
II.
1 Menelusuri Konsep dan Urgensi
Iman Islam dan Ihsan dalalam Insan
Kamil .......................................................................................................... 14
II.1.1
Tingkatan Insan Kamil......................................................................
14
11.2
Mengapa Iman Islam dan Ihsan
menjadi Persyaratan dalam membentuk
Insan Kamil.........................................................................................................................
15
11.3 Menggali Sumber Teologis Historis dan Filosofis tentang Iman Islam
dan
Ihsan sebagai Pilar
Agama Islam dalam Membentuk Insan Kamil.........................................................................................................................
15
11.4 Membangun Argumen Tentang Karakteristik Insan Kamil dan Metode
Pencapaiannya
16
11.5 Mendeskripsikan Tentang Esensi dan Urgensi Iman Islam dan Ihsan
dalam Membentuk Insan Kamil ......................................................................................................................... 18
BAB III PENUTUP.............................................................................................................................................
19
111.1 Kesimpulan ............................................................................................... 19
111.2 Saran..........................................................................................................
19
Daftar Pustaka.............................................................................................................................................
v
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidata, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah Tugas Pendidikan Agama Islam Materi 4 yang berjudul —MENGINTEGRASIKAN IMAN ISLAM DAN IHSAN DALAM
MEMBENTUK INSAN KAMIL.”
Makalah ini telah kami susun
dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat
memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak
terimakasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah
ini.
Terlepas dari semua itu, Kami
menyadari sepenunya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat
maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima
segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapa memperbaiki makalah ilmiah
ini.
Akhir kata kami berharap
semoga makalah yang berjudul Mengintegrasikan Iman Islam dan Ihsan dalam
membentuk Insan Kamilini dapat memberikan manfaat inspirasi terhadap pembaca.
Bandung,
Oktober 2017
Penyusun
BAB I
PENDAHULAN
I.1 Iman
I.1.1
Definisi Iman
Iman (Bahasa Arab : ^ )
secara etimologis berarti ‘Percaya”.
Perkataan Iman (J'^ -)
diambil dari kata kerja ‘aamana’ (^ ) - Yukminu’ ^ 5 -) yang
berarti ‘Percaya’ atau ‘Membenarkan’.
Perkataan Iman yang berarti ‘Membenarkan’
itu disebutkan dalam Al- Qur’an, di antarany a dalam Surah At-Taubah ayat 62
yang artinya: “Mereka bersumpah kepadamu dengan
(nama) Allah untuk menyenangkan kamu, padahal Allah dan Rasul-Nya lebih pantas
mereka cari keridaan-Nya jika mereka orang mukmin. ”
Menurut istilah, pengertian iman adalah membenarkan dengan hati,
diucapkan dengan lisan, dan diamalkan dengan tindakan (perbuatan). Dengan demikian, pengertian iman kepada Allah adalah membenarkan
dengan hati bahwa Allah itu benar-benar ada dengan segala sifat keagungan dan
kesempurnaanNya, kemudian pengakuan itu diikrarkan dengan lisan, serta
dibuktikan dengan amal perbuatan secara nyata.
Jadi,
seseorang dapat dikatakan sebagai mukmin (orang yang beriman) sempurna apabila
memenuhi ketiga unsur keimanan di atas. Apabila seseorang mengakui dalam
hatinya tentang keberadaan Allah, tetapi tidak diikrarkan dengan lisan dan
dibuktikan dengan amal perbuatan, maka orang tersebut tidak dapat dikatakan
sebagai mukmin yang sempurna. Sebab, ketiga unsur keimanan tersebut merupakan
satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan.
Beriman
kepada Allah adalah kebutuhan yang sangat mendasar bagi seseorang. Allah
memerintahkan agar ummat manusia beriman kepada-Nya, sebagaimana firman Allah
yang artinya:
“Wahai
orang-orang yang beriman. Tetaplah beriman kepada Allah dan RasulNya (Muhammad)
dan kepada Kitab (Al Qur’an) yang diturunkan kepada RasulNya, serta kitab yang
diturunkan sebelumnya. Barangsiapa ingkar kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya,
Kitab-kitab-Nya, Rasul- rasulNya, dan hari kemudian, maka sungguh orang itu
telah tersesat sangat jauh.” (Q.S. An Nisa : 136)
Ayat di atas memberikan
penjelasan bahwa Bila kita ingkar kepada Allah, maka akan mengalami kesesatan
yang nyata. Orang yang sesat tidak akan merasakan kebahagiaan dalam hidup. Oleh
karena itu, beriman kepada Allah sesungguhnya adalah untuk kebaikan manusia.
I.1.2
Tingkatan Iman
Dalam
Islam dikenal beberapa tigkatan seseorang dalam keyakinan beragama, diantaranya
adalah:
1. Muslim: orang mengaku islam, kadar keimanannya termasuk yang
terendah, sebatas pengakuan Allah sebagai tuhan yang esa, belum ada bedanya
dengan iblis yang juga meyakini bahwa Allah adalah maha esa,
2. Mu'min: orang beriman, yang mengkaji syariat Islam sehingga
meningkat wawasan keislamannya,
3. Muhsin: orang yang memperbaiki segala perbuatannya agar menjadi
lebih baik,
4. Mukhlis: orang yang ikhlas dalam beribadah, hidupnya hanya untuk
mengabdikan kepada Allah,
5. Muttaqin: orang yang bertakwa, tingkatan ini adalah yang tertinggi
di antara tingkatan lainnya.
I.2
Islam
I.2.1
Definisi Islam
Islam (Arab: al-islam, -■ ) : "berserah diri kepada Tuhan")
adalah
agama yang mengimani satu Tuhan, yaitu Allah. Dengan lebih dari satu seperempat
miliar orang pengikut di seluruh dunia, menjadikan Islam sebagai agama terbesar
kedua di dunia setelah agama Kristen. Islam memiliki
arti "penyerahan", atau penyerahan diri sepenuhnya kepada
Tuhan (Arab:' - ,
Allah).
Pengikut ajaran Islam dikenal dengan sebutan Muslim yang berarti "seorang
yang tunduk kepada Tuhan"atau lebih lengkapnya adalah Muslimin bagi
laki-laki dan Muslimat bagi perempuan. Islam mengajarkan bahwa Allah menurunkan
firman-Nya kepada manusia melalui para nabi dan rasul utusan-Nya, dan meyakini
dengan sungguh-sungguh bahwa Muhammad adalah nabi dan rasul terakhir yang
diutus ke dunia oleh Allah.
Islam
adalah agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw sebagai nabi dan rasul
terakhir untuk menjadi pedoman hidup seluruh manusia hingga akhir zaman.
Pengertian
Islam secara harfiyah artinya damai, selamat, tunduk, dan bersih. Kata Islam
terbentuk dari tiga huruf, yaitu S (sin), L (lam), M (mim) yang bermakna dasar
“selamat” (Salama)
Pengertian Islam Menurut
Bahasa, Islam berasal dari kata aslama yang berakar dari kata salama. Kata Islam merupakan bentuk mashdar (infinitif) dari kata aslama ini.
I.2.2
Poin-poin Islam
Poin-poin
Islam yang didasari oleh ayat-ayat AL-Qur’an, sebagai berikut:
Mengenai
hal ini, Allah berfirman QS. 53 : 3-4 :
“Dan tiadalah
yang diucapkannya itu (Al Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang
diwahyukan (kepadanya). ”
Membenarkan
hal ini, firman Allah SWT (QS. 3 : 84)
“Katakanlah: “Kami
beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan yang
diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il,
Ishaq, Ya'qub, dan
anak-anaknya, dan apayang diberikan kepada Musa, 'Isa dan para nabi dari Tuhan
mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan hanya
kepada-Nya-lah kami menyerahkan diri. ”
Allah
berfirman (QS. 45 : 20):
“Al Qur’an ini adalah
pedoman bagi manusia, petunjuk dan rahmat bagi kaum yang meyakini. ”
Allah
berfirman (QS. 5 : 49-50)
“Dan hendaklah kamu
memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap
mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah
diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah
diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan
menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan
sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. Apakah hukum
Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada
(hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”
Allah
berfirman (QS. 6 : 153)
“Dan bahwa (yang Kami
perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah
kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu
mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah
kepadamu agar kamu bertakwa. ”
Allah
berfirman (QS. 16 : 97)
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik
laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami
berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan
kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka
kerjakan. ”
I.3 Ihsan
1.3.1
Definisi Ihsan
Ihsan (Arab: j; "kesempumaan" atau "terbaik") adalah seseorang
yang
menyembah Allah seolah-olah ia melihat-Nya, dan jika ia tidak mampu
membayangkan melihat-Nya, maka orang tersebut membayangkan bahwa sesungguhnya
Allah melihat perbuatannya.
Ihsan
adalah lawan dari isa'ah (berbuat kejelekan), yaitu seorang manusia mencurahkan
kebaikan dan menahan diri untuk tidak mengganggu orang lain. Mencurahkan
kebaikan kepada hamba-hamba Allah dengan harta, ilmu, kedudukan dan badannya.
Ihsan itu
ialah bahawa “kamu menyembah Allah seolah-olah kamu melihat-Nya,tetapi jika
kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihat kamu.”
Ihsan juga adalah melakukan
ibadah dengan khusyuk,ikhlas dan yakin bahwa Allah senantiasa mengawasi apa
yang dilakukannya. Hadist riwayat muslim”dari Umar bin Khatab ia berkata bahwa
mengabdikan diri kepada Allah hendaklah dengan perasaan seolah-olah anga
melihat-Nya,maka hendaklah anda merasa bahwa Allah melihatmu.”
1.3.2
Aspek Pokok Dalam Ihsan
Ihsan
meliputi tiga aspek yang fundamental. Ketiga hal tersebut adalah ibadah,
muamalah, dan akhlak. Ketiga hal inilah yang menjadi pokok bahasan dalam ihsan.
Kita berkewajiban ihsan dalam beribadah, yaitu dengan menunaikan
semua jenis ibadah, seperti shalat,
puasa, haji, dan sebagainya dengan cara yang benar, yaitu menyempurnakan
syarat, rukun, sunnah, dan adab-adabnya. Hal ini tidak akan mungkin
dapat ditunaikan oleh seorang hamba, kecuali jika saat pelaksanaan
ibadah-ibadah tersebut ia dipenuhi dengan cita rasa yang sangat kuat
(menikmatinya), juga dengan kesadaran penuh bahwa Allah senantiasa memantaunya
hingga ia merasa bahwa ia sedang dilihat dan diperhatikan oleh-Nya. Minimal
seorang hamba merasakan bahwa Allah senantiasa memantaunya, karena dengan
inilah ia dapat menunaikan ibadah-ibadah tersebut dengan baik dan sempurna,
sehingga hasil dari ibadah tersebut akan seperti yang diharapkan. Inilah maksud
dari perkataan Rasulullah saw yang berbunyi: “Hendaklah kamu menyembah
Allah seakan-akan
engkau melihat-Nya, dan jika engkau tak dapat
melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu. ”
Kini
jelaslah bagi kita bahwa sesungguhnya arti dari ibadah itu sendiri sangatlah
luas. Maka, selain jenis ibadah yang kita sebutkan tadi, yang tidak kalah
pentingnya adalah juga jenis ibadah lainnya seperti jihad, hormat terhadap
mukmin, mendidik anak, menyenangkan isteri, meniatkan setiap yangmubah untuk
mendapat ridha Allah, dan masih banyak lagi. Oleh karena itulah, Rasulullah
saw. menghendaki umatnya senantiasa dalam keadaan seperti itu, yaitu senantiasa
sadar jika ia ingin mewujudkan ihsan dalam ibadahnya.
Dalam bab
muamalah, ihsan dijelaskan Allah swt. pada surah An-Nisaa’ ayat 36, yang
berbunyi sebagai berikut, “Sembahlah Allah dan janganlah kamu
mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu
bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat
maupun yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu.”
Kita
sebelumnya telah membahas bahwa ihsan adalah beribadah kepada Allah dengan
sikap seakan-akan kita melihat- Nya, dan jika kita tidak dapat melihat-Nya,
maka Allah melihat kita. Kini, kita akan membahas ihsan dari muamalah dan siapa
saja yang masuk dalam bahasannya. Berikut ini adalah mereka yang berhak
mendapatkan ihsan tersebut:
a.
Ihsan kepada kedua orang tua
b.
Ihsan kepada karib kerabat
c.
Ihsan kepada anak yatim dan
fakir miskin
d.
Ihsan kepada tetangga dekat,
tetangga jauh, serta teman sejawat
e.
Ihsan kepada ibnu sabil dan
hamba sahaya
f.
Ihsan dengan perlakuan dan
ucapan yang baik kepada manusia
g.
Ihsan dalam hal muamalah
h.
Ihsan dengan berlaku baik
kepada binatang
Ihsan
dalam akhlak sesungguhnya merupakan buah dari ibadah dan muamalah. Seseorang
akan mencapai tingkat ihsan dalam akhlaknya apabila ia telah melakukan ibadah
seperti yang menjadi harapan Rasulullah dalam hadits yang telah dikemukakan di
awal tulisan ini, yaitu menyembah Allah seakan-akan melihat-Nya, dan jika kita
tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah senantiasa melihat kita. Jika
hal ini telah dicapai oleh seorang hamba, maka sesungguhnya itulah puncak ihsan
dalam ibadah. Pada akhirnya, ia akan berbuah menjadi akhlak atau perilaku,
sehingga
mereka yang sampai pada tahap ihsan dalam ibadahnya akan terlihat jelas dalam
perilaku dan karakternya.
Jika kita ingin melihat nilai
ihsan pada diri seseorang —yang diperoleh dari hasil maksimal ibadahnya- maka
kita akan menemukannya dalam muamalah kehidupannya. Bagaimana ia bermuamalah
dengan sesama manusia, lingkungannya, pekerjaannya, keluarganya, dan bahkan
terhadap dirinya sendiri. Berdasarkan ini semua, maka Rasulullah saw.
mengatakan dalam sebuah hadits, “Aku diutus hanyalah demi menyempumakan akhlak
yang mulia.”
I.3.3
Tingkatan Ihsan
Syaikh
Shalih Alu Syaikh hafidzahullah memberikan penjelasan bahwa inti yang dimaksud dengan ihsan adalah
membaguskan amal. Batasan minimal seseorang dapat dikatakan telah melakukan
ihsan di dalam beribadah kepada Allah yaitu apabila di dalam memperbagus
amalannya niatnya ikhlas yaitu semata-mata mengharap pahala-Nya dan melaksanakan
amalannya sesuai dengan sunnah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah kadar ihsan yang wajib yang haras ditunaikan oleh setiap
muslim. Adapun kadar ihsan yang mustahab (dianjurkan) di dalam beribadah kepada
Allah memiliki dua tingkatan, yaitu :
1.
Tingkatan muraqabah.
Yakni seseorang yang beramal senantiasa merasa diawasi dan
diperhatikan oleh Allah dalam setiap aktivitasnya. Ini berdasarkan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam '
kamu tidak melihat-Nya maka
sesungguhnya Dia melihatmu). Tingkatan muroqobah yaitu apabila seseorang tidak mampu memperhatikan sifat-sifat
Allah, dia yakin bahwa Allah melihatnya. Apabila seseorang mengerjakan shalat,
dia merasa Allah memperhatikan apa yang dia lakukan, lalu dia memperbagus
shalatnya
tersebut. Hal ini sebagaimana Allah firmankan dalam surat Yunus :
‘‘Kamu tidak
berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al-Quran dan kamu tidak mengerjakan
suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya” (Yunus: 61)
2.
Tingkatan musyahadah
Tingkatan ini lebih tinggi dari yang pertama, yaitu seseorang
senantiasa memperhatikan sifat-sifat Allah dan mengaitkan seluruh aktifitasnya
dengan sifat-sifat tersebut. Inilah realisasi dari sabda Nabi ( ‘Kamu menyembah Allah
seakan-akan
kamu melihat-Nya).Pada tingkatan ini seseorang beribadah kepada Allah, seakan-akan
dia melihat-Nya. Perlu ditekankan, bahwa yang dimaksudkan di sini bukanlah
melihat Zat Allah, namun melihat sifat-sifat-Nya, tidak sebagaimana keyakinan
orang-orang sufi. Yang mereka sangka dengan tingkatan musyahadah adalah melihat Zat Allah. Ini jelas merupakan kebatilan. Yang
dimaksud adalah memperhatikan sifat-sifat Allah, yakni dengan memperhatikan
pengaruh sifat-sifat Allah bagi makhluk. Apabila seorang hamba sudah memiliki
ilmu dan keyakinan yang kuat terhadap sifat-sifat Allah, dia akan mengembalikan
semua tanda kekuasaan Allah pada nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Dan inilah
tingkatan tertinggi dalam derajat ihsan. (Lihat Syarh Arba ’in An-Nawawiyah li
Syaikh Shalih Alu Syaikh 32-33).
I.4
Insan Kamil
I.4.1
Definisi Insan Kamil
Insan
kamil adalah konsep manusia paripurna. Manusia yang berhasil mencapai puncak
prestasi tertinggi dilihat dari beberapa dimensi.
Konsep
Insan Kamil menurut Al-Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad Saw disebut sebagai
teladan insan kamil atau istilah populernya di dalam Q.S. al- Ahdzab/33:21:
“Sesungguhnya telah ada
pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang
yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak
menyebut Allah
Perwujudan
insan kamil dibahas secara khusus di dalam kitab-kitab tasawuf, namun konsep
insan kamil ini juga dapat diartikulasikan dalam kehidupan kontemporer.
Allah SWT
tidak membiarkan kita untuk menginterpretasikan tata nilai tersebut semaunya,
berstandard seenaknya, tapi juga memberikan kepada kita, Rasulullah SAW yang
menjadi uswah hasanah. Rasulullah SAW merupakan insan kamil, manusia paripurna,
yang tidak ada satupun sisi-sisi kemanusiaan yang tidak disentuhnya selama
hidupnya. Ia adalah ciptaan terbaik yang kepadanya kita merujuk akan akhlaq
yang mulia. Allah SWT berfirman:
“Dan sesungguhnya engkau
(Muhammad) benar-benar memiliki akhlaq yang mulia. ” (QS. Al-Qolam:4)
“Sesungguhnya telah ada dalam diri
Rasulullaah suri teladan yang baik bagi kalian, yaitu orang-orangynengharapkan (keridhoan) Allah dan (kebahagiaan) hari
akhirat, serta banyak mengingat Allah. ” (QS. Al- Ahzab:21) “Sesungguhnya telah
datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itu
Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridaan-Nya ke jalan keselamatan,
dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap
gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki
mereka ke jalan yang lurus. ” (Al Maidah 15-16).
I.4.2
Ciri-ciri Insan Kamil
Untuk
mengetahui ciri-ciri Insan Kamil dapat ditelusuri pada berbagai pendapat yang
dikemukakan para ulama yang keilmuannya sudah diakui, termasuk di dalamnya
aliran-aliran. Ciri-ciri tersebut adalah sebagai berikut:
Fungsi
akal secara optimal dapat dijumpai pada pendapat kaum Mu’tajzilah. Menurutnya
manusia yang akalnya berfunsi secara optimal dapat mengetahui bahwa segala
perbuatan baik seperti adil, jujur, berakhlak sesuai dengan esensinya dan
merasa wajib melakukan hal semua itu walaupun tidak diperintahkan oleh wahyu.
Manusia yang berfungsi akalnya sudah merasa wajib melakukan perbuatan yang
baik. Dan manusia yang demikianlah yang dapat mendekati tingkat insan kamil.
Dengan demikian insan kamil akalnya dapat mengenali perbuatan yang baik dan
perbuatan buruk karena hal itu telah terkandung pada esensi perbuatan tersebut.
Insan
Kamil dapat juga dicirikan dengan berfungsinya intuisi yang ada dalam dirinya.
Intuisi ini dalam pandangan Ibn Sina disebut jiwa manusia (rasional soul). Menurutnya jika yang berpengaruh dalam diri manusia adalah jiwa
manusianya, maka orang itu hampir menyerupai malaikat dan mendekati
kesempurnaan.
Sebagai
bentuk pengamalan dari berbagai potensi yang terdapat pada dirinya sebagai
insan, manusia yang sempurna adalah manusia yang mampu mendayagunakan seluruh
potensi rohaniahnya secara optimal. Menurut Ibn Khaldun manusia adalah makhluk
berfikir. Sifat-sifat semacam ini tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Lewat
kemampuan berfikirnya itu, manusia tidak hanya membuat kehidupannya, tetapi
juga menaruh perhatian terhadap berbagai cara guna memperoleh makna hidup.
Proses-proses semacam ini melahirkan peradaban.
Tetapi
dalam kacamata Ibn Khaldun, kelengkapan serta kesempurnaan manusia tidaklah
lahir dengan begitu saja, melainkan melalui suatu proses tertentu. Proses
tersebut sekarang ini dikenal dengan revolusi.
Manusai
merupakan makhluk yang mempunyai naluri ketuhanan (fitrah). Ia cenderung kepada
hal-hal yang berasal dari Tuhan, dan mengimaninya. Sifat-sifat tersebut membuat
ia menjadi wakil Tuhan di muka bumi. Manusia seabagai khalifah yang demikian
itu merupakan gambaran ideal. Yaitu manusia yang berusaha menentukan nasibnya
sendiri, baik sebagai kelompok masyarakat maupun sebagai individu. Yaitu
manusia yang memiliki tanggung jawab yang besar, karena memiliki daya kehendak
yang bebas.
Insan
kamil juga adalah manusia yang berakhlak mulia. Hal ini sejalan dengan pendapat
Ali Syari’ati yang mengatakan bahwa manusia yang sempurna memiliki tiga aspek,
yakni aspek kebenaran, kebajikan dan keindahan. Dengan kata lain ia memiliki
pengetahuan, etika dan seni. Semua ini dapat dicapai dengan kesadaran,
kemerdekaan dan kreativitas. Manusia yang ideal (sempurna) adalah manusia yang
memiliki otak yang briliyan sekaligus memiliki kelembutan hati. Insan Kamil
dengan kemampuan otaknya mampu menciptakan peradaban yang tinggi dengan kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi, juga memiliki
kedalaman
perasaan terhadap segala sesuatu yang menyebabkan penderitaan, kemiskinan,
kebodohan, dan kelemahan.
Menurut
Nashr, bahwa manusia modern sekarang ini tidak jauh meleset dari siratan Darwin.
Bahwa hakikat manusia terletak pada aspek kedalamannya, yang bersifat permanen,
immortal yang kini tengah bereksistensi sebagai bagian dari perjalanan hidupnya
yang teramat panjang. Tetapi disayangkan, kebanyakan dari merekan lupa akan
immortalitas yang hakiki tadi. Manusia modern mengabaikan kebutuhannya yang
paling mendasar, yang bersifat ruhiyah, sehingga mereka tidak akan mendapatkan
ketentraman batin, yang berarti tidak hanya ke seimbangan diri, terlebih lagi
bila tekanannya pada kebutuhan materi kian meningkat, maka keseimbangan akan
semakin rusak.
Kutipan
tersebut mengisyaratkan tentang perlunya sikap seimbang dalam kehidupan, yaitu
seimbang antara pemenuhan kebutuhan material dengan spiritual atau ruhiyah. Ini
berarti perlunya ditanamkan jiwa sufistik yang dibarengi dengan pengamalan
syari’at Islam, terutama ibadah, zikir, tafakkur, muhasabbag dan seterusnya.
BAB II
ISI
II.
1 Menelusuri Konsep dan Urgensi Iman Islam dan Ihsan dalam Membentuk Insan
Kamil
Menurut Ibn Araby, ada dua
tingkatan menusia dalam mengimani Tuhan.
1.
Tingkat insan kamil. Mereka
mengimani Tuhan dengan cara penyaksian. Artinya, mereka — menyaksikan” Tuhan;
mereka menyembah Tuhan yang disaksikannya.
2.
Manusia beragama pada umumnya.
Mereka mengimami Tuhan dengan cara mendefinisikan. Artinya, mereka tidak
menyaksikan Tuhan. Tetapi mereka mendefinisikan Tuhan. Mereka mendefinisikan
Tuhan berdasarkan sifat - sifat dan nama - nama Tuhan. ( Asma’ul Husna )
II.1.1
Tingkatan Insan Kamil
Abdulkarim Al - Jilli membagi
insan kamil atas tiga tingkatan.
1.
Tingkat Pemula ( al - bidayah
). Pada tingkat ini insan kamil mulai dapat merealisasikan asma dan sifat -
sifat ilahi pada dirinya.
2.
Tingkat menengah ( at -
tawasuth ). Pada tingkat ini insan kamil sebagai orbit kehalusan sifat
kemanusiaan yang terkait dengan realitas kasih Tuhan ( al - haqaiq ar -
ramaniyyah ). Pengetahuan yang dimiliki oleh insan kamil pada tingkat ini telah
meningkat dari pengetahuan biasa, karena sebagian dari hal - hal yang gaib
telah dibukakan Tuhan kepadanya.
3.
Tingkat terakhir ( al - khitam
). Pada tinhgkat ini insan kamil telah dapat merealisasikan citra Tuhan secara
utuh. Iapun telah dapat mengetahui rincian dari rahasia penciptaan takdir
11.2
Mengapa Iman Islam dan Ihsan
Menjadi Persyaratan dalam Membentuk Insan Kamil
Apakah anda percaya akan
adanya Allah ? Mereka semua memberikan jawaban yang sama kami percaya akan
adanya Allah, kami percaya akan adanya malaikat - malaikatnya dan seterusnya.
Kemudian jika ditanya lebih lanjut adakah manusia yang tidak percaya akan
adannya malaikat, dan adakah manusia yang tidak percaya adanya tuhan, dan
serterusnya. Hampir semua mahasiswa menjawab tidak ada seorang manusiapun yang
tidak percaya akan adanya Tuhan, tidak ada seorang manusiapun yang tidak
percaya akan adanya malaikat, dan seterusnya. Semua manusia percaya adanya
Tuhan, dan seterusnya.
11.3
Menggali Sumber Teologis,
Historis dan Filosofis Tentang Iman Islam dan Ihsan Sebagai Pilar Agama Islam
dalam Membentuk Insan Kamil
1. Menggali Sumber Teologis, Historis, dan Filosofis Tentang Iman,
Islam, dan Ihsan sebagai Pilar Agama Islam
Berdasarkan
hadis yang diriwayatkan Umar Bin Khatab r.a diatas kaum muslimin menetapkan
adanya tiga unsur penting dalam agama islam yakni, iman, islam, dam ihsan
sebagai kesatuan yang utuh.
Akidah
merupakan cabang ilmu agama untuk memahami pilar islam dan akhlak merupakan
cabang ilmu agama untuk memahami pilar ihsan.
2. Menggali Sumber Teologis, Historis, dan Filosofis Konsep Insan Kamil
Istilah
Insan Kamil (manusia sempurna) pertama kali diperkenalkan oleh syekh Ibn Araby
( abad ke - 14 ). Ia menyebutkan ada dua jenis manusia, yakni insan kamil dan
monster setengah manusia. Jadi, kata Ibn Araby, jika tidak menjadi insan kamil,
maka manusia menjadi monster setengah manusia. Insan kamil adalah manusia yang
telah menanggalkan kemonsteranya. Konsekuensinya, diluar kedua jenis manusia
ini da manusia yang sedang berproses menanggalkan kemonsterannya dalam
membentuk insan kamil.
a.
Konsep Manusia dalam Al-Quran.
Secara
umum, pembicaraan tentang konsep manusia selalu berkisar dalam dua dimensi,
yakni dimensi jasmani dan rohani, atau dimensi lahir dan batin.
b.
Unsur -unsur Manusia Pembentuk
Insan Kamil
Secara
ringkas, Al - Ghazali ( dalam othman, 1987: 31-33) menyebut beberapa instrumen
untuk mencari pengetahuan yang benar serta kapasitas untuk mencapainya.
Pertama, panca indra. Panca indra memiliki keterbatasan dan tidak bisa mencapai
pengetahuan yanng benar, setelah dinilai oleh akal. Kedua, akal. Dengan metode
ini, dengan cara yang sama, seharusnya orangpun menuilai tingkat kebenaran
akal. Orang seharusnya menggunakan cara yang sama dengan cara yang digunakan
oleh akal ketika menulai kekeliruan panca indra.
3. Nur ilahi. Ketika Al- Ghazali sembuh dari sakitnya ia menuturkan,
kesembuhannya dari sakit karena adanya nur ilahi yang menembus dirinya.
Kemudian Al- Ghazali mengungkapkan pandangannya tentang nur ilahi sebagai
berikut. Kapan saja Allah menghendaki untuk memimpin seseorang, maka jadilah
demikian. Dialah yang melapangkan dada orang itu untuk berislam. ( QS: Al- An
am/ 6:125. )
II.4
Membangun Argumen tentang
Karakteristik Insan Kamil dan Metode Pencapaiannya
1.
Karakteristik insan kamil
Insan
kamil bukanlah manusia pada umumnya. Menurut ibnu araby meyebutkan adanya dua jenis
manusia yaitu insan kamil dan monster bertubuh manusia. Maksudnya jika tidak
menjadi insan kamil, maka manusia akan menjadi monster bertubuh manusia. Untuk
itu kita perlu mengenali tempat unsur untuk mencapai derajat insan kamil,
diantaranya :
-
Jasad
-
Hati nurani
-
Roh
-
Sirr (rasa)
Untuk
mencapai derajat insan kamil kita haras dapat menundukkan nafsu dan syahwat
hingga mencapai tangga nafsu muthama’inah. Hal ini dapat dilihat pada QS Al
Fajr/89;27-30.
Yang
artinya: “hai jiwa yang tenang kembalilah kepada tuhanmu dengan hati yang puas
lagi diridhoinya. Maka masuklah kedalam jamaah hamba-hambaku, masuklah kedalam
surgaku.”
Ayat di
atas dengan jelas menegaskan bahwa nafsu muthma’inah merupakan titik berangkat
untuk kembali kepada tuhan. Akan tetapi, dengan modal nafsu muthama’inah pun
masih di perintah lagi oleh allah untuk menaiki tangga nafsu diatasnya. Menurut
imam ghazali ada 7 macam nafsu sebagai proses taraqqi (menaik) yaitu :
1.
Nafsu ammarah
2.
Nafsu lawwamah
3.
Nafsu mulhimah
4.
Nafsu muthma’inah
5.
Nafsu radhiyah
6.
Nafsu mardiyyah
7.
Nafsu kamilah
2. Metode Mencapai Insan Kamil cara konkret :
1.
Memulai sholat jika tuhan yang
akan disembah itu sudah dapat dihadirkan dalam hati, sehingga ia menyembah
tuhan yang benar- benar tuhan.
2.
Berniat sholat karna allah.
3.
Selalu menjalankan sholat dan
keadaan hatinya hanya mengingat allah.
4.
Shollat yang telah didirikannya
itu dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar
II.5
Mendeskripsikan tentang Esensi
dan Urgensi Iman Islam dan Ihsan dalam membentuk Insan Kamil
Insan
kamil merupakan tipe manusia ideal yang dikehendaki oleh tuhan. Hal ini
disebabkan, jika tidak menjadi insan kamil maka manusia itu hanyalah monster
bertubuh manusia.
Siapa dan
bagaimana insan kamil itu ?
Dalam
perspektif islam manusia memiliki 4 unsur yaitu : jasad, hati, roh dan rasa.
Yang berfungsi untuk menjalankan kehendak ilahi. Untuk mengkokohkan keimanan
akan menjadi manusia yang insan kamil maka kaimanan kita haras mencapai tingkat
yakin. Maka kita haras mengidentifikasi yang mengacu pada rukun iman. Sedangkan
untuk dapat beribadah secara bersungguh-sungguh dan ikhlas, maka segala ibadah
yang kita lakukan mengacu pada rukun islam.
Kaum sufi
memberikan tips untuk dapat menaiki tangga demi tangga, maka seseorang yang
berkehendak mencapai martabat insan kamil diharuskan melakukan riyadhah
(berlatih terus-menerus) untuk menapaki maqam demi maqam yang biasa ditempuh oleh
bangsa sufi dalam perjalanannya menuju tuhan. Maqam-maqam yang dimaksud
merupakan karakter-karakter inti yang memiliki 6 unsur :
1.
Taubat.
2.
Wara’.
3.
Zuhud.
4.
Faqir.
5.
Sabar
6.
Tawakkal.
BAB III
PENUTUP
III.
1 Kesimpulan
Untuk
menapaki jalan insan kamil terlebih dahulu kita perlu mengingat kembali tentang
4 unsur manusia yaitu jasad atau raga, hati, roh dan rasa. Keempat unsur
manusia ini haras di fungsikan untuk menjalankan kehendak allah. Hati nurani
haras dijadikan rajanya dengan cara selalu mengingat tuhan.
Jika sudah secara benar
menjalankan 4 unsur tersebut, lalu mengkokohkan keimanan, meningkatkan
peribadatan, dan membaguskan perbuatan, sekaligus menghilangkan
karakter-karakter yang buruk.
III.2
Saran
Menyadari
bahwa kami masih jauh dari kata sempurna, kedepannya kami akan lebih focus dan
detail dalam menjelaskan dalam makalah di atas dengan sumber-sumber yang lebih
banyak yang tentunya dapat di pertanggung jawabkan.
Untuk
saran berisi kritik atau saran kepada kami dapat bisa untuk menanggapi terhadap
kesimpulan dari bahasan makalah yang telah di jelaskan. Untuk bagian akhir dari
makalah adalah daftar pustaka. Pada kesempatan lain akan saya jelaskan tentang
daftar pustaka makalah.
DAFTAR PUSTAKA
AL-QUR’AN
yang ada Terjemahnya. https://id.wikipedia.org/wiki/Iman
https://muslim.or.id/4101
-meraih-derajat-ihsan.html
ihsan.html
Wasalammalaikum Wr.Wb.
0 Comments