KATA PENGANTAR
Puji
syukur saya panjatkan ke
Hadirat Allah SWT atas petunjuk, Rahmat,
dan Hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan Makalah Integrasi Iman, Islam,
dan Ihsan dalam Pembentukan Insan Kamil tanpa ada halangan apapun sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
Makalah
tentang Integrasi Iman, Islam, dan Ihsan dalam Pembentukan Insan Kamil yang telah penulis tulis ini di buat
dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Agama sebagai tugas dalam pembelajaran di
semester 3.
Penulis
sadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna,oleh karena itu kritik dan
saran yang membangun sangat penulis harapkan, demi kesempurnaan laporan ini.
Akhir
kata, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila dalam penyusunan laporan
ini terdapat banyak kesalahan.Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi penulis
dan juga masyarakat pada umumnya.
Garut, 5
Desember 2018
Penyusun
DAFTAR ISI
C. Menggali
Sumber Historis, Filosofi, Psikologi, Sosiologi, dan Pedagogis tentang
Paradigma Qur’ani
E.Membangun Argumen tentang Paradigma Qurani
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Quran merupakan sumber utama ajaran
Islam. Ia adalah satu satunya kitab suci yang masih asli. Isi ajarannya lengkap
dan sempurna. Inti ajaran Al-Quran adalah pedoman hidup bagi manusia dalam
upaya meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Al-Quran mengarahkan para
pembacanya untuk berjalan di atas shirāthal mustaqīm (Jalan Lurus Allah Swt.)
dan mengakhiri tugas kehidupan secara ḫusnul khātimah. Oleh karena itu, manusia
dituntut untuk menjadikan Al-Quran tempat berkonsultasi, lalu menjadikannya
sebagai suluh kehidupan. Philip K. Hitti (wafat 1978), seorang guru besar
sastra Semit di Columbia dan Princenton, telah menulis sebuah buku monumental
berjudul History of The Arabs. Mengenai Al-Quran, ia menulis di buku tersebut
sebagai berikut. “Kata Al-Quran itu sendiri bermakna „bacaan , „kuliah , atau
„wacana . ‟ ‟ ‟ Sejak awal kehadirannya, kitab ini dimaksudkan untuk dibaca dan
diperdengarkan dalam bahasa aslinya, dengan khidmat dan hormat, baik dari
pembaca maupun pendengarnya.
Kekuatan dan daya tarik Al-Quran di
antaranya dimunculkan oleh irama dan retorikanya, juga oleh sajak dan maknanya,
yang tidak bisa dialihkan ke dalam terjemahan semua bahasa pun. Panjang
Al-Quran adalah empat per lima panjang Perjanjian Baru yang berbahasa Arab.
Dalam kedudukannya sebagai kitab suci umat Islam, Al-Quran memainkan peran
penting lainnya, di antaranya sebagai pilar Islam dan otoritas tertinggi dalam
persoalan-persoalan spiritual dan etika. Di bidang teologi, hukum, dan ilmu
pengetahuan, menurut umat Islam, Al-Quran merupakan sumber ajaran yang
mempunyai aspek-aspek yang berbeda-beda. Dalam hal ini Al-Quran menjadi buku
ilmiah, buku bacaan untuk memperoleh pendidikan yang liberal. Di sekolah
seperti Al-Azhar, universitas terbesar di dunia, kitab ini masih menjadi
landasan bagi seluruh kurikulum.
Dari sisi bahasa dan sastra, pengaruh
Al-Quran terbukti pada kenyataan bahwa berbagai dialek orang-orang yang
berbahasa Arab tidak terpecah ke dalam bahasabahasa yang berbeda, seperti yang
terjadi pada bahasa-bahasa pecahan dari bahasa Romawi. Meskipun kini orang Irak
mungkin mendapati sedikit kesulitan untuk memahami secara sempurna percakapan orang
Maroko, namun ia bisa dengan mudah memahami tulisan mereka, karena baik di Irak
maupun di Maroko, juga di Suriah, Arab, dan Mesir, semuanya mengikuti model dan
gaya bahasa Al-Quran. Pada masa Nabi Muhammad, tidak ada karya prosa Arab yang
kualitasnya sangat baik. Karenanya, Al-Quran menjadi karya terbaik yang
pertama, dan sejak saat itu Al-Quran terus menjadi model penciptaan berbagai
karya prosa. Bahasa Al-Quran bersajak dan retoris, tetapi tidak puitis. Prosa
sajaknya menjadi standar yang berusaha ditiru oleh hamper setiap penulis Arab
konservatif hingga dewasa ini”
B. Tujuan
Agar
pelajar khususnya mahasiswa dapat mengerti pentingnya membangun paradigma qur’ani.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Menelusuri Konsep dan Karakteristik
Paradigma Qurani untukMenghadapi Kehidupan Modern
Apa yang dimaksud paradigma? Apa pula
yang dimaksud paradigma Qurani? Mengapa Al-Quran dijadikan paradigma untuk
menghadapi berbagai persoalan?
Secara etimologis kata paradigma dari
bahasa Yunani yang asal katanya adalah para dan digma. Para mengandung arti
„disamping , „di sebelah , dan „keadaan lingkungan . ‟ ‟ ‟ Digma berarti „sudut
pandang , „teladan , „arketif; dan „ideal . Dapat dikatakan bahwa ‟ ‟ ‟
paradigma adalah cara pandang, cara berpikir, cara berpikir tentang suatu
realitas. Adapun secara terminologis paradigma adalah cara berpikir berdasarkan
pandangan yang menyeluruh dan konseptual terhadap suatu realitas atau suatu
permasalahan dengan menggunakan teoriteori ilmiah yang sudah baku, eksperimen,
dan metode keilmuan yang bisa dipercaya. Dengan demikian, paradigm Qurani
adalah cara pandang dan cara berpikir tentang suatu realitas atau suatu
permasalahan berdasarkan Al-Quran.
Berikutnya, Mengapa Al-Quran dijadikan
paradigma? Semua orang menyatakan bahwa ada suatu keyakinan dalam hati
orangorang beriman, Al-Quran mengandung gagasan yang sempurna mengenai
kehidupan; Al-Quran mengandung suatu gagasan murni yang bersifat metahistoris.
Menurut Kuntowijoyo (2008), Al-Quran sesungguhnya menyediakan kemungkinan yang
sangat besar untuk dijadikan cara berpikir. Pengembangan eksperimeneksperimen
ilmu pengetahuan berdasarkan paradigma Al-Quran jelas akan memperkaya khazanah
ilmu pengetahuan umat manusia. Kegiatan itu mungkin bahkan tentu saja akan
menjadi rambahan baru bagi munculnya ilmu-ilmu pengetahuan alternatif.
Premis-premis normative Al-Quran dapat
dirumuskan menjadi teori-teori yang empiris dan rasional. Struktur
transendental Al-Quran adalah sebuah ide normative filosofis yang dapat
dirumuskan menjadi paradigma teoretis. Paradigma Qurani akan memberikan
kerangka bagi pertumbuhan ilmu pengetahuan empiris dan ilmu pengetahuan
rasional yang orisinal, dalam arti sesuai dengan kebutuhan pragmatis masyarakat
Islam yaitu untuk mengaktualisasikan misinya sebagai khalifah di muka bumi.
B.
Menanyakan Alasan, “Mengapa
Paradigma Qurani sangat Penting bagi Kehidupan Modern?”
Al-Quran bagi umat Islam adalah sumber
primer dalam segala segi kehidupan. AlQuran adalah sumber ajaran teologi,
hukum, mistisisme, pemikiran, pembaharuan, pendidikan, akhlak dan aspek aspek
lainnya. Tolok ukur benar / salah, baik / buruk, dan indah / jelek adalah
Al-Quran. Jika mencari sumber lain dalam menentukan benar / salah, baik /
buruk, dan indah / jelek, maka seseorang diangap tidak konsisten dalam
berislam, suatu sikap hipokrit yang dalam pandangan Al-Quran termasuk sikap
tidak terpuji.
Untuk apa Al-Quran diturunkan? Apa
tujuan Al-Quran diturunkan? Yusuf alQardhawi menjelaskan bahwa tujuan
diturunkan Al-Quran paling tidak ada tujuh macam, yaitu: 1) meluruskan akidah
manusia, 2) meneguhkan kemuliaan manusia dan hak-hak asasi manusia, 3)
mengarahkan manusia untuk beribadah secara baik dan benar kepada Allah, 4)
mengajak manusia untuk menyucikan rohani, 5) membangun rumah tangga yang
sakinah dan menempatkan posisi terhormat bagi perempuan, 6) membangun umat
menjadi saksi atas kemanusiaan, dan ke 7) mengajak manusia agar saling
menolong. Sebagian dari tujuan di atas dijelaskan dalam uraian sebagai berikut.
1.
Meluruskan Akidah Manusia
Secara rinci menjaga akidah itu mencakup aspek-aspek
sebagai berikut.
a.
Menegakkan Pokok-Pokok Tauhid
Menegakkan tiang-tiang
tauhid sebagai landasan beragama sangat penting eksistensinya sebab bersikap
sebaliknya yaitu syirik merupakan sikap yang sangat tercela, bahkan hukum Islam
memandang syirik sebagai suatu tindak pidana (jarīmah) yang sangat terlarang.
Mengapa syirik termasuk dosa besar? Sebab dalam syirik ada kezaliman terhadap
kebenaran, dan penyimpangan terhadap kebenaran hakiki, serta ada pelecehan
terhadap martabat kemanusiaan yang mengagungkan dunia atau tunduk kepada sesama
makhluk. Itulah sebabnya Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak akan
mengampuni sikap syirik dan Allah akan mengampuni dosa selain itu bagi siapa
saja yang Allah kehendaki.” (QS AnNisa`/4: 48). “Sesungguhnya sikap syirik
adalah kezaliman yang sangat besar.” (QS Luqman/31: 13).
“Jauhilah
perbuatan keji yaitu menyembah berhala, dan jauhi pula berkata palsu, dengan
penuh penyerahan kepada Allah dan tidak bersikap syirik kepada-Nya. Barang
siapa melakukan syirik kepada Allah, maka seakan-akan ia terjun dari langit
lalu disambar burung, atau diombang-ambing angin ke tempat yang tidak menentu.”
(QS Al-Hajj/22: 30- 31).
Al-Quran
mengajak manusia beribadah hanya kepada Allah sementara syirik cenderung kepada
kebatilan dan khurafat. Al-Quran menginformasikan kepada kita bahwa Nabi
Muhammad bahkan semua para nabi mengajak kaumnya untuk beribadah hanya kepada
Allah. Allah berfirman, “Beribadahlah kepada Allah, tidak ada bagi kamu satu
Tuhan pun selain Allah.” (QS Al-A araf/7: 59, 65, 73, 85) (QS Hud/11:50, 61,
84). ‟
b. Mensahihkan Akidah tentang Kenabian
dan Kerasulan, Meluruskan akidah atau dapat dikatakan membenarkan akidah itu
mencakup aspek-aspek sebagai berikut.
1) Menjelaskan keperluan manusia
terhadap kenabian dan kerasulan. Allah berfirman, Tidaklah Kami turunkan
al-kitab kepadamu kecuali agar kamu menjelaskan kepada mereka apa yang mereka
ikhtilafkan. (QS An-Nahl/16: 64).
Keadaan manusia adalah umat yang satu
lalu. Allah mengutus para nabi sebagai pembawa kabar gembira dan pembawa
peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Al-Kitab dengan hak agar ia
menghukumi apa-apa yang mereka ikhtilafkan. (QS Al-Baqarah/2: 213).
2) Menjelaskan tugas-tugas para rasul
khususnya dalam hal kabar gembira dan pemberi peringatan.
Para rasul sebagai pembawa kabar gembira
dan pemberi peringatan. (QS An-Nisa`/4: 165). Para rasul bukanlah Tuhan, bukan
pula anak-anak Tuhan, mereka hanyalah manusia biasa yang dipilih Tuhan untuk
menerima wahyu.
Katakanlah Muhammad, sesungguhnya aku
(Muhammad) adalah manusia biasa seperti kamu hanya aku diberi wahyu,
sesungguhnya Tuhan kamu adalah Tuhan yang satu. (QS AlKahfi/18: 110).
3) Menghilangkan keraguan dari
persepsi masyarakat silam tentang penampilan para rasul.
Tidaklah kamu itu melainkan manusia biasa
seperti kami. (QS Ibrahim/14: 10). Seandainya Allah berkehendak, tentu Allah
menurunkan malaikat (sebagai utusan). (QS Al Mu minun/23: 24).
‟ Al-Quran menolak persepsi mereka
tentang para rasul dengan firman-Nya sebagai berikut. Berkatalah kepada mereka
rasul-rasul mereka; Tidaklah kami semua kecuali manusia biasa tetapi Allah
memberikan anugerah kepada siapa saja yang Allah kehendaki dari hambahamba-Nya.
(QS Ibrahim/14: 11).
Katakanlah kalau di muka bumi ini ada malaikat-malaikat
yang berjalan dengan tenang (seperti manusia), tentu Kami akan menurunkan dari
langit untuk mereka malaikat sebagai rasul. (QS Al-Isra`/17: 95).
4) Menjelaskan akibat bagi orang-orang
yang membenarkan para rasul dan akibat bagi orangorang yang mendustakan para
rasul.
Di dalam Al-Quran ada kisah yang panjang
yang merupakan bagian dari kisah-kisah para rasul bersama umat mereka yang
ujungnya kecelakaan bagi orang-orang yang mendustakan para rasul dan
keselamatan bagi orang-orang yang beriman kepada para rasul.
Dan (telah Kami binasakan) Kaum Nabi Nuh
tatkala mereka mendustakan para rasul, maka Kami tenggelamkan mereka dan Kami
jadikan mereka sebagai ayat bagi manusia yang lain. Dan Kami sediakan bagi
orang-orang yang berlaku zalim siksa yang menyakitkan. (QS AlFurqan/25: 37).
Kemudian Kami selamatkan rasul-rasul Kami
dan orang-orang yang beriman. Demikianlah adalah hak bagi Kami menyelamatkan
orang-orang beriman. (QS Yunus/10:103). Meneguhkan Keimanan terhadap Akhirat
dan Keyakinan Akan Adanya Balasan yang Akan Diterima di Akhirat Informasi yang
diangkat dalam Al-Quran baik dalam ayat madaniyyah maupun makkiyyah bahwa iman
terhadap akhirat dan segala sesuatu yang ada di akhirat berupa hisab, surga,
dan neraka adalah bagian dari tujuan diturunkannya Al-Quran. Al-Quran telah
menetapkan beberapa gaya dalam upaya meneguhkan akidah ini dan mensahihkan
akidah ini.
1) Menegakkan argumen-argumen akan
terjadinya “pembangkitan” dengan menjelaskan kekuasaan Allah mengembalikan
makhluk sebagaimana semula. Dialah yang memulai penciptaan kemudian Ia
mengembalikannya sebagaimana semula dan Ia mudah untuk melakukannya. (QS
Ar-Rum/30: 27).
2) Mengingatkan manusia akan penciptaan
benda-benda yang amat besar sangatlah mudah bagi Allah, apalagi menghidupkan kembali
manusia yang sudah mati, tentunya sesuatu yang amat mudah bagi Allah. Tidakkah
mereka berpikir sesungguhnya Allah, Dialah yang menciptakan langit dan bumi,
dan tidaklah sulit bagi-Nya menghidupkan yang sudah mati, ingatlah sesungguhnya
Allah berkuasa atas segala sesuatu. (QS Al-Ahqaf/46: 33).
3) Menjelaskan hikmah adanya pembalasan
di akhirat sehingga jelas ketidaksamaan orang yang berbuat baik dan yang
berbuat buruk, termasuk balasan bagi orang baik dan orang jahat. Dengan
demikian, tampaklah bahwa kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan
kesiasiaan. Apakah kamu menyangka bahwa Kami menciptakan kamu hanya main-main,
dan kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami. (QS Al-Mu minun/23: 115) ‟ Apakah
manusia menduga akan ditinggalkan begitu saja secara sia-sia. (QS
Al-Qiyamah/75: 36).
Dan tidaklah Kami ciptakan langit, bumi,
dan segala isinya sia-sia: itu adalah sangkaan orang-orang kafir: neraka wael
adalah keberakhiran orang-orang kafir. (QS Shad/38: 27). Tidak mungkinlah Kami
menjadikan orang-orang beriman dan beramal saleh seperti orangorang yang
berbuat kerusakan atau Kami menjadikan orang-orang bertakwaseperti orangorang
yang berbuat kerusakan. (QS Shad/38: 28).
4) Menjelaskan balasan yang ditunggu oleh
orang-orang mukmin yang baik yaitu pahala dan keridaan, dan balasan yang
disediakan bagi orang-orang kafir yaitu siksa dan kerugian. Itulah sebabnya
Al-Quran sering menceritakan kiamat dan segala kedahsyatannya. Al-Quran juga
menginformasikan catatan amal yang memuat segala kegiatan manusia baik yang
bernilai maupun yang tidak bernilai (jelek), timbangan, hisab, surga dengan
segala kenikmatannya, neraka dengan segala penderitaannya dan kesinambungan
kehidupan manusia secara jasmani dan rohani di akhirat.
5) Menggugurkan mitologi yang dimunculkan musyrikīn bahwa Tuhan-Tuhan
mereka dapat memberi syafaat pada hari Kiamat kelak, begitu juga dugaan ahli
kitab bahwa orang-orang suci mereka dapat memberi syafaat. Inilah yang
dibatalkan oleh Islam bahwa sesungguhnya tidak ada syafaat tanpa izin Allah, tidak
ada syafaat kecuali bagi orang beriman, dan manusia tidak akan mendapatkan
kecuali amalnya sendiri, dan tidak akan pernah menanggung dosa orang lain.
Orang berdosa tidak akan menanggung dosa orang lain; Dan tidak ada bagi manusia
kecuali apa yang telah ia kerjakan. (QS An-Najm/53: 38-39).
Tidak bermanfaat bagi mereka (kuffār)
syafaat orangorang yang memberi syafaat. (QS AlMuddatstsir/74: 48).
Siapakah yang dapat memberi syafaat di
sisi-Nya kecuali atas izin-Nya. (QS Al-Baqarah/2: 255).
Mereka tidak akan memberi syafaat
kecuali kepada orang yang Allah ridai.” (QS AlAnbiya`/21: 28). “Mereka akan
mendapatkan apa-apa yang telah mereka kerjakan dan Tuhanmu tidak akan berbuat
zalim kepada siapa pun. (QS Al-Kahfi/18: 41).
2.
Meneguhkan Kemuliaan Manusia dan
Hak-Hak Manusia
a.
Meneguhkan Kemuliaan Manusia
Al-Quran
menguatkan bahwa manusia adalah makhluk mulia. Allah menciptakan Adam dengan
kedua tangan-Nya sendiri. Ia meniupkan roh-Nya kepada Adam, dan Allah
menjadikan Adam sebagai khalifah dan keturunan Adam berperan sebagai pengganti
Adam dalam kekhilafahan. Allah berfirman, “Dan Kami telah memuliakan keturunan
Adam dan Kami bawa mereka (untuk menguasai) daratan dan lautan, dan Kami
rezekikan kepada mereka yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka atas kebanyakan
sebagian yang telah Kami ciptakan.” (QS Al-Isra`/17: 30). “Tidakkah kamu
berpikir sesungguhnya Allah telah menaklukkan untuk kamu segala apa yang ada di
langit dan di bumi dan Allah menyempurnakan untuk kamu nikmat lahir dan batin.”
(QS Luqman/31: 20).
“Dan
Allah telah menaklukan buat kamu segala apa yang ada di langit dan di bumi,
semuanya dari Allah.” (QS Al-Jatsiah/45: 12). Ayat-ayat lain dapat Anda baca
misalnya: QS Al-Baqarah/2: 30, QS Al-A raf/: 31, QS ‟ Fussilat/41: 38, QS
Al-Ahzab/33: 67, QS-Taubah/9: 31, QS Ali Imran/3: 64, QS Ali-Imran/3: 79.
b.
Menetapkan Hak-Hak Manusia
Dalam
upaya menguatkan kemuliaan manusia, pada empat belas abad silam, Al-Quran telah
menetapkan hak-hak asasi manusia sebagaimana yang menjadi “nyanyian” kelompok
yang menamakan diri pejuang hak asasi manusia sekarang ini. Allah menciptakan
manusia bebas berekspresi untuk berpikir dan berpendapat. Allah berfirman,
“Katakanlah, „Perhatikanlah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. ”
‟ (QS Yunus/10: 101).
“Katakanlah
sesungguhnya kami hanyalah member nasihat dengan satu perkara; hendaklah kamu
beramal karena Allah, berduaan atau sendiri-sendiri, lalu berpikirlah.” (QS
Saba/34: 46).
Hak-hak
lainnya adalah hak hidup: QS Al-An am/6: 151, QS Al-Isra`/17: 33, QS Al- ‟
Ma`idah/5: 31. Hak untuk bekerja dan menjelajahi dunia: QS Al-Mulk/67: 15, QS
AlJumu ah/62: 9-10, QS Al-Baqarah/2: 198. Hak untuk menikmati hasil usaha
sendiri dengan ‟ halal: QS An-Nisa`/4: 32, QS An-Nisa`/4: 29. Hak memiliki
tempat tinggal yang layak: QS An-Nur/24: 27-28. Hak untuk terjaga darahnya,
hartanya, dan hak miliknya: QS An-Nisa`/4: 29. Hak untuk terjaga harga dirinya
dan kemuliaannya: QS Al-Hujurat/49: 11. Hak mempertahankan diri: QS
Al-Baqarah/2: 194. Hak mendapatkan keadilan: QS An-Nisa`/4: 58, QS
Al-Ma`idah/4: 8, QS An-Nisa`/: 105-107. Hak terpenuhi keperluan hidup jika ia
memang lemah atau fakir: QS Al-Ma arij/70: 24, 25, QS At-Taubah/9: 102. Hak
untuk setuju ‟ atau menolak kepada ulil amri (pemerintah): QS An-Nisa`/4: 59.
Hak menolak kemungkaran: QS Hud/11: 112, QS Al-Ma`idah/5 78-79, QS Al-Mumtahanah/60:
12, QS Al-Anfal/8: 25, QS Asy-Syu ara`/26/26: 151-152, dan seterusnya. ‟
c.
Meneguhkan Hak-Hak Duafa
(Orang-Orang Lemah secara Ekonomi).
Al-Quran
menetapkan hak-hak manusia secara umum dan Al-Quran secara khusus mengangkat
hak-hak orang lemah agar tidak teraniaya (terzalimi) oleh orang-orang kuat atau
tidak diabaikan oleh para penegak hukum. Sangat banyak ayat-ayat Al-Quran yang
membahas masalah ini baik ayat-ayat makkiyyah maupun ayat-ayat madaniyyah. Anda
bisa membuka dan menelaah ayat-ayat Al-Quran, antara lain sebagai berikut ini.
QS
Adh-Dhuha/93: 9, QS Al-Muddatstsir/74: 42-44, QS Al-Ma un/107: 1-3, QS Al- ‟
Haqqah/69: 32-34, QS Al-Fajr/89: 17-18, QS Al-Isra`/17: 34, QS An-Nisa`/4: 10,
QS AtTaubah/9: 60, QS Al-Anfal/8; 41, QS Al-Hasyr/59: 7, QS At-Taubah/9: 103,
QS AlBaqarah/2: 177, QS Al-Isra`/17: 26, QS Al-Baqarah/2: 215, QS An-Nisa`/4:
36, QS AnNisa`/4: 74-76
C. Menggali Sumber Historis, Filosofis,
Psikologis, Sosiologis, dan Pedagogis tentang Paradigma Qurani untuk Kehidupan
Modern.
Untuk menggali sumber historis,
filosofis, psikologis, sosiologis, dan paedagogis tentang paradigma Qurani yang
membawa kemajuan dan kemodernan pada zaman silam, Anda dapat mempelajari
cara-cara untuk mencapai kemajuan pada zaman keemasan Islam dan mempelajari peran
Al-Quran dalam mewujudkan kemajuan itu. Dalam sejarah peradaban Islam ada suatu
masa yang disebut masa keemasan Islam. Disebut masa keemasan Islam karena umat
Islam berada dalam puncak kemajuan dalam pelbagai aspek kehidupannya: ideologi,
politik, sosial budaya, ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, pertahanan dan
keamanan. Karena kemajuan itu pula, maka dunia Islam menjadi pusat peradaban,
dan dunia Islam menjadi super-power dalam ekonomi dan politik.
Ekspansi dakwah Islam semakin meluas dan
diterima oleh belahan seluruh dunia ketika Islam datang. Kekuasaan politik
semakin luas yang implikasinya kemakmuran ekonomi juga semakin terbuka tambah
subur dan tentu lebih merata. Kalau Anda kaji secara mendalam faktor-faktor
yang menyebabkan umat Islam bisa maju pada saat itu dan dalam waktu yang amat
lama (lebih dari lima abad.), maka jawabannya tentu saja karena umat Islam
menjadikan Al-Quran sebagai paradigm kehidupan. Al-Quran pada saat itu bukan
hanya dijadikan sebagai sumber ajaran tetapi juga menjadi paradigma dalam
pengembangan Iptek, pengembangan budaya, bahkan Al-Quran dihadirkan untuk
mengatasi dan menghadapi pelbagai problem kehidupan umat Islam saat itu. Pada
zaman keemasan Islam, Al-Quran dijadikan sebagai paradigma dalam segala aspek
kehidupan dan Rasulullah saw. menjadi role model (uswatun asanah) ḫ dalam
mengimplementasikan Al-Quran dalam kehidupan sehari hari.
Rasulullah dalam sabdanya, “Sebaik-baik
generasi adalah generasiku lalu generasi berikutnya dan generasi berikutnya”
(HR Muslim). Sikap komitmen para sahabat dan generasi berikutnya menjadikan
Rasulullah sebagai uswah dalam segala segi kehidupan dan sesungguhnya perilaku
mereka sesuai dengan tuntunan Al-Quran itu sendiri. Allah berfirman, “Apa-apa
yang Rasulullah datangkan untuk kamu, maka ambillah dan apa-apa yang Rasulullah
melarangnnya, maka tinggalkanlah” (QS Al-Hasyr/59: 7).
Toshihiko Izutsu (1993: 91-116) mencoba
meneliti konsep-konsep etika religius dalam Al-Quran. Hasil penelitiannya
menetapkan ada lima nilai etik yang perlu dikembangkan manusia yaitu: 1) murah
hati, 2) keberanian, 3) kesetiaan, 4) kejujuran, dan 5) kesabaran. Berikutnya
Izutsu menuangkan konsep kemunafikan religius serta membahas konsep baik dan
buruk secara mendalam. Bahasannya meliputi konsep salih, birr, fasad, ma ruf
dan munkar, khair dan syarr, ‟ ḫ ḫ usn dan qub , fakhisyah atau fawakhisy,
thayyib dan khabis, haram dan halal termasuk konsep dosa. Selain masyarakat
muslim menjadikan AlQuran sebagai paradigma dalam berbagai aspek kehidupan,
faktor penyebab kemajuan pada zaman keemasan Islam adalah sikap umat Islam yang
mencintai dan mementingkan penguasaan Iptek. Tidak mungkin kemajuan dicapai
tanpa menguasai Iptek.
Sejarah membuktikan para khalifah baik
dari Dinasti Umayyah maupun Dinasti Abbasiyah, semisal Khalifah Al-Mansur,
Al-Ma mun (813-833), Harun Ar-Rasyid (786-809), ‟ mendorong masyarakat untuk
menguasai dan mengembangkan Iptek. Al-Mansur telah memerintahkan penerjemahan
buku-buku ilmiah dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab. Demikian juga, Harun
Ar-Rasyid melakukan hal yang sama dengan khalifah yang sebelumnya. Harun
memerintahkan Yuhana (Yahya Ibn Masawaih (w. 857), seorang dokter istana, untuk
menerjemahkan buku-buku kuno mengenai kedokteran. Pada masa itu juga
diterjemahkan karya-karya dalam bidang astronomi, seperti Sidhanta, sebuah
risalah India yang diterjemahkan oleh Muhammad Ibn Ibrahim Al-Fazari (w. 806).
Pada abad berikutnya sekitar pertengahan
abad ke-10 muncul dua orang penerjemah yang sangat penting dan produktif yaitu
Yahya Ibn „Adi (974) dan Abu Ali Isa Ibnu Ishaq Ibn Zera (w. 1008). Yahya
banyak memperbaiki terjemahan dan menulis komentar mengenai karya-karya
Aristoteles seperti Categories, Sophist, Poetics, metaphiysics, dan karya Plato
seperti Timaesus dan Laws. Yahya juga dikenal sebagai ahli logika dan
menerjemahkan The Prolegomena of Ammocius dan sebuah kata pengantar untuk
Isagoge-nya Pophyrius (Amsal Bakhtiar, 2004). Sikap penguasa yang mendukung
kemajuan Iptek selain diwujudkan dengan membangun pusat-pusat pendidikan tinggi
dan riset semisal Bait al-Hikmah di Bagdad, juga para khalifah selalu
mengapresiasi setiap ilmuwan yang dapat menuliskan karya ilmiahnya, baik
terjemahan ataupun karangan sendiri.
Setiap ilmuwan yang berhasil
menerjemahkan suatu karya yang berasal dari bahasa asing, maka khalifah
menghargai karya itu ditimbang dan diganti dengan emas sesuai dengan berat buku
yang ia hasilkan. Ini merupakan suatu apresiasi akademis yang sangat prestisius
dan membanggakan. Akibatnya tentu saja semangat keilmuan tumbuh di tengah kehidupan
masyarakat dan masyarakat menjadi belajar. Penghargaan terhadap seseorang pada
saat itu dilihat dari sisi keimanan dan keilmuannya. Banyak masyarakat
memuliakan para ilmuwan dan ulama. Oleh karena itu, ulama dengan ilmu dan
akhlaknya menjadi panutan dalam keseharian.
Fatwa para ulama bukan hanya ditaati
oleh masyarakat tetapi juga oleh para raja. Fatwa sifatnya mengikat karena
dianggap produk hukum yang menjadi hukum positif dan juga dihormati dan
dijunjung tinggi oleh semua lapisan masyarakat. Perkembangan Iptek sangat pesat
dengan lahirnya pusat-pusat keilmuan dan penelitian di pelbagai kota-kota besar
di negara Islam. Mekah, Medinah, Bagdad, Kairo, Damaskus, Samarkand menjadi
tempattempat favorit untuk belajar para mahasiswa dari pelbagai penjuru dunia.
Semarak keilmuan tumbuh di tengah masyarakat, ilmu pun berkembang dan maju
sehingga ilmu menjadi hiasan bagi diri setiap orang.
D.
Membangun Argumen tentang
Paradigma Qurani sebagai Satu-satunya Model untuk Menghadapi Kehidupan Modern
Sakib Arselan dalam bukunya “Limādza
ta`akhkharal muslimūna wa taqaddama gairuhum” artinya, “mengapa umat Islam
mundur sedangkan non-Islam maju? . Penulis buku ‟ itu menyimpulkan bahwa umat
Islam mundur karena mereka meninggalkan ajarannya, sedangkan non-Islam maju
justru karena mereka meningglkan ajarannya. Sejalan dengan pemikiran Arselan
tersebut, para pembaharu sepakat bahwa untuk kemajuan Islam, umat Islam harus
berkomitmen terhadap ajarannya, mustahil mereka dapat maju kalau mereka meninggalkan
ajarannya. Adapun ajaran dimaksud adalah ajaran murni al-Islām sebagaimana yang
tercantum dalam Al-Quran dan sunah bukan ajaran-ajaran yang bersumber dari
budaya selain Al-Quran dan sunah.
Tidak sedikit orang berpandangan bahwa
untuk maju justru mereka harus meninggalkan ajaran agama mereka sehingga mereka
harus mengembangkan budaya sekuler dalam segala segi kehidupan. Sementara bagi
umat Islam, untuk maju tidak perlu mengambil sekulerisasi, malah sebaliknya,
harus berkomitmen terhadap ajarannya. Mengapa umat Islam untuk dapat maju tidak
perlu mengambil jalan sekulerisasi?
Jawabannya tentu saja, pertama, karena
ajaran Islam yang sumbernya Al-Quran dan hadis bersifat syumul artinya mencakup
segala aspek kehidupan. Kedua, ajaran Islam bersifat rasional, artinya sejalan
dengan nalar manusia sehingga tidak bertentangan dengan Iptek. Ketiga, ajaran
Islam berkarakter tadarruj artinya bertahap dalam wurūd dan implementasinya.
Keempat, ajaran Islam bersifat taqlilat-takaalif artinya tidak banyak beban karena
beragama itu memang mudah, dalam arti untuk melaksanakannya berada dalam
batasbatas kemanusiaan bukan malah sebaliknya, tidak ada yang di luar kemampuan
manusia untuk melaksanakannya. Allah sendiri menyatakan dalam banyak ayat bahwa
yang dikehendaki oleh Allah adalah kemudahan bagi umat manusia bukan kesulitan,
menjunjung tinggi kesamaan (egaliter), keadilan, rahmat dan berkah bagi semua.
Kelima, ajaran yang diangkat Al-Quran berkarakter i jāz ‟ artinya bahwa redaksi
Al-Quran dalam mengungkap pelbagai persoalan, informasi, kisah dan pelajaran
selalu dengan gaya bahasa yang singkat, padat, indah, tetapi kaya makna, jelas
dan menarik.
Agama yang mempunyai prinsip seperti
itulah agama masa depan dan agama yang dapat membawa kemajuan. Perlu juga
ditambahkan adanya faktor persesuaian antara akal dan wahyu. Kebenaran wahyu
adalah absolut. Argumen akal tentang kebenaran wahyu tidak memberikan pengaruh
sedikit pun terhadap kebenaran itu. Demikian sebaliknya, argumen akal yang
menyatakan ketidakbenaran wahyu tidak lantas membuat wahyu itu menjadi tidak
benar. Akan tetapi, apabila akal melakukan penalaran yang valid maka ia akan
sesuai dengan kebenaran wahyu. Kesahihan proses transmisi data autoritatif,
menurut Juhaya S Praja, (2002: 77) melahirkan ilmu tafsir dan ilmu hadis yang
kemudian berkembang menjadi landasan ilmu-ilmu lainnya termasuk filsafat Islam.
Kemajuan yang dicapai dengan
keberhasilan pengembangan Iptek tentu akan membawa perubahan yang sangat
dahsyat. Revolusi kebudayaan terjadi karena Iptek telah mengantarkan manusia
kepada kemajuan yang luar biasa. Kemajuan melahirkan kehidupan modern dan
kemodernan menjadi ciri khas masyarakat maju dewasa ini. Bagi umat Islam
kemodernan tetap harus dikembangkan di atas paradigm Al-Quran. Kita maju
bersama AlQuran, tidak ada kemajuan tanpa Al-Quran. Al-Quran bukan hanya
sebagai sumber inspirasi, tetapi ia adalah landasan, pedoman paradigma dan
guide dalam mengarahkan kemodernan agar dapat menyejahterakan manusia dunia dan
akhirat. Apa arti kemodernan kalau tidak membawa kesejahteraan? Apa arti
kemajuan Iptek kalau manusia tidak makrifat kepada Allah?
Imam Junaid al-Bagdadi menyatakan,
“Meskipun orang tahu segala sesuatu tetapi jika dia tidak mengenal Allah
sebagai Tuhannya, maka identik dengan tidak tahu sama sekali”. Junaid ingin
menyatakan bahwa landasan Iptek adalah ma rifatullāh ‟ , dan Al-Quran adalah
paradigma untuk pengembangan Iptek. Penguasaan Iptek yang dilandasi ma
rifatullāh ‟ akan membawa kemajuan lahir batin, sejahtera dunia akhirat, dan
rahmat bagi semua alam. Iptek dan kehidupan yang tidak dipandu wahyu belum
tentu membawa kesejahteraan, ketenteraman, dan kebahagiaan, sedangkan Iptek dan
kehidupan yang dipandu wayu tentu akan mewujudkan kesejahteraan yang seimbang;
sejahtera lahir batin, dunia akhirat, jasmani rohani. Itulah paradigm Qurani
dalam konsep dan kenyataan kehidupan.
E. Mendeskripsikan Esensi dan Urgensi
Paradigma Qurani dalam Menghadapi Kehidupan Modern
Ciri utama kehidupan modern adalah
adanya pembangunan yang berhasil dan membawa kemajuan, kemakmuran, dan
pemerataan. Pembangunan yang berkesinambungan yang berimplikasi terhadap
perubahan pola hidup masyarakat ke arah kemajuan, dan kesejahteraan itu
merupakan bagian dari indicator kehidupan modern. Lebih rinci, Nurcholis Madjid
(2008) menyatakan bahwa tolok ukur pembangunan yang berhasil adalah sebagai
berikut.
1. Tingkat produksi dan pendapatan lebih tinggi.
2. Kemajuan dalam pemerintahan sendiri
yang demokratis, mantap, dan skaligus tanggap terhadap kebutuhan-kebutuhan dan
kehendak-kehendak rakyat.
3. Pertumbuhan hubungan sosial yang
demokratis, termasuk kebebasan yang luas, kesempatan-kesempatan untuk
pengembangan diri, dan penghormatan kepada kepribadian individu.
4. Tidak mudah terkena komunisme dan
totaliarianisme lainnya, karena alasan-alasan tersebut.
Dalam konsep Islam, kemajuan dan
kemodernan yang integral adalah sesuatu yang harus diraih dan merupakan
perjuangan yang tak boleh berhenti. Berhenti dalam proses pencapaiannya berarti
berhenti dalam perjuangan, suatu sikap yang dilarang dalam Islam. Namun, karena
umat Islam memiliki sumber norma dan etik yang sempurna yaitu kitab suci
Al-Quran, maka Al-Quran harus dijadikan paradigm dalam melihat dan
mengembangkan segala persoalan.
Paradigma Qurani dalam pengembangan
Iptek, misalnya, jelas akan memungkinkan munculnya ilmu-ilmu alternatif yang
khas yang tentu saja tidak sekularistik. Paradigma Qurani dalam pengembangan
budaya, juga akan melahirkan budaya masyarakat yang Islami yang tidak sekuler
dalam proses, hasil, dan aktualisasinya. Pengembangan ekonomi yang berlandaskan
paradigma Qurani jelas akan melahirkan konsep dan kegiatan ekonomi yang bebas
bunga dan spekulasi yang merugikan. Prinsip ekonomi Islam adalah tidak boleh
rugi dan tidak boleh merugikan orang lain (lā dharāra wa lā dhirāra). Riba dan
gharar jelas merupkan sesuatu yang dapat merugikan pihak-pihak tertentu.
Paradigma Qurani dalam menyoroti segala
persoalan harus tetap menjadi komitmen umat Islam agar umat tidak kehilangan
jati dirinya dalam menghadapi tantangan modernitas. Kehidupan modern yang pada
hakikatnya merupakan implementasi kemajuan Iptek (ilmu pengetahuan dan
teknologi) akan memberi manfaat dan terus berkembang untuk membawa kemajuan
yang harus dipandu dan diarahkan oleh wahyu (Al-Quran) agar umat tidak terjebak
dalam kehidupan sekularis. Hal ini jelas bukan tujuan kemajuan Islam itu
sendiri.
Sekularisasi hanya akan mengikis
keimanan yang ada di hati umat dan akan melahirkan generasi yang ambivalen
(bersikap mendua) dalam kehidupan. Di satu sisi ia sebagai seorang muslim, di
sisi lain ia meminggirkan ajaran Islam dari dirinya dan kehidupannya sehingga
Islam lepas dari aktivitas hidupnya, yaitu suatu sikap hipokrit yang harus
dijauhkan dari kepribadian umat Islam. Umat Islam akan maju kalau Al-Quran
menjadi tuntunan dan Rasulullah sebagai panutan. Umat Islam akan tertinggal,
dan masuk pada situasi stagnasi kalau Al-Quran dijauhkan dari kehidupan
dirinya. Paradigma Qurani adalah proses menghadapi realitas sekaligus tujuan
yang harus digapai dalam perjalanan hidup umat Islam.
Sejarah membuktikan kemunduran umat
Islam pada abad kedelapan belas, yang biasa disebut abad stagnasi keilmuan,
adalah karena beberapa faktor. Pertama, justru karena umat Islam meninggalkan
peran Al-Quran sebagai paradigma dalam menghadap segala persoalan. Kedua,
hilangnya semangat ijtihad di kalangan umat Islam. Ketiga, kesalahan lainnya,
menurut Muhammad Iqbal, karena umat Islam menerima paham Yunani mengenai
realitas yang pada pokonya bersifat statis, sedangkan jiwa Islam bersifat
dinamis dan berkembang. Keempat, para ilmuwan keliru memahami pemikiran
Al-Ghazali, yang dianggapnya alGhazali mengharamkan filsafat dalam bukunya “Ta
āfutul Falāsifah ḫ ”, padahal Al-Ghazali menawarkan sikap kritis, analitis dan
skeptis terhadap filsafat, agar dikembangkan lebih jauh dalam upaya menggunakan
paradigma Qurani dalam pengembangan falsafah. Faktor kelima, karena sikap para
khalifah yang berkuasa pada zaman itu tidak mendukung pengembangan keilmuan
karena takut kehilangan pengaruh yang berakibat terhadap hilangnya kekuasaan
mereka. Dengan meminjam istilah Bung Karno, para khalifah mengambil abu
peradaban Islam bukan apinya dan bukan rohnya. Sebaliknya, Barat mengambil
apinya dan meninggalkan abunya. Karena sikap demikian, kehidupan politik umat
Islam pun, pada abad itu menjadi lemah, pecah, dan semrawut di tengah hegemoni
kekhilafahan Islam yang mulai memudar dalam menghadapi peradaban Barat yang
mulai menggeliat dan perlahan maju dengan percaya diri.
Perkembangan berikutnya, dunia Islam
masuk dalam perangkap kolonialisme Barat dan bangsa Barat menjadi penjajah yang
menguasai segala aspek di dunia Islam. Dewasa ini dunia Islam telah masuk ke
fase modern. Langkah-langkah untuk lebih maju agar tidak tertinggal oleh
peradaban Barat,kiranya pemikiran Ismail Razi al-Faruqi perlu dikaji. Menurut
Al-Faruqi, sebagaimana ditulis Juhaya S Praja (2002: 73), kunci sukses dunia
Islam tentu saja adalah kembali kepada Al-Quran. Al-Faruqi menjabarkannya
dengan langkah sebagai berikut.
1. Memadukan sistem pendidikan Islam.
Dikotomi pendidikan umum dan pendidikan agama harus dihilangkan.
2. Meningkatkan visi Islam dengan cara
mengukuhkan identitas Islam melalui dua tahapan; Tahap pertama yaitu mewajibkan
bidang studi sejarah peradaban Islam; Tahap keduayaitu Islamisasi ilmu
pengetahuan.
3. Untuk mengatasi persoalan metodologi
ditempuh langkah-langkah berupa penegasan prinsip-prinsip pengetahuan Islam
sebagai berikut.
a. The unity of Allah
b. The unity of creation
c. The unity of truth and knowledge
d. The unity if life
e. The unity of humanity
Berikutnya, al-Faruqi menyebutkan bahwa
langkah-langkah kerja yang harus ditempuh adalah sebagai berikut. 1. Menguasai
disiplin ilmu modern 2. Menguasai warisan khazanah Islam 3. Membangun relevansi
yang Islami bagi setiap bidang kajian atau wilayah penelitian pengetahuan
modern. 4. Mencari jalan dan upaya untuk menciptakan sintesis kreatif antara
warisan Islam dan pengetahuan modern. 5. Mengarahkan pemikiran Islam pada arah
yang tepat yaitu sunatullah
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Fakta sejarah bahwa kemajuan, kedamaian, keamanan dan
kesejahteraan yang telah dicapai pada masa keemasan Islam adalah wujud dari
aktualisasi Al-Quran sebagai paradigma kehidupan. Kemajuan itu kembali akan
diraih dan akan menjadi milik umat Islam, jika umat Islam sekarang bersikap
yang sama terhadap Al-Quran sebagaimana umat pada zaman keemasan bersikap
terhadap Al-Quran yakni menjadikan Al-Quran sebagai paradigma dan akhirnya
menjadi hidayah dalam segala aspek sekaligus sebagai paradigma pemecahan
problem kehidupannya.
Paradigma Qurani telah berkontribusi dalam mewujudkan
kemajuan dan kemodernan pada zaman keemasan Islam yang ditandai dengan kemajuan
pesat perkembangan Iptek di dunia Islam, yang berimplikasi terhadap kemajuan di
bidang lainnya; ideologi, politik, ekonomi, budaya, militer, pendidikan,
perdamaian, keamanan, kesejahteraan dan lainnya.
0 Comments