Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan Rahmat, Hidayah. dan lnayah-Nya sehingga kami dapat merampungkan
penyusunan makalah pendidikan agama islam dengan judul "Bagaimana
Membumikan Islam di Indonesia" tepat pada waktunya. Penyusunan
makalah semaksimal mungkin kami upayakan dan didukung bantuan berbagai pihak
sehingga dapat memperlancar dalam penyusunannya. Untuk itu tidak lupa
kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam
merampungkan makalah ini. Namun tidak lepas dari semua itu, kami
menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat kekurangan baik dari segi
penyusunan bahasa dan aspek lainnya.
Oleh karena itu, dengan lapang dada kami membuka
selebar-lebarya pintu bagi para pembaca yang ingin memberi saran maupun kritik
demi memperbaiki makalah ini. Akhimya penyusun sangat mengharapkan semoga dari
makalah sederhana ini dapat diambil manfaatnya dan besar keinginan kami dapat
menginspirasi para pembaca untuk mengangkat pennasalahan lain yang relevan pada
makalah-makalah selanjutnya.
Garut,
21 Desember 2018
Kelompok
7
Daftar Isi
1.1
Latar
Belakang
Latar Belakang Islam pada satu sisi
dapat disebut sebagai high tradition, dan pada sisi lain disebut sebagai
low tradition. Dalam sebutan pertama Islam adalah firman Tuhan yang menjelaskan
syariat-syariat-Nya yang dimaksudkan sebagai petunjuk bagi manusia untuk
mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat, termaktub dalam nash (teks suci) kemudian
dihimpun dalam shuhuf dan Kitab Suci (Al-Quranul Karim). Secara tegas dapat
dikatakan hanya Tuhanlah yang paling mengetahui seluruh maksud, arti, dan makna
setiap firman-Nya. Oleh karena itu. kebenaran Islam dalam dataran high
tradition ini adalah mutlak.Bandingkan dengan Islam pada sebutan kedua: Iow
tradition. Pada dataran ini Islam yang terkandung dalam nash atau teks-teks
suci bergumul dengan realitas sosial pada pelbagai masyarakat yang
berbeda-beda secara kultural. Islam dalam kandungan nash atau teksteks
suci dibaca, dimengerti, dipahami, kemudian ditafsirkan dan dipraktikkan dalam
masyarakat yang situasi dan kondisinya berbedabeda. Kata orang, Islam
akhimya tidak hanya melulu ajaran yang tercantum dalam teks-teks suci melainkan
juga telah mewujud dalam historisitas kemanusiaan. Spirit Islam telah
menggelora di bumi Ibu Pertiwi sejak dahulu. Kala nusantara belum disatukan
dalam nama “Indonesia”, beberapa kerajaan telah menjadikan Islam sebagai dasar
pemerintahannya. Hingga pada masa perjuangan merebut kemerdekaan pun, ajaran
Islam turut memberikan pengaruh yang besar. Nilai Islam yang antidiskriminasi,
menjiwai para pahlawan dalam menumpas penjajah yang zalim. Proklamasi pada
tanggal 17 Agustus 1945, juga tak lepas dari nuansa keislaman. Pembacaan teks
Proklamasi yang bertepatan dengan hari Jumat, 9 Ramadan 1364 H, dilakukan Bung
Karno setelah mengunjungi sejumlah ulama, antara lain, KH Syekh Musa, KH Abdul
Mukti, dan KH Hasyim Asyari. Dengan dukungan ulama, Bung Karno pun merasa
mantap dan tak takut atas ancaman dan serbuan tentara sekutu pasca Proklamasi.
Tidak berhenti pada perjuangan menggapai kemerdekaan, kontribusi pendiri bangsa
yang berkeyakinan dan berpandangan Islam, juga tampak dalam penyusunan
dasar negara. Taruhlah misalnya KH Wahid Hasyim, Ki Bagoes Hadikoesoemo, Kasman
Singodimejo, Drs
Mohammad Hatta, dan Mohammad Teuku Hasan. Merekalah yang turut merumuskan Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. Uraian singkat di atas membuktikan bahwa sejak dahulu, Islam telah menjadi spirit perjuangan bagi bangsa Indonesia. Nilai-nilai Islam telah mengobarkan semangat para pahlawan dalam mewujudkan kemerdekaan. Sampai akhirnya, Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin, juga mengilhami para pendiri bangsa dalam merancang tata negara yang mengayomi semua anak bangsa yang plural.
Mohammad Hatta, dan Mohammad Teuku Hasan. Merekalah yang turut merumuskan Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. Uraian singkat di atas membuktikan bahwa sejak dahulu, Islam telah menjadi spirit perjuangan bagi bangsa Indonesia. Nilai-nilai Islam telah mengobarkan semangat para pahlawan dalam mewujudkan kemerdekaan. Sampai akhirnya, Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin, juga mengilhami para pendiri bangsa dalam merancang tata negara yang mengayomi semua anak bangsa yang plural.
1.2
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
transformasi wahyu dan implikasinya terhadap corak keberagaman ?
2.
Bagaimana
alasan perbedaan ekspresi dan praktik keberagaman ?
3.
Apa
sumber histroris, sosiologis, teologis, dan filosofis tentang pribumisasi
islam ?
4.
Bagaimana
membangun argumen tentang urgensi pribumisasi islam ?
5.
Bagaimana
mendeskripsikan dan mengkomunikasikan pribumisasi islam sebagai upaya
membumikan islam di Indonesia ?
1.3
Tujuan Makalah
1
Mampu memahami bagaimana transformasi wahyu dan implikasinya
terhadap corak keberagaman
2
Mampu memahami alasan perbedaan ekspresi dan praktik
keberagaman
3
Mengetahui sumber histroris, sosiologis, teologis, dan
filosofis tentang pribumisasi islam
4
Mengetahui bagaimana cara membangun argumen tentang urgensi
pribumisasi islam
5
Mampu mendeskripsikan dan mengkomunikasikan pribumisasi islam
sebagai upaya membumikan islam di Indonesia
2.1
Menelusuri
Transformasi Wahyu dan Implikasinya terhadap Corak Keberagamaan
Dalam ajaran
islam, wahyu Allah selain berbentuk tanda – tanda ( ayat) yang nirbahasa, juga
bermanifestasi dalalam bentuk tanda- tanda
(ayat ) yang difirmankan. Untuk memudahkan pemahaman, kita bedakan
antara istilah wahyu ( dengan “w” kecil) dan Wahyu (dengan “W” besar). Wahyu
dengan w kecil menyaran pada tanda- tanda intruksi arahan, nasihat, pelajaran,
dan ketuhan Tuhan yang nirbahasa, dan mewujud dalam alam semesta dan isinya,
termasuk dinamika social budaya yang terjadi di dalamnya.
Adapun Wahyu
dengan W besar menyaran pada tanda-tanda, instruksi, arahan, nasihat,
pelajaran, dan ketentuan Tuhan yang difirmankan melalui utusan-Nya (malaikat)
dan diakses secara khusus oleh orang-orang pilihan yang disebut sebagai nabi
atau rasul (meskipun kedua istilah ini sebenarya berbeda, namun sementara ini
dianggap sama). Tanda-tanda Tuhan di
alam semesta ini ada yang dipahami secara sama, pada sembarang waktu dan
tempat. Sebalikny , tanda- tanda Tuhan ada pula yang dibaca dan dipahami secara
berbeda karena perbedaan kadar kemampuan jiwa , rasa, dan fisik. Menurut Sahrur
dalam AI-Quran wa al-Kitab". tanda
tanda Tuhan yang di angkap secara universal itulah yang di sebuit dengan
ayat-ayat muhkamat. Adapun tanda tanda yang dibaca secara berbeda-beda sesuai dengan
perkembangan kemampuan nalar manusia, disebut dengan ayat ayat mutasyabihat.
Ayat-ayat yang
terdapat di alam semesta dengan berbagai dinamika di dalamnya dibaca dan
dimaknai secara komprehensif oleh beberapa orang pilihan yang disebut dengan
nabi rasul. Para nabi dan rasul
merupakan orang-orang pilihan karena mereka telah dikaruniai bakat kecerdasan
paripurna sehingga dapat men-“download” ayat-ayat Tuhan yang di-upload di alam
ini dan mem-breackdown-nya menjadi sebuah pelajaran, nasihat, ketentuan, instruksi,
dan informasi dari Tuhan yang berbentuk bahasa. Ketika masih dalam bentuknya
yang asli berupa alam yang terbentang, wahyu belum diidentifikasi sebagai
shuhuf al-Ula (kitab Ibrahim), Taurat (kitab Musa), Zabur (kitab Dawud), Injil
(kitab lsa), atau Al-Quran(Nabi Muhammad SAW). Wahyu dengan w kecil sebagai
ayat yang terbentang baru diidentifikasi sebagai sebutan manakala telah
diperspesi oleh para nabi dan rasul Ketika ia dipersepsi oleh nabi
berkebangsaan Yahudi, maka munculah Taurat yang berbahasa lbrani. Ketika ia
dipersepsi oleh nabi yang berkebangsaan Arab maka munculah Al-Quran yang
berbahasa Arab.
Wahyu (dengan W
besar) difirmankan untuk menjawab beberapa permasalahan yang tidak dilemukan
jawabannya dalam tanda-tanda Tuhan yang terbentang, untuk memotivasi manusia
agar makin detil dalam membaca dan memahami alam yang terbentang, sehingga
ia bisa memperoleh rnakna dari setiap
fenomena yang dialarrunya.
Tidak hanya itu,
Wahyu difirmankan juga untuk memperpendek proses pembacaan terhadap alam (wahyu
yang terbentang). Apabila manusia diberi kesempatan untuk membaca dan memahami
aJam dengan segenap potensi nalar, rasa, dan jiwa yang dimilikinya, ia akan
membutuhkan waktv yang lama untuk mencapai jawaban final. Namun berkat Wahyu,
proses yang panjang dan berliku tersebut dapat disingkat sedemikian rupa
sehingga manusia tidak perlu bersusah payah untuk mendapatkan jawaban final
kehidupan.
Agaknya faktor
sosial-budaya dan bakat intelektual yang dimiliki oleh masing-masing nabi
membuat Wahyu pun terfirman dengan teknik dan content yang berbeda Wahyu Allah
yang terbentang dalam alam geografis dan sosial budaya Arab, akan ditangkap
oleh nabi berkebangsaan Arab dan dibesarkan dalam tradisi intelektual
Arab. otomatis akan menjadi Wahyu yang
berbahasa Arab lengkap dengan kultur Arab pada masa wahyu difirmankaff Artinya,
ke-Araban Al- Quran misalnya, sangat dipengaruhi oleh kultur Arab
Nabi Muhammad. Al-Quran menjadi sebuah bacaan berbahasa Arab dan menyapa
umat manusia dengan log'ka bangsa Arab abad ke-7 karena ia diturunkan kepada
Nabi Muhammad yang berkebangsaan Arab.
Wahyu Allah
(dengan w kecil) pada mulanya bersifat universal dan historis. Sebagai
tanda-tanda Tuhan yang terbentang, keberadaan wahyu melintasi zaman dan
melintasi ruang. Namun ketika wahyu tersebut di-downtoad menjadi wahyu
terfirman, maka ia berubah menjadi wahyu yang historis (menyejarah). Hal itu
dikarenakan substansinya yang universal. kini harus diwadahi dalam lokahtas
ekspres, Begitu wahyu Allah (dengan w kecil) berubah menjadi wahyu terfirman
selanjulnya disebut Firman saja). maka ia terikat dalam ruang ekspresi yang
dibatasi oleh letak geografis dan ruang waktu.. lni merupakan babak awal
terjadinya perbedaan corak pemahaman agama.
Dalam nalar
Islam, wahyu yang terbentang diakses dan di- downIoad oleh Nabi Muhammad dengan
bakat intelektual yang luar biasa dan karunia Allah melalui Malaikat Jibril.
Wahyu terfirman itu lalu disebut
Al-Quran. Apabila mengacu
pada pemikiran yang dikemukakan Sahrur, tanda-tanda Allah di
alam terbentang disebut dengan Al-Quran al-"Aztnm sedangkan tanda-tanda
yang terclapat dalam wahyu terfirman disebut dengan Al-Quran al-Karim.
Selanjutnya dalam pembahasan di buku ini, ada baiknya kita tetap mengunakan
istilah wahyu terbentang (At-Quran al-Azhim) dan wahyu terfirman (AI- Quran
al-Karim).
Wahyu terfirman
rnerupakan bentuk relasi
antara nalar manusia, wahyu
terbentang, dan karunia rahrnat Tuhan. Melalui rahm.at- Nya, Allah
memberikan karunia kepada
alam semesta untuk menampung dan merepresentasikan
tanda-tanda-Nya. Di sisi lain, melalui rahmat-Nya pula manusia diberi kemampuan
nalar untuk berpikir, memahami, dan
menghayati tanda-tanda alam sebagai tanda-tanda-Nya. .Al-Quran al-Karim
merupakan salah satu bentuk relasi antara nalar Arab abad ketujuh, wahyu
terbentang( Al-Quran al- Azhim), dan karunia rahmat Allah tersebut.
Mulanya, Al-Quran
sebagai wahyu terFirman disampaikan
secara lisan, sesuai dengan tuntutan konteks situasional waktu diturunkan. Ada tiga situasi yang mendorong
terjadinya peristiwa pewahyuan secara lisan,
yaitu: adanya pertanyaan tentang sebuah
masalah, problematika sosial-budaya yang harus dicarikan solusinya, dan misi kenabian untuk merombak budaya suatu
umat.
Al-Quran sebagai
wacana lisan sangat kental diwamai oleh
konteks sosial-budaya dan situasi peristiwa komunikasi kehka ia difirmankan melalui lisan Nabi Muhammad.
Implikasinya, sebagai wacana lisan,
Al-Quran sering kali menggunakan ragam ungkapan
dan ekspresi kebahasaan yang mengedepankan keterbukaan dan pemaknaan yang dinamis, selama ia tidak
menyimpang dari konteks komunikasi
tersebut. Pemaknaan tersebut munculdalam bentuk respon langsung berupa sikap yang dilakukan audiens
kala itu. Fokus pada respon rnerupakan
salah satu ciri komunikasi lisan, ketika terjadi tindak saling merespon antara komunikator (dalam hal
ini nabi) dan komunikan (audiens
Al-Quran).
Keterbukaan dalam pembacaan Al-Quran diartikan
sebagai pemaknaan AI-Quran yang hidup, progresif, mengalir sesuai dengan
konteks situasional bangsa Arab kala itu. Audiens Al-Quran kala itu masih dapat
melihat secara langsung waktu, tempat, dan alasan sebuah ayat turun sehingga
mereka langsung mengambil sikap berdasarkan pemahaman mereka yang komprehensif
tentang peristiwa pewahyuan tersetut. Sahabat tidak mengalami kesulitan untuk
memahami, menghayaLa, dan mengamalkan wacana Al-Quran karena mereka paham bermr
tentang situasi komunikasi ketika Al- Quran difirmankan. nabi pun tidak
menuntut sahabat terlalu jauh untuk
menyikapi
Al-Quran sebagai teori-teori filosofis dengan menjejalkan argumen-argumen
teoretis. Bagi nabi ketika itu, Al-Quran adalah pedoman gerak dan bersikap
sehingga begrtu mendengar wacana lisan Al-Quran umat manusia dapat langsung
memfungsionalisasikan Al-Quran dalam realita kehidupan mereka. Implikasinya, nabi banyak menoleransi
pelbagai model pembacaan Al-Quran asalkan masih sejalan dengan tujuan agama
yaitu untuk menyucikan jiwa agar manusia dapat tunduk dan patuh kepada Tuhan.
Problematika
lain yang muncul dengan adanya kodifikasi Al- Quran menjadi mushaf adalah hal
yang disebut dengan pemihakan ayat.
Artinya perbedaan corak
pemaharnan dan orientasi keberagamaan umat menjadi
bervariasi akibat pemihakan mereka terhadap beberapa doktrin yang ditemukan
dalam ayat-ayat tertentu, tanpa memberikan porsi yang cukup untuk menyikapi
ayat-ayat lainnya yang memiliki aksentuasi yang berbeda. Perbedaan Qadariyah
dan Jabariyah, misalnya, merupakan contoh yang pas untuk menggambarkan adanya
pemihakan berlebihan terhadap doktrin pada ayat-ayat tertentu. Dalam tradisi
muktazilah, bahkan dikatakan apabila ditemukan ayat-ayat yang tidak sejalan
dengan ayat-ayat utama yang rnereka pdikan rujukan, maka dilakukan mekanisme
pemalingan makna yang disebut dengan takwil.
Sejak dulu para
ulama merasa perlu untuk melakukan kerja rekonstruksi peristiwa pewahyuan agar
dapat mencapai pemahaman Al-Quran yang tepat dan sesuai dengan dinamika zaman.
Maka rnuncullah beraneka ragam, corak, dan model penafsiran sebagai upaya untuk
menyingkap kandungan makna Al-Quran agar ia dapat difungsionaliasikan dalam
kehidupan.
Berbagai model
pembacaan Al-Quran dilakukan dengan mengacu pada tiga aspek
utama, yaitu: teks AI-Quran sebagai sebuah (a) kesatuan tema. (b) konteks
historis yaitu konteks situasional yang melingkupi peristiwa pewahyuan,
peristiwa penafsiran masa nabi, dan
masa-masa qenerasi sebelumnya
sebagai sumber inspirasi penafsiran, dan (c) konteks
pembacaan. yaitu situasi kondisi pada saat Al-Quran dibaca dan ditafsirkan
kembali oleh seorang penafsir dengan mengacu pada berbagai pendekatan dan
problematika kehidupan kontemporer.
Melalui model pembacaan seperti itu
maka dimungkinkan terjadinya
proses pengayaan tafsir, sesuai dengan latar geografis, sosial-budaya, dan spirit zaman saat Al-Quran
ditafsirkan. Dengan kata lain: perbedaan latar belakang keilmuan penafsir akan
memperWaruhi oorak pemahaman terhadap Al-Quran, begitu pula perbedaan latar sosial-budaya dan geografi
penafsir akan berbeda hasil tafsirnya.
Seseorang yang dibesarkan di lingkungan yang rasional akan cenderung memperlakukan AI-Quran sebagai
kajian filsafat, sebaliknya, seorang
yang terbiasa bergelut dengan kajian- kayan
Eeologis akan memposisikan AhQuran sebagai teks dokrin dan dogma. Seseorang yang besar dalam kuitur budaya Arab
tentunya akan memiliki pemahaman berbeda
dengan orang lain yang besar dalam
kultur budaya Asia atau Eropa. Pembaca AI.Quran abad ketujuh tentunya juga akan memiliki pemahaman yang
berbeda dengan pembaca Al-Quran abad
kedua puluh satu. Ini semua menunjukkan
bahwa Al-Quran dapat menjadi amber inspirasi bagi semua orang sepanjang masa dan di seluruh dunia. Iniiah
yang disinyalir oleh Ali bin . Abi Thalib dengan pernyataanrya yang terkenal
-AI-Quran baina daffatai almushaf la yanthiq
wa innama yatakallamu bihi ar-rijal (AI-Q uran yang terdapat dalam mushaf ddak
berbicara, yang membuatnya berbicara adalah para pembacanya).
2.2
Menanyakan
Alasan Perbedaan Ekspresi dan Praktik Keberagamaan
Terdapat dua hal
yang secara dominan mempengaruhi
dinamika dan struktur social masyarakat yaitu agam dan budaya lokal. Dalam
masyarakat Indonesia, dua hal tersabut memiliki peranan penting dalam membentuk
karakter dan perilaku sosial yang kemudian sering disebut sebagai 'jati
diri" orang Indonesia. Karakter tersebut mewamai hampir semua aspek sosial
masyarakat Indonesia baik secara politik. ekonomi maupun sosial budaya.
Agama diyakini
memiliki nilai-nilai transenden sehingga sering dipahami sabagai suatu dogma
yang kaku. Namun, nilai-nilai budaya relatif dipandang lebih fleksibel sesuai
kesepakatan-kesepakatan komunitas untuk dyadikan sebagai standar normatif.
Karena adanya perbedaan karakter agama dan budaya itulah maka sering kali
nilai- niiai agama dipertentangkan dengan
ndai-nilai budaya lokal
yang sebenamya telah rnempengaruhi perilaku sosial seseorang.
Waktu masuknya
Islam ke Indonesia
(Nusantara) masih diperdebatkan.
Ada yang berpendapat bahwa sejak sebelum hijrah
telah ada orarng Arab yang tinggal di kepulauan ini. Lalu pada abad ke-13 munculah untuk pertama kali sebuah
komunitas Islam, yang selanjutnya
mengalam perkembangan pesat pada abad ke-15. Pada abad ke17/ ke-l8 bahkan mayoritas penduduk
Jawa dan Sumatera telah memeluk Islam.
Mulanya Islam
masuk ke Indonesia mlalui pedagang dari Gujarat dan Malabar India. Lalu
belakangan masuk pula pedagang dan dai-dai Islam dari Hadramaut, di samping
saudagar-saudagar Islam dari Cina. Islam disebarkan dengan cara-cara damai
dengan aliansi politik dan pembiaran terhadap budaya-budaya lokal yang sudah
ada sebelumnya, selama sejalan dengan prinsip-prinsip Islam. Unsur-unsur budaya
lokal non-lslam (Arab) bahkan melekat dalam karakter, pemikiran, dan praktik
keagamaan umat Islam Indonesia. Hal itu mengingat Islam yang masuk ke Indonesia
adalah Islam sufistik yang memang memiliki karakteristik terbuka, damai, dan
ramah terhadap perbedaan.
Model akulturasi
budaya lokal dengan Islam ini sering dianggap sebagai penyebab munculnya
karakter Islam abangan di kalangan masyarakat Jawa. Sebagian orang bahkan
menilai bahwa para Wali Songo sebagai ikon dai-dai awal Islam di Indonesia
dianggap belum berhasil sepenuhnya untuk mengislamkan Jawa. Beberapa bukti
disodorkan untuk memperkuat tesis lersebut, di antaranya paham sinkretisme yang
tampak masih dominan di kalangan masyarakat Jawa. Walaupun bagi pihak yang
mendukung metode dakwah Wali Songo di atas. praktik-praktik yang sering dituduh
sebagai sinkretisme tersebut bukan sepenuhnya amalan yang bertentangan dengan
islam dan dapat dijelaskan melalui perspektif mistisisme Islam.
Sejalan dengan
itu, muncul pertanyaan, bagaimana seharusnya kita mampu memosisikan diri
terkait dengan hubungan agama dan budaya
lokal? Handaknya kita memosisikan keduanya
secara proporsional, jangan sampai kita hanya mengakui nilai-nilai agama
sebagai satu-satunya konsep yang mengarahkan perilaku tanpa peduli pada nilai-nilai budaya lingkungan
sekitar. Sebaliknya, jangan pula kita hanya berpakem pada budaya dan tradisi
tanpa pertimbangan- pertimbangan yang bersumber dari agama. Tanyakan pada teman
Anda pandangan mereka tentang proporsionalitas hubungan antara agama dan budaya
lokal di atas
Adanya
akulturasi timbal-balik antara Islam dan budaya lokal (local genius) dalam hukum Islam secara
metodologis harus diakui eksistensinya.
Dalarn kaidah ushol fiqh kita tamukan misalnya kaidah, al-addah muhkamah adat itu bisa dijadikan
hukum). atau kaidah "al- addah syari'atun muhkamah' (adat adalah syariat
yang dapat dijadikan hukum). Kaidah ini
memberikan justifikasi yuridis bahwa kebiasaan
suatu masyarakat bisa dijadikan dasar penetapan hukum ataupun sumber acuan untuk bwsikap. Hanya saja tidak
semua adat tradisi bisa dijadikan pedoman hukum karena tidak
semua unsur budaya pasti sesuai dengan
ajaran Islam. Unsur budaya lokal yang tidak
sesuai dengan ajaran Islam
akan diganti atau
disesuaikan dengan semangat tauhid.
Rasul telah
mencontohkan cara melakukan akulturasi antara ajaran lslam dan tradisi bangsa
Arab pada abad ke-7. Ada tiga mekanisme yang dikkukan beliau untuk menyikapi
tradisi yang telah berkembang kala itu. Pertama, menerima dan melestarikan
tradisi yang dianggap baik: seperti tradisi musyawarah, kumpul-kumpul pada hari
Jumat, dan khitan. Kedua, menerima dan memodifikasi tradisi yang secara substansi
sudah baik, teLapi
dalam beberapa aspek implemantasinya bertentangan dengan
semangat tauhid, misalnya ritus haji dan umroh, kurban, dan poligami. Ketiga
menolak tradisi yang dianggap melanggengkan nilai, moralitas, dan karakter
jahiliah, dan menggantikannya dengan tradisi baru yang mengembarkan dan
memperkuat nilai, moralitas, dan karakter islami, seperti tradisi berjudi,
berhala. minum-minurnan keras, dan kawin korntrak.
Berbicara tentang
karakteristik muslim
Indonesia, artinya berbicara tentang
relasi antara budaya Indonesia dan ajaran Islam. Juga perlu kita ketahui bahwa
antara agama dan kebudayaan tidak bisa dipisahkan karena agama tidak akan
memanifestasi tanpa media budaya, dan budaya tidak akan bemlnilai luhur tanpa
agama. Semula lslam memanikstasi
dalam budaya Arab, lalu seiring dengan penyebaran Islam, ia pun
termanifestasi dalam budaya-budaya lainnya.
Pada abad
kesembilan belas dan awal abad kedua puluh, keterlibatan Indonesia dengan dunia
Islam lainnya meningkat secara signifikan. Jumlah orang yang berhaji ke Mekah
meningkat, jumlah sarjana Indonesia yang pergi ke Timur Tengah untuk belajar
agama juga meningkal secara signifikan. Pada periode itu berkembang
pemikiran revivalisme Islam
dengan semangat mengembalikan kemurnian Islam
untuk mengembalikan kejayaan
umat Islam. Beberapa pelajar
Islam Indonesia yang belajar di Timur-Tengah mengadopsi gagasan revivalisme ini
lalu membuat serangan kuat terhadap pemikran keagamaan di Indonesia. Model
keberagamaan Islam Indonesia yarig "sinkretis" mendapat kecaman pedas
dari kelompok ini. Menurut mereka,
praktik keagamaan yang sinkretis membuat umat Islam kehilangan identitas
keislaman yang murni dan terjerumus pada campur aduk antara Islam dan paganisme
atau animisme-dinamisme. Manifestasi ekstrem dari kelompok ini bahkan menolak
setiap bentuk persinggungan ajaran Islam dengan unsur unsur budaya yang tidak
berasal dari lslam itu sendiri. .
Mereka juga
menolak adanya pengaruh Hindu-Buddha, Kristen- Katolik, bahkan pengaruh budaya
lokal yang sudah mapan di tengah masyarakat. Semua ekspresi keberagamaan yang
merupakan perpaduan antara Islam dan budaya-budaya lain dianggap sudah tidak
mumi dan berbau bidah bahkan berbau syirik. Namun, ironisnya kelompok ini
terjebak pada simplifikasi teologis karena menganggap bahwa budaya Islam adalah
budaya Arab.
Revivalisme
dengan gerakan purifikasinya kerap kali menjadi biang munculnya radikalisme.
Radikalisme agama telah menjadi kekhawatiran
bangsa karena praktik
keberagamaan tersebut merapuhkan
kebhinekaan dan kedamaian. Gerakan purifikasi ini mengingkari unsur lokalitas
yang turut membentuk Islam Indonesia. Oleh karena itu, keberagamaan ini
menafikan pluralisme sedemikian rupa sehingga cenderung intoleransi,
eksklusifisme, anti-keragaman (multikulturalisme) dan pada titik krttis bisa
melahirkan teronsme.
Dengan demikian,
ditengah adanya dua corak
utarna keberagamaan umat Islam Indonesia,.yaitu sufistik tradisionalis
dan revivalis fundamentalis. Kelompok pertama sangat akomodatif terhadap
perbedaan dan pengaruh luar, bahkan toleran terhadap praktik-praktik keagamaan
yang tidak sejalan dengan rasionalitas dan norma-norma Islam sendiri.
Sebaliknya. klompok kedua lebih rasional dalam menyikapi tradisi kagamaan,
namun cenderung eksklusif dan agresif terhadap praktik-praktik yang dianggap
tidak memiliki dasar hukum dalam ajaran Islam.
2.3
MenggaIi
Sumber Historis, Sosiofogis, Teologis, dan Filosofis tentang Pribumisasi Isfam
Dari uraian di
atas dapat diketahui bahwa Islam dapat
diaksentuasikan dengan pelbagai cara sesuai dengan konteksnya. Aksentuasi fslam yang beragam tersebut
dimungkinkan terjadi. SaIah satu
penyebabnya karena adanya akulturasi
Islam dengan budaya Iokal. Akulturasi
Islam dengan budaya Iokal tertantu menunjukkan adanya upaya pribumisasi Islam.
Pribumisasi Islam menyaran pada transformasi
nitai-nilai Isfam universai
daIam wadah budaya, geografis, dan ruang waktu tertentu.
Melalui pribumisasL Islam diharapkan dapat hadir dafam dinamika kehidupan
kekinmn danmenjawab berbagai problematika sosial-budaya yang berkembang dalam
sebuah ruang, waktu, dan geografis tertentu. .
1.
Menggali Sumber Historis
Istilah pnbumisassfam diperkenalkam oleh Gus
Dur (KH Abdurrahman Wahid) sebagai alematif dalam upaya pencagahan praktik
radikasme agama. Penghargaan Gus Dur terhadap metamorfosis islam Nusantara yang
menempatkan lslam secara kontekstual sebagai bagian dari proses budaya. Kalau
boleh disadari meskipun sedikit teidlambat, tempo itu dapat ditempatkan sebagai
cara pandang futuristik Gus Dur perihal Islam Indonesia ke depan
agar tidak terperangkap
dalam radikalisme _ dan
terorisme. Dua hal yang mencerabut Islam dari akar Nasantara. .
Pribumisasi lsiam menampik bahwa prakik
keisarnan "tidak selaIu identik" dengan pengalaman Arab (Arabisme).
Ia adaptif dengan Iokalitas. Pribumisasi
merupakar semangat lanutan dari
perjuangan kakek Gus Dur, KH Hasym Asy'ari. Kelahiran-Nahdhatul Ulama (NU)
merupakan kristalisasi sernangat pribumisasi islam dilndonesia. Organisasi ini
berdiri untuk membela praktik-praktik, keberagamaan kaum lstam tradisionalis
dari kritikan dan serangan agresif paham puritanisme yang dipengaruhi gerakan
Wahabi di Saudi Arabia-.-NU dengan pendekatan sufistiknya mau menerima dan mengakomodasi praktik
keberagamaamnya. Berbeda dengan
organisasi Muhammadyah dengan teologi Salafinya justru menganggap praktik
keeragamaan yang memadukan Islam dengan budaya lokal adalah praktik TBC
(takhayul, bidah, dan churafat/ khurafat)
Apabila kita
tengok sejarah perkembangan
Islam di Indonesia. dakwah yang
dilakukan oleh para dai yang membawa Islam ke indonesia selalu mempertimbangkan
kearifan Iokal (local wisdom) yang menjadi realitas kebudayaan dalam masyarakat
Indonesia. Keberagaman suku,
budaya, dan adat-istiadat mendorong keanekaragaman
ekspresi kaislaman di Indonesia.
Dakwah Wali
Songo di Pulau Jawa merupakan contoh kongkret dakwah yang sengaja
melakukan inkulturisasi Islam. Para ,wali mempergunakan
instrumen-instrumen kebudayaan yang ada untuk memasukkan pesan-pesan Islam_
Misalnya, tradisi selamatan tiga hari, tujuh hari, seratus hari, pada masa
dahulu di masyarakat Jawa dilaksanakan jika anggota keluarga meninggal dunia.
Oleh para wali, momen dan forum kumpul-kumpul tersebut dibiarkan, tetapi
dimodifikasi dengan membaca Yasin, Tahlil Tasbih, Tahmid, dan Selawat, dengan
diselingi pesan-pesan keagamaan. Pagelaran wayang, yang merupakan media hiburan
dan edukasi masyarakat Hindu-Jawa, dimodifikasi sedemikian rupa.
Pengajaran Islam
seperti. ini menambah eksotisme kemanusiaan dan mampu mereduksi
(menghindari) konstruksi jihad sebagai eskalasi psikologis-mental perang. Islam
mengedepankan kehalusan budi dalam membawa pesan-pesan doktrin dan tetap
menghidupkan ekspresi lokalitas.
Pribumisasi Islam di antaranya mengambil bentuk seni vokal (tembang)
yang dipergunakan untuk menyampaian pesarn pesan moral Islam. Pribumisasi Islam adalah psikologi indigenos
yang mengembangkan spiritualitas keberagamaan berangkat dari akar kearifan
lokal. Khazanah kearifan lokal itu ditafsirkan membentuk variarsi keberagamaan
yang dapat dimaknai ke dalam bebagai
2. Menggali Sumber Sosiologis
Indonesia merupakan negara dengan jumlah
penduduk muslim terbesar di
dunia. Feynomena ini
tentu tidak bisa dilepaskan dari jasa para dai muslim
sepanjang sejarah masuknya Islam di Indonesia. Mereka berasal dari Arab,
Persia, India, bahkan dari Cina. Kedatangan mereka ke Indonesia tadak saja
untuk memperkenalkan Islam, tetapi juga dengan membawa seperangkat keilmuan
Islam yang sudah mengalami proses pengembangan di tanah asalnya, Timur
Tengah.
Sebelum Islam
datang, penduduk Indonesia
(baca: Nusantara) telah menganut agama, baik yang masih primitif seperti
animisme-dinamisme maupun yang sudah berbentuk agama formal seperti Hindu atau
Buddha. Namun demekian, berdasarkan catatan sejarah yang ada, kedatangan isiam
tidak disertai dengan konflik sosial-keagamaan yang cukup berarti. Keberhasilan
islamisasi generasi awal setidaknya disebabkan oleh dua faktor; yaitu faktor
strategi dakwah dan faktor daya tarik ajaran Islam itu sendiri.
3. Menggali Sumber Teolgis dan Filosofis
Secara
filosofis, pribumisasi islam
didasari oleh paradigma sufistik
tentang subtansi keberagamaan. Dalam
paradigma sufistik, agama memiliki dua wajah yaitu aspek esoteris (aspek dalam) dan aspek eksoterik (aspek
luar)_ Dalam tataran esoteris, semua
agama adalah sama karena ia berasal dari Tuhan
Yang tunggal. Dalam pandangan sufistik, bahkan dikatakan semua yang maujud di alam ini pada hakikatnya
berasal dari Wujud Yang satu (Tuhan Yang
Maha Esa). Alam ciptaan dengan
pluraritas manifestasinya pada hakikatnya diikat oleh sebuah keberaran - universal yang
berasal dari Sang. Penncipta:
Secara teologis,
tauhid bukan sekedar pengakuan atau persaksian bahwa tiada tuhan selain Allah,
tapi pemaknaan terhadap tauhid melampaui
dari sekedar pengakuan
atas eksistensinya yang tunggal. Jika kita tarik pemaknaan tauhid dalam
ranah reaktas ciptaan (makhluk) maka tauhid berarti pengakuan akan pluralitas
atas senlai Dia (makhluk-Nya). Hanya Dia yang tunggal, dan seain Dia adaiah
plural. AI-Quran juga
mengemukakan, bahwa Allah menakdirkan pluralitas sebagai karakterstik makhluk
ciptaan-Nya. Tuhan tidak menakdirkar
pluraktas dalam ciptaan untuk
mendorong ketidakharmonisan dan perang. Pliralitas sekaligus menjadi
bukti relativitas makhluk. Karnana sifat telativitanya tersebut, makhluk Allah
tidak mungkin menyamai kemutlakan Sang Pencipta.
2.4
Membangun
Argumen tentang Urgensi Pribumisasi Islam
Bangsa Indonesia
sangat memerlukan kerja kolaboratif dan koordinatif dari berbagai komponen
untuk menggalang semua potensi bangsa agar terjadi sebuah kerjasama yang
efektif dan produktif bagi pembumian lslam yang penuh rahmat. Namun,
upaya-upaya seperti itu sering kali terhambat oleh adanya potensi-potensi
konfllk yang sangat banyak di negeri ini (agama, etnis, strata sosial, dan sebagainya).
Salah satu potensi konflik yang mungkin dapat menghalangi proses pembangunan
dan modernisasi di Indonesia adalah pemahaman agama. :-
Sering kali
ajaran agama, yang bernilai universal dan tidak memihak, berubah menjadi sebuah
pemahaman agama yang bersifat sektarian dan lokal. Sering kali pa Tuhan yang
Mahaluhur dan Mahamulia diseret oleh subjektvitas manusia untuk membenarkan
sikap sektarian tersebut. Teks suci agama pun tidak luput dari tangan- tangan
nakal manusia. Teks sengaja dipahami secara lepas dari konteks kebahasaan dan
sosio-psiko-historisnya agar dapat dijadikan alat untuk mengafirkan orang lain
yang berbeda pemahamannya.
Pada kondisi
saat dunia mulai mengarah kepada peradaban global dan keterbukaan, maka ajaran
agama perlu kembali dirujuk untuk
ditransformasikan
nilai-nilai Iuhurya sehingga
dapat memunculkan sebuah pemahaman agama dan sikap keberagamaan yang
bebas dari fanatisme sektarian, stereotip radikal, dan spirit saling
mengafirkan antara sesama umat seagama, atau antara umat yang berbeda agama Apaba kita kernbali melihat
contoh rasul dengan masyarakat madaninya, maka kita dapati bahwa
potensi-potensi konflik akan tapat dieliminasi dengan mengedepankan persamaan
dalam keragaman. Artinya, Islam mengajarkan bahwa perbedaan itu adalah fitrah (given) dari Tuhan tetapi dalam
menjalani hidup ini hendaknya kita tidak mempertajam perbedaan tersebut.
Sebaliknya, justru
kita harus mencari unsur-unsur persamaan di antara kita. Sebagai ilustrasi,
bisa saja kita berbeda suku bangsa, adat, dan bahasa, tetapi kita harus
mengedapankan kesadaran bahwa ada satu persamaan yang mengikat kita semua,
yaitu kesadaran bahwa kita adalah bangsa Indonesia.
Kesadaran Islam nusantara yang rahmatlill'alamin perlu dibumikan kembali di Indonesia seiring dengan maraknya
berbagai aliran dan gerakan baru yang dapat memcah belah NKRI.
Diharapakan bagi semua pihak untuk dapat menjalankan gagasan
pendirian lembaga islam nusantara terutama bagi lembaga pendidikan Islam, tokoh
masyarakat, dan pejabat pemerintahan untuk suksesi program.
·
Buku Pendidikan Agama Islam
Untuk Perguruan Tinggi Cetakan 1 2016
0 Comments